http://kawanishare.blogspot.com/ | KAWANI MEDIA |
POKOK-POKOK AJARAN ISLAM TENTANG HALAL DAN HARAM
PERSOALAN
halal-haram adalah seperti halnya soal-soal lain, di mana orang-orang jahiliah
pernah tersesat dan mengalami kekacauan yang luarbiasa, sehingga mereka berani
menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal. Keadaan yang sama pernah
juga dialami oleh golongan penyembah berhala (watsaniyin) dan ahli-ahli kitab. Kesesatan
ini akhirnya dapat menimbulkan suatu penyimpangan yang ekstrimis kanan, atau
suatu penyimpangan yang ekstrimis kiri. Di pihak kanan, misalnya: Kaum Brahmana
Hindu, Para Rahib Kristen dan beberapa golongan lain yang berprinsip menyiksa
diri dan menjauhi hal-hal yang baik dalam masalah makanan ataupun pakaian yang
telah diserahkan Allah kepada hambaNya.
Kedurhakaan
para rahib ini sudah pernah mencapai puncaknya pada abad pertengahan.
Beribu-ribu rahib mengharamkan barang yang halal sehingga sampai kepada sikap
yang keterlaluan. Sampai-sampai di antara mereka ada yang menganggap dosa
karena mencuci dua kaki, dan masuk kamar mandi dianggap dapat membawa kepada
penyesalan dan kerugian. Dari golongan ekstrimis kiri, dapat dijumpai misalnya
aliran Masdak yang timbul.di Parsi. Golongan ini menyuarakan kebolehan yang
sangat meluas. Kendali manusia dilepaskan, supaya dapat mencapai apa saja yang
dikehendaki. Segala-galanya bagi mereka adalah halal, sampaipun kepada masalah
identitas dan kehormatan diri yang telah dianggapnya suci oleh fitrah manusia.
Bangsa
Arab di zaman Jahiliah merupakan contoh konkrit, betapa tidak beresnya
barometer untuk menentukan halal-haramnya sesuatu benda atau perbuatan. Oleh
karena itu membolehkan minuman-minuman keras, makan riba yang berlipat-ganda,
menganiaya perempuan dan sebagainya. Lebih dari itu, mereka juga telah
dipengaruhi oleh godaan syaitan yang terdiri dari jin dan manusia sehingga
mereka tega membunuh anak mereka dan mengunyah-ngunyah jantungnya. Godaan itu
mereka turutinya juga. Perasaan kebapaan yang bersarang dalam hatinya,
samasekali ditentang.
“Dan begitu juga kebanyakan dari orang-orang musyrik itu telah dihiasi oleh sekutu-sekutu mereka untuk membunuh anak-anak mereka guna menjerumuskan mereka dan meragu kan mereka agama mereka. ” (al-An’am : 137)
Para
sekutu dari pelindung berhala itu melalui berbagai cara dalam mengganggu kaum
bapa untuk membunuh anak-anak mereka antara lain:
Takut
miskin.
Takut
tercela, kalau anak yang lahir itu wanita. demi bertakarrub kepada Tuhan, yaitu
dengan mengorbankan anak. Satu hal yang mengherankan, yaitu bahwa mereka yang
membolehkan membunuh anak, baik dengan dipotong ataupun dengan ditanam
hidup-hidup, tetapi justru mengharamkan beberapa makanan dan binatang yang
baik-baik. Dan yang lebih mengherankan lagi, bahwa itu semua dianggapnya
sebagai hukum agama. Mereka menisbatkannya kepada Allah. Tetapi kemudian oleh
Allah, anggapan ini dibantah dengan firmanNya:
“Mereka berpendapat: ini adalah binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan yang terlarang, tidak boleh dimakan kecuali orang-orang yang kami kehendaki menurut anggapan mereka dan juga diharamkan untuk dinaiki, dan binatang-binatang yang mereka tidak sebut asma Allah atasnya karena hendak berbuat dusta atas nama Allah. (Begitulah) mereka itu kelak akan dibalas lantaran kedustaan yang mereka perbuat.” (al-An’am: 138)
Al-Quran
telah menegaskan kesesatan mereka yang berani menghalalkan sesuatu yang
seharusnya haram, dan mengharamkan sesuatu yang seharusnya halal; al-Quran
mengatakan:
“Sungguh rugilah orang-orang yang telah membunuh anak-anak mereka lantaran kebodohannya dengan tidak mengarti itu, dan mereka yang telah mengharamkan rezeki yang Allah sudah berikan kepada mereka (lantaran hendak) berdusta atas (nama) Allah; mereka itu pada hakikatnya telah sesat, dan mereka itu tidak mau mengikuti pimpinan.” (al-An’am: 140)
Kedatangan
Islam langsung dihadapkan dengan kesesatan dan ketidak-beresan tentang
persoalan halal dan haram ini. Oleh karena itu pertama kali undang-undang yang
dibuat guna memperbaiki segi yang sangat membahayakan ini ialah dengan membuat
sejumlah Pokok-pokok Perundang-undangan sebagai standard untuk dijadikan
landasan guna menentukan halal dan haram. Seluruh persoalan yang timbul, dapat
dikembalikan kepadanya, seluruh neraca kejujuran dapat ditegakkan; keadilan dan
keseimbangan yang menyangkut soal halal dan haram dapat dikembalikan.
Oleh
karena itu ummat Islam menduduki sebagai golongan penengah (ummatan wasathan)
di antara ekstrimis kanan dan ekstrimis kiri sebagaimana telah ditegaskan
sendiri oleh Allah; yaitu dengan dijadikan ummat Islam ini sebagai ummat
pilihan (khaira ummah) yang diketengahkan ke hadapan ummat manusia.
1.1 Asal Tiap-Tiap Sesuatu Adalah Mubah
DASAR
pertama yang ditetapkan Islam, ialah: bahwa asal sesuatu yang dicipta Allah
adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada nas
yang sah dan tegas dari syari’ (yang berwenang membuat hukum itu sendiri, yaitu
Allah dan Rasul) yang mengharamkannya. Kalau tidak ada nas yang sah –misalnya
karena ada sebagian Hadis lemah– atau tidak ada nas yang tegas (sharih) yang
menunjukkan haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu mubah.
Ulama-ulama
Islam mendasarkan ketetapannya, bahwa segala sesuatu asalnya mubah, seperti
tersebut di atas, dengan dalil ayat-ayat al-Quran yang antara lain:
“Dialah Zat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya.” (al-Baqarah: 29)
“(Allah) telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi semuanya daripadaNya.” (al-Jatsiyah: 13)
“Belum tahukah kamu, bahwa sesungguhnya Allah telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi; dan Ia telah sempurnakan buat kamu nikmat-nikmatNya yang nampak maupun yang tidak nampak.” (Luqman: 20)
Allah
tidak akan membuat segala-galanya ini yang diserahkan kepada manusia dan
dikurniakannya, kemudian Dia sendiri mengharamkannya. Kalau tidak begitu, buat
apa Ia jadikan, Dia serahkan kepada manusia dan Dia kurniakannya. Beberapa hal
yang Allah haramkan itu, justeru karena ada sebab dan hikmat, yang –insya
Allah– akan kita sebutkan nanti.
Dengan
demikian arena haram dalam syariat Islam itu sebenarnya sangat sempit sekali;
dan arena halal malah justeru sangat luas. Hal ini adalah justeru nas-nas yang
sahih dan tegas dalam hal-haram, jumlahnya sangat minim sekali. Sedang sesuatu
yang tidak ada keterangan halal-haramnya, adalah kembali kepada hukum asal
yaitu halal dan termasuk dalam kategori yang dima’fukan Allah.
Untuk
soal ini ada satu Hadis yang menyatakan sebagai berikut:
“Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabNya, maka dia adalah halal, dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram; sedang apa yang Ia diamkannya, maka dia itu dibolehkan (ma’fu). Oleh karena itu terimalah dari Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal lupa sedikitpun.”
Kemudian
Rasulullah membaca ayat:
“,,,, dan Tuhanmu tidak lupa. (Riwayat Hakim dan Bazzar)“Rasulullah s.aw. pernah ditanya tentang hukumnya samin, keju dan keledai hutan, maka jawab beliau: Apa yang disebut halal ialah: sesuatu yang Allah halalkan dalam kitabNya; dan yang disebut haram ialah: sesuatu yang Allah haramkan dalam kitabNya; sedang apa yang Ia diamkan, maka dia itu salah satu yang Allah maafkan buat kamu.” (Riwayat Tarmizi dan lbnu Majah)
Rasulullah
tidak ingin memberikan jawaban kepada si penanya dengan menerangkan satu
persatunya, tetapi beliau mengembalikan kepada suatu kaidah yang kiranya dengan
kaidah itu mereka dapat diharamkan Allah, sedang lainnya halal dan baik. Dan
sabda beliau juga:
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Di
sini ingin pula saya jelaskan, bahwa kaidah asal segala sesuatu adalah halal ini
tidak hanya terbatas dalam masalah benda, tetapi meliputi masalah perbuatan dan
pekerjaan yang tidak termasuk daripada urusan ibadah, yaitu yang biasa kita
istilahkan dengan Adat atau Mu’amalat. Pokok dalam masalah ini tidak haram dan
tidak terikat, kecuali sesuatu yang memang oleh syari’ sendiri telah diharamkan
dan dikonkritkannya sesuai dengan firman Allah:
“Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu.” (al-An’am: 119)Ayat ini umum, meliputi soal-coal makanan, perbuatan dan lain-lain.Berbeda sekali dengan urusan ibadah. Dia itu semata-mata urusan agama yang tidak ditetapkan, melainkan dari jalan wahyu. Untuk itulah, maka terdapat dalam suatu Hadis Nabi yang mengatakan: “Barangsiapa membuat cara baru dalam urusan kami, dengan sesuatu yang tidak ada contohnya, maka dia itu tertolak.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ini,
adalah karena hakikat AGAMA –atau katakanlah IBADAH– itu tercermin dalam dua
hal, yaitu:
Hanya
Allah lah yang disembah.
Untuk
menyembah Allah, hanya dapat dilakukan menurut apa yang disyariatkannya.
Oleh
karena itu, barangsiapa mengada-ada suatu cara ibadah yang timbul dari dirinya
sendiri –apapun macamnya– adalah suatu kesesatan yang harus ditolak. Sebab
hanya syari’lah yang berhak menentukan cara ibadah yang dapat dipakai untuk
bertaqarrub kepadaNya.
Adapun
masalah Adat atau Mu’amalat, sumbernya bukan dari syari’, tetapi manusia itu
sendiri yang menimbulkan dan mengadakan. Syari’ dalam hal ini tugasnya adalah untuk
membetulkan, meluruskan, mendidik dan mengakui, kecuali dalam beberapa hal yang
memang akan membawa kerusakan dan mudharat.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Sesungguhnya sikap manusia, baik yang berbentuk omongan ataupun perbuatan ada dua macam: ibadah untuk kemaslahatan agamanya, dan kedua adat (kebiasaan) yang sangat mereka butuhkan demi kemaslahatan dunia mereka Maka dengan terperincinya pokok-pokok syariat, kita dapat mengakui, bahwa seluruh ibadah yang telah dibenarkannya, hanya dapat ditetapkan dengan ketentuan syara’ itu sendiri.”
Adapun
masalah Adat yaitu yang biasa dipakai ummat manusia demi kemaslahatan dunia
mereka sesuai dengan apa yang mereka butuhkan, semula tidak terlarang. Semuanya
boleh, kecuali hal-hal yang oleh Allah dilarangnya Demikian itu adalah karena
perintah dan larangan, kedua-duanya disyariatkan Allah. Sedang ibadah adalah
termasuk yang mesti diperintah. Oleh karena itu sesuatu, yang tidak diperintah,
bagaimana mungkin dihukumi terlarang.
Imam
Ahmad dan beberapa ahli fiqih lainnya berpendapat: pokok dalam urusan ibadah
adalah tauqif (bersumber pada ketetapan Allah dan Rasul). Oleh karena itu
ibadah tersebut tidak boleh dikerjakan, kecuali kalau ternyata telah
disyariatkan oleh Allah. Kalau tidak demikian, berarti kita akan termasuk dalam
apa yang disebutkan Allah:
“Apakah mereka itu mempunyai sekutu yang mengadakan agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah?” (as-Syura: 21)
Sedang
dalam persoalan Adat prinsipnya boleh. Tidak satupun yang terlarang, kecuali
yang memang telah diharamkan. Kalau tidak demikian, maka kita akan termasuk
dalam apa yang dikatakan Allah:
“Katakanlah! Apakah kamu sudah mengetahui sesuatu yang diturunkan Allah untuk kamu daripada rezeki, kemudian kamu jadikan daripadanya itu haram dan halal? Katakanlah! Apakah Allah telah memberi izin kepadamu, ataukah kamu memang berdusta atas (nama) Allah?” (Yunus: 59)
Ini
adalah suatu kaidah yang besar sekali manfaatnya. Dengan dasar itu pula kami
berpendapat: bahwa jual-bell, hibah, sewa-menyewa dan lain-lain adat yang
selalu dibutuhkan manusia untuk mengatur kehidupan mereka seperti makan, minum
dan pakaian. Agama membawakan beberapa etika yang sangat baik sekali, yaitu
mana yang sekiranya membawa bahaya, diharamkan; sedang yang mesti, diwajibkannya.
Yang tidak layak, dimakruhkan; sedang yang jelas membawa maslahah, disunnatkan.
Dengan
dasar itulah maka manusia dapat melakukan jual-beli dan sewa-menyewa sesuka
hatinya, selama dia itu tidak diharamkan oleh syara’. Begitu juga mereka bisa
makan dan minum sesukanya, selama dia itu tidak diharamkan oleh syara’,
sekalipun sebagiannya ada yang oleh syara’ kadang kadang disunnatkan dan ada
kalanya dimakruhkan. Sesuatu yang oleh syara’ tidak diberinya pembatasan,
mereka dapat menetapkan menurut kemutlakan hukum asal.
Prinsip
di atas, sesuai dengan apa yang disebut dalam Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari, dari Jabir bin Abdillah, ia berkata:
“Kami pernah melakukan ‘azl’, sedang waktu itu al-Quran masih turun; kalau hal tersebut dilarang, niscaya al-Quran akan melarangnya.”
Ini
menunjukkan, bahwa apa saja yang didiamkan oleh wahyu, bukanlah terlarang.
Mereka bebas untuk mengerjakannya, sehingga ada nas yang melarang dan
mencegahnya. Demikianlah salah satu daripada kesempurnaan kecerdasan para
sahabat. Dan dengan ini pula, ditetapkan suatu kaidah: “Soal ibadah tidak boleh
dikerjakan kecuali dengan syariat yang ditetapkan Allah; dan suatu hukum adat
tidak boleh diharamkan, kecuali dengan ketentuan yang diharamkan oleh Allah.”
1.2 Menentukan Halal-Haram
Semata-Mata Hak Allah
DASAR
kedua: Bahwa Islam telah memberikan suatu batas wewenang untuk menentukan halal
dan haram, yaitu dengan melepaskan hak tersebut dari tangan manusia, betapapun
tingginya kedudukan manusia tersebut dalam bidang agama maupun duniawinya. Hak
tersebut semata-mata ditangan Allah.
Bukan
pastor, bukan pendeta, bukan raja dan bukan sultan yang berhak menentukan
halal-haram. Barangsiapa bersikap demikian, berarti telah melanggar batas dan
menentang hak Allah dalam menetapkan perundang-undangan untuk ummat manusia.
Dan barangsiapa yang menerima serta mengikuti sikap tersebut, berarti dia telah
menjadikan mereka itu sebagai sekutu Allah, sedang pengikutnya disebut
“musyrik”. Firman Allah:
“Apakah mereka itu mempunyai sekutu yang mengadakan agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan Allah?” (as-Syura: 21)
Al-Quran
telah mengecap ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah memberikan kekuasaan
kepada para pastor dan pendeta untuk menetapkan halal dan haram, dengan
firmannya sebagai berikut:
“Mereka itu telah menjadikan para pastor dan pendetanya sebagai tuhan selain Allah; dan begitu juga Isa bin Maryam (telah dituhankan), padahal mereka tidak diperintah melainkan supaya hanya berbakti kepada Allah Tuhan yang Esa, tiada Tuhan melainkan Dia, maha suci Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan.” (at-Taubah: 31)
‘Adi
bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah –pada waktu itu
dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam– setelah dia mendengar ayat
tersebut, kemudian ia berkata: Ya Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak
menyembah para pastor dan pendeta itu.
Maka
jawab Nabi s.a.w.:
“Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
“Memang
mereka (ahli kitab) itu tidak menyernbah pendeta dan pastor, tetapi apabila
pendeta dan pastor itu menghalalkan sesuatu, mereka pun ikut menghalalkan juga;
dan apabila pendeta dan pastor itu mengharamkan sesuatu, mereka pun ikut
mengharamkan juga.”
Orang-orang
Nasrani tetap beranggapan, bahwa Isa al-Masih telah memberikan kepada
murid-muridnya –ketika beliau naik ke langit– suatu penyerahan (mandat) untuk
menetapkan halal dan haram dengan sesuka hatinya. Hal ini tersebut dalam Injil
Matius 18:18 yang berbunyi sebagai berikut:
“Sesungguhnya aku berkata kepadamu, barang apa yang kamu ikat di atas bumi, itulah terikat kelak di sorga; dan barang apa yang kamu lepas di atas bumi, itupun terlepas kelak di sorga.”
Al-Quran
telah mengecap juga kepada orang-orang musyrik yang berani mengharamkan dan
menghalalkan tanpa izin Allah, dengan kata-katanya sebagai berikut:
“Katakanlah! Apakah kamu menyetahui apa-apa yang Allah telah turunkan untuk kamu daripada rezeki, kemudian dijadikan sebagian daripadanya itu, haram dan halal; katakanlah apakah Allah telah memberi izin kepadamu, ataukah memang kamu hendak berdusta atas (nama) Allah?”(Yunus: 59)
Dan
firman Allah juga:
“Dan jangan kamu berani mengatakan terhadap apa yang dikatakan oleh lidah-lidah kamu dengan dusta; bahwa ini halal dan ini haram, supaya kamu berbuat dusta atas (nama) Allah, sesungguhnya orang-orang yang berani berbuat dusta atas (nama) Allah tidak akan dapat bahagia.” (an-Nahl: 116)
Dari
beberapa ayat dan Hadis seperti yang tersebut di atas, para ahli fiqih
mengetahui dengan pasti, bahwa hanya Allahlah yang berhak menentukan halal dan
haram, baik dalam kitabNya (al-Quran) ataupun melalui lidah RasulNya (Sunnah).
Tugas mereka tidak lebih, hanya menerangkan hukum Allah tentang halal dan haram
itu. Seperti firmanNya:
“Sungguh Allah telah menerangkan kepada kamu apa yang Ia haramkan atas kamu.” (al-An’am: 119)
Para
ahli fiqih sedikitpun tidak berwenang menetapkan hukum syara’ ini boleh dan ini
tidak boleh. Mereka, dalam kedudukannya sebagai imam ataupun mujtahid, pada
menghindar dari fatwa, satu sama lain berusaha untuk tidak jatuh kepada
kesalahan dalam menentukan halal dan haram (mengharamkan yang halal dan
menghalalkan yang haram).
Imam
Syafi’i dalam al-Um meriwayatkan, bahwa Qadhi Abu Yusuf, murid Abu Hanifah
pernah mengatakan: “Saya jumpai guru-guru kami dari para ahli ilmu, bahwa
mereka itu tidak suka berfatwa, sehingga mengatakan: ini halal dan ini haram,
kecuali menurut apa yang terdapat dalam al-Quran dengan tegas tanpa memerlukan
tafsiran.
Kata
Imam Syafi’i selanjutnya, Ibnu Saib menceriterakan kepadaku dari ar-Rabi’ bin
Khaitsam –dia termasuk salah seorang tabi’in yang besar– dia pernah berkata
sebagai berikut: “Hati-hatilah kamu terhadap seorang laki-laki yang berkata:
Sesungguhnya Allah telah menghalalkan ini atau meridhainya, kemudian Allah
berkata kepadanya: Aku tidak menghalalkan ini dan tidak meridhainya. Atau dia
juga berkata: Sesungguhnya Allah mengharamkan ini kemudian Allah akan berkata:
“Dusta engkau, Aku samasekali tidak pernah mengharamkan dan tidak melarang
dia.”
Imam
Syafi’i juga pernah berkata: Sebagian kawan-kawanku pernah menceriterakan dari
Ibrahim an-Nakha’i –salah seorang ahli fiqih golongan tabi’in dari Kufah– dia
pernah menceriterakan tentang kawan-kawannya, bahwa mereka itu apabila berfatwa
tentang sesuatu atau melarang sesuatu, mereka berkata: Ini makruh, dan ini
tidak apa-apa. Adapun yang kalau kita katakan: Ini adalah halal dan ini haram,
betapakah besarnya persoalan ini!
Demikianlah
apa yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dari salafus saleh yang kemudian diambil
juga oleh Imam Syafi’i dan diakuinya juga. Hal ini sama juga dengan apa yang
diriwayatkan oleh Ibnu Muflih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Bahwa
ulama-ulama salaf dulu tidak mau mengatakan haram, kecuali setelah diketahuinya
dengan pasti.”
Kami
dapati juga imam Ahmad, misalnya, kalau beliau ditanya tentang sesuatu
persoalan, maka ia menjawab: Aku tidak menyukainya, atau hal itu tidak
menyenangkan aku, atau saya tidak senang atau saya tidak menganggap dia itu
baik. Cara seperti ini dilakukan juga oleh imam-imam yang lain seperti Imam Malik,
Abu Hanifah dan lain-lain.
1.3 Mengharamkan yang Halal
dan Menghalalkan yang Haram Sama dengan Syirik
KALAU
Islam mencela sikap orang-orang yang suka menentukan haram dan halal itu semua,
maka dia juga telah memberikan suatu kekhususan kepada mereka yang suka
mengharamkan itu dengan suatu beban yang sangat berat, karena memandang, bahwa
hal ini akan merupakan suatu pengungkungan dan penyempitan bagi manusia
terhadap sesuatu yang sebenarnya oleh Allah diberi keleluasaan. Di samping hal
tersebut memang karena ada beberapa pengaruh yang ditimbulkan oleh sementara
ahli agama yang berlebihan. Nabi Muhammad sendiri telah berusaha untuk
memberantas perasaan berlebihan ini dengan segala senjata yang mungkin. Di
antaranya ialah dengan mencela dan melaknat orang-orang yang suka
berlebih-lebihan tersebut, yaitu sebagaimana sabdanya:
“Ingatlah! Mudah-mudahan binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan itu.” (3 kali). (Riwayat Muslim dan lain-lain)
Dan
tentang sifat risalahnya itu beliau tegaskan:
“Saya diutus dengan membawa suatu agama yang toleran.” (Riwayat Ahmad)
Yakni
suatu agama yang teguh dalam beraqidah dan tauhid, serta toleran (lapang) dalam
hal pekerjaan dan perundang-undangan. Lawan daripada dua sifat ini ialah syirik
dan mengharamkan yang halal. Kedua sifat yang akhir ini oleh Rasulullah s.a.w.
dalam Hadis Qudsinya dikatakan, firman Allah:
“Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim)
Oleh
karena itu, mengharamkan sesuatu yang halal dapat dipersamakan dengan syirik.
Dan justeru itu pula al-Quran menentang keras terhadap sikap orang-orang
musyrik Arab terhadap sekutu-sekutu dan berhala mereka, dan tentang sikap
mereka yang berani mengharamkan atas diri mereka terhadap makanan dan binatang
yang baik-baik, padahal Allah tidak mengizinkannya. Diantaranya mereka telah mengharamkan
bahirah (unta betina yang sudah melahirkan anak kelima), saibah (unta betina
yang dinazarkan untuk berhala), washilah (kambing yang telah beranak tujuh) dan
ham (Unta yang sudah membuntingi sepuluh kali; untuk ini dikhususkan buat
berhala).
Orang-orang
Arab di zaman Jahiliah beranggapan, kalau seekor unta betina beranak sudah lima
kali sedang anak yang kelima itu jantan, maka unta tersebut kemudian telinganya
dibelah dan tidak boleh dinaiki. Mereka peruntukkan buat berhalanya. Karena itu
tidak dipotong, tidak dibebani muatan dan tidak dipakai untuk menarik air.
Mereka namakan unta tersebut al-Bahirah yakni unta yang dibelah telinganya.
Dan
kalau ada seseorang datang dari bepergian, atau sembuh dari sakit dan
sebagainya dia juga memberikan tanda kepada seekor untanya persis seperti apa
yang diperbuat terhadap bahirah itu. Unta tersebut mereka namakan saibah.
Kemudian
kalau ada seekor kambing melahirkan anak betina, maka anaknya itu untuk yang
mempunyai; tetapi kalau anaknya itu jantan, diperuntukkan buat berhalanya. Dan
jika melahirkan anak jantan dan betina, maka mereka katakan: Dia telah sampai
kepada saudaranya; oleh karena itu yang jantan tidak disembelih karena
diperuntukkan buat berhalanya. Kambing seperti ini disebut washilah.
Dan
jika seekor binatang telah membuntingi anak-anaknya, maka mereka katakan: Dia
sudah dapat melindungi punggungnya. Yakni binatang tersebut tidak dinaiki,
tidak dibebani muatan dan sebagainya. Binatang seperti ini disebut al-Haami. Penafsiran
dan penjelasan terhadap keempat macam binatang ini banyak sekali, juga berkisar
dalam masalah tersebut.
Al-Quran
bersikap keras terhadap sikap pengharaman ini, dan tidak menganggap sebagai
suatu alasan karena taqlid kepada nenek-moyangnya dalam kesesatan ini. Firman
Allah:
“Allah tidak menjadikan (mengharamkan) bahirah, saibah, washilah dan ham, tetapi orang-orang kafirlah yang berbuat dusta atas (nama) Allah, dan kebanyakan mereka itu tidak mau berfikir. Dan apabila dikatakan kepada mereka: Mari kepada apa yang telah diturunkan Allah dan kepada Rasul, maka mereka menjawab: Kami cukup menirukan apa yang kami jumpai pada nenek-nenek moyang kami; apakah (mereka tetap akan mengikutinya) sekalipun nenek-nenek moyangnya itu tidak berpengetahuan sedikitpun dan tidak terpimpin?” (al-Maidah : 103-104)
Dalam
surah al-An’am ada semacam munaqasyah (diskusi) mendetail terhadap prasangka
mereka yang telah mengharamkan beberapa binatang, seperti: unta, sapi, kambing
biri-biri dan kambing kacangan.
Al-Quran
membawakan diskusi tersebut dengan suatu gaya bahasa yang cukup dapat
mematikan, akan tetapi dapat membangkitkan juga.
Kata
al-Quran:
“Ada delapan macam binatang; dari kambing biri-biri ada dua, dan dari kambing kacangan ada dua pula; katakanlah (Muhammad): Apakah kedua-duanya yang jantan itu yang diharamkan, atau kedua-duanya yang betina ataukah semua yang dikandung dalam kandungan yang betina kedua-duanya? (Cobalah) beri penjelasan aku dengan suatu dalil, jika kamu orang-orang yang benar! Begitu juga dari unta ada dua macam,- dan dari sapi ada dua macam juga; katakanlah (Muhammad!) apakah kedua-duanya yang jantan itu yang diharamkan, ataukah kedua-duanya yang betina?” (al-An’am: 143-144)
Di
surah al-A’raf pun ada juga munaqasyah tersebut dengan suatu penegasan
keingkaran Allah terhadap orang-orang yang suka mengharamkan dengan semaunya
sendiri itu; di samping Allah menjelaskan juga beberapa pokok binatang yang
diharamkan untuk selamanya. Ayat itu berbunyi sebagai berikut:
“Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (al-A’raf: 32-33)
Seluruh
munaqasyah ini terdapat pada surah-surah Makiyyah yang diturunkan demi
mengkukuhkan aqidah dan tauhid serta ketentuan di akhirat kelak. Ini
membuktikan, bahwa persoalan tersebut, dalam pandangan al-Quran, bukan termasuk
dalam kategori cabang atau bagian, tetapi termasuk masalah-masalah pokok dan
kulli.
Di
Madinah timbul di kalangan pribadi-pribadi kaum muslimin ada orang-orang yang
cenderung untuk berbuat keterlaluan, melebih-lebihkan dan mengharamkan dirinya
dalam hal-hal yang baik. Untuk itulah maka Allah menurunkan ayat-ayat muhkamah
(hukum) untuk menegakkan mereka dalam batas-batas ketentuan Allah dan mengernbalikan
mereka ke jalan yang lempang.
Di
antara ayat-ayat itu berbunyi sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman: Janganlah kamu mengharamkan yang baik-baik (dari) apa yang Allah telah halalkan buat kamu, dan jangan kamu melewati batas, karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang suka melewati batas. Dan makanlah sebagian rezeki yang Allah berikan kepadamu dengan halal dan baik, dan takutlah kamu kepada Allah zat yang kamu beriman dengannya.” (al-Maidah: 87-88)
1.4 Mengharamkan yang Halal
akan Berakibat Timbulnya Kejahatan dan Bahaya
DI
ANTARA hak Allah sebagai Zat yang menciptakan manusia dan pemberi nikmat yang
tiada terhitung banyaknya itu, ialah menentukan halal dan haram dengan
sesukanya, sebagaimana Dia juga berhak menentukan perintah-perintah dan
syi’ar-syi’ar ibadah dengan sesukanya. Sedang buat manusia sedikitpun tidak ada
hak untuk berpaling dan melanggar.
Ini
semua adalah hak Ketuhanan dan suatu kepastian persembahan yang harus mereka
lakukan untuk berbakti kepadaNya. Namun, Allah juga berbelas-kasih kepada
hambaNya. Oleh karena itu dalam Ia menentukan halal dan haram dengan alasan
yang ma’qul (rasional) demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Justeru itu pula
Allah tidak akan menghalalkan sesuatu kecuali yang baik, dan tidak akan
mengharamkan sesuatu kecuali yang jelek.
Benar!
Bahwa Allah pernah juga mengharamkan hal-hal yang baik kepada orang-orang
Yahudi. Tetapi semua itu merupakan hukuman kepada mereka atas kedurhakaan yang
mereka perbuat dan pelanggarannya terhadap larangan Allah. Hai ini telah
dijelaskan sendiri oleh Allah dalam firman Nya:
“Dan kepada orang-orang Yahudi kami haramkan semua binatang yang berkuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan lemak-lemaknya, atau (lemak) yang terdapat di punggungnya, atau yang terdapat dalam perut, atau yang tercampur dengan tulang. Yang demikian itu kami (sengaja) hukum mereka lantaran kedurhakaan mereka, dan sesungguhnya kami adalah (di pihak) yang benar.” (al-An’am: 146)
Di antara
bentuk kedurhakaannya itu telah dijelaskan Allah dalam surah lain, yang antara
lain berbunyi sebagai berikut:
“Sebab kezaliman yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi itu, maka kami haramkan atas mereka (makanan-makanan) yang baik yang tadinya telah dihalalkan untuk mereka; dan sebab gangguan mereka terhadap agama Allah dengan banyak; dan sebab mereka memakan harta riba padahal telah dilarangnya; dan sebab mereka memakan harta manusia dengan cara yang batil.” (an-Nisa’: 160-161)
Setelah
Allah mengutus Nabi Muhammad, sebagai Nabi terakhir dengan membawa agama yang
universal dan abadi, maka salah satu di antara rahmat kasih Allah kepada
manusia, sesudah manusia itu matang dan dewasa berfikir, dihapusnya beban haram
yang pernah diberikan Allah sebagai hukuman sementara yang bermotif mendidik
itu, di mana beban tersebut cukup berat dan menegangkan leher masyarakat.
Kerasulan
Nabi Muhammad ini telah disebutkan dalam Taurat, dan namanya pun sudah dikenal
oleh ahli-ahli kitab, yaitu seperti yang disebutkan dalam al-Quran:
“Mereka (ahli kitab) itu mengetahui dia (nama Muhammad) tertulis di sisi mereka dalam Taurat dan Injil –dengan tugas– untuk mengajak kepada kebajikan dan melarang daripada kemungkaran, dan menghalalkan kepada mereka yang baik-baik, dan mengharamkan atas mereka yang tidak baik, serta mencabut dari mereka beban mereka dan belenggu yang ada pada mereka.” (al-A’raf: 157)
Di
dalam Islam caranya Allah menutupi kesalahan, bukan dengan mengharamkan
barang-barang baik yang lain, tetapi ada beberapa hal yang di antaranya ialah:
Taubat
dengan ikhlas (taubatan nasuha). Taubat ini dapat menghapuskan dosa bagaikan
air jernih yang dapat menghilangkan kotoran.
Dengan
mengerjakan amalan-amalan yang baik, karena amalan-amalan yang baik itu dapat
menghilangkan kejelekan.
Dengan
bersedekah (shadaqah) karena shadaqah itu dapat menghapus dosa, bagaikan air
yang dapat memadamkan api.
Dengan
ditimpa oleh beberapa musibah dan percobaan, dimana musibah dan percobaan itu
dapat meleburkan kesalahan-kesalahan, bagaikan daun pohon kalau sudah kering
akan menjadi hancur.
Dengan
demikian, maka dalan Islam dikenal, bahwa mengharamkan sesuatu yang halal itu
dapat membawa satu keburukan dan bahaya. Sedang seluruh bentuk bahaya adalah
hukumnya haram. Sebaliknya yang bermanfaat hukumnya halal. Kalau suatu
persoalan bahayanya lebih besar daripada manfaatnya, maka hal tersebut hukumnya
haram. Sebaliknya, kalau manfaatnya lebih besar, maka hukumnya menjadi halal.
Kaidah
ini diperjelas sendiri oleh al-Quran, misalnya tentang arak, Allah berfirman:
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang hukumnya arak dan berjudi, maka jawablah: bahwa keduanya itu ada suatu dosa yang besar, di samping dia juga bermanfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.” (al-Baqarah: 219)
Dan
begitu juga suatu jawaban yang tegas dari Allah ketika Nabi Muhammad ditanya
tentang masalah halal dalam Islam. Jawabannya singkat Thayyibaat (yang
baik-baik). Yakni segala sesuatu yang oleh jiwa normal dianggapnya baik dan
layak untuk dipakai di masyarakat yang bukan timbul karena pengaruh tradisi,
maka hal itu dipandang thayyib (baik, bagus, halal). Begitulah seperti yang
dikatakan Allah dalam al-Quran:
“Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa saja yang dihalalkan untuk mereka? Maka jawablah: semua yang baik adalah dihalalkan buat kamu.” (al-Maidah: 4)
Dan
firmanNya pula:
“Pada hari ini telah dihalalkan untuk kamu semua yang baik.” (al-Maidah: 5)
Oleh
karena itu tidak layak bagi seorang muslim yang mengetahui dengan rinci tentang
apa yang disebut jelek dan bahaya yang justeru karenanya hal tersebut
diharamkan Allah, kemudian kadang-kadang dia akan menyembunyikan sesuatu yang
mungkin nampak pada orang lain. Sebab kadang-kadang ada juga sesuatu kejelekan
yang tidak tampak pada suatu masa, tetapi di waktu lain dia akan tampak. Waktu
itu setiap mu’min harus mengatakan Sami’na Wa’athanaa (kami mendengarkan dan
kami mematuhi).
Tidaklah
kamu mengetahui, bahwa Allah telah mengharamkan daging babi, tetapi tidak
seorang Islam pun yang mengerti sebab diharamkannya daging babi itu, selain
karena kotor. Tetapi kemudian dengan kemajuan zaman, ilmu pengetahuan telah
menyingkapkan, bahwa di dalam daging babi itu terdapat cacing pita dan bakteri
yang membunuh.
Kalau
sekiranya ilmu pengetahuan tidak membuka sesuatu yang terdapat dalam daging
babi itu seperti tersebut di atas atau lebih dari itu, niscaya sampai sekarang
ummat Islam tetap berkeyakinan, bahwa diharamkannya daging babi itu justeru
karena najis (rijsun).
Contoh
lain, misalnya Hadis Nabi yang mengatakan:
“Takutlah kamu kepada tiga pelaknat (tiga perkara yang menyebabkan seseorang mendapat laknat Allah), yaitu: buang air besar (berak) di tempat mata air, di jalan besar dan di bawah pohon (yang biasa dipakai berteduh).” (Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Hakim dan Baihaqi)
Pada
abad-abad permulaan tidak seorang pun tahu selain hanya karena kotor, yang tidak
dapat diterima oleh perasaan yang sehat dan kesopanan umum. Tetapi setelah ilmu
pengetahuan mencapai puncak kemajuannya, maka akhirnya kita mengetahui, bahwa
justeru tiga pelaknat di atas adalah memang sangat berbahaya bagi kesehatan
umum. Dia merupakan pangkal berjangkitnya wabah penyakit anak-anak, seperti
anchylostoma dan bilharzia.
Begitulah,
setelah sinar ilmu pengetahuan itu dapat menembus dan meliputi lapangan yang
sangat luas, maka kita menjadi makin jelas untuk mengetahui halal dan haram
serta rahasia setiap hukum. Bagaimana tidak! Sebab dia adalah hukum yang dibuat
oleh Zat yang Maha Tahu, Maha Bijaksana dan Maha Berbelas-kasih kepada
hambaNya. Yaitu seperti yang difirmankan Allah dalam al-Quran:
“Allah mengetahui orang yang suka berbuat jahat dari pada orang yang berbuat baik; dan jika Allah mau, niscaya Ia akan beratkan kamu, karena sesungguhnya Allah Maha Gagah dan Maha Bijaksana.” (al-Baqarah: 220)
1.5 Setiap yang Halal Tidak
Memerlukan yang Haram
SALAH
satu kebaikan Islam dan kemudahannya yang dibawakan untuk kepentingan ummat
manusia, ialah “Islam tidak mengharamkan sesuatu kecuali di situ memberikan
suatu jalan keluar yang lebih baik guna mengatasi kebutuhannya itu.” Hal ini
seperti apa yang diterangkan oleh Ibnul Qayim dalam A’lamul Muwaqqi’in 2: 111
dan Raudhatul Muhibbin halaman 10. Beliau mengatakan: Allah mengharamkan mereka
untuk mengetahui nasib dengan membagi-bagikan daging pada azlam, tetapi di
balik itu Ia berikan gantinya dengan doa istikharah. Allah mengharamkan mencari
untung dengan menjalankan riba; tetapi di balik itu Ia berikan ganti dengan
suatu perdagangan yang membawa untung. Allah mengharamkan berjudi, tetapi di
balik itu Ia berikan gantinya berupa hadiah harta yang diperoleh dari berlomba
memacu kuda, unta dan memanah. Allah juga mengharamkan sutera, tetapi di balik
itu Ia berikan gantinya berupa aneka macam pakaian yang baik-baik, yang terbuat
dari wool, kapuk dan cotton. Allah telah mengharamkan berbuat zina dan liwath,
tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa perkawinan yang halal. Allah
mengharamkan minum minuman keras, tetapi dibalik itu Ia berikan gantinya berupa
minuman yang lezat yang cukup berguna bagi rohani dan jasmani. Dan begitu juga
Allah telah mengharamkan semua macam makanan yang tidak baik (khabaits), tetapi
di balik itu Ia telah memberikan gantinya berupa makanan-makanan yang baik
(thayyibat).
Begitulah,
kalau kita ikuti dengan saksama seluruh hukum Islam ini, maka akan kita jumpai
di situ, bahwa Allah s.w.t. tidak memberikan suatu kesempitan (baca haram)
kepada hambanya, melainkan di situ juga dibuka suatu keleluasaan di segi lain.
Karena Allah samasekali tidak menginginkan untuk mempersukar hambaNya dan
membuat takut. Bahkan Ia berkehendak untuk memberikan kemudahan dan kebaikan
serta betas-kasih kepada hambaNya. Sebagaimana difirmankan sendiri oleh Allah
dalam al-Quran:
“Allah berkehendak akan menerangkan kepadamu dan memberikan petunjuk kepadamu tentang cara-cara (sunnah) yang dilakukan orang-orang sebelum kamu, dan Allah juga berkehendak untuk menerima taubatmu, dan Allah adalah Zat yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Allah berkehendak untuk menerima taubatmu, tetapi orang-orang yang mengikuti keinginan hawa nafsunya itu berkehendak untuk berpaling dengan palingan yang sangat. Allah (juga) berkehendak untuk memberikan keringanan kepadamu, sebab manusia itu dicipta dengan keadaan yang lemah.” (an-Nisa’: 26-27)
1.6 Apa Saja yang Membawa
Kepada Haram adalah Haram
SALAH
satu prinsip yang telah diakui oleh Islam, ialah: apabila Islam telah
mengharamkan sesuatu, maka wasilah dan cara apapun yang dapat membawa kepada
perbuatan haram, hukumnya adalah haram. Oleh karena itu, kalau Islam
mengharamkan zina misalnya, maka semua pendahuluannya dan apa saja yang dapat
membawa kepada perbuatan itu, adalah diharamkan juga. Misalnya, dengan
menunjukkan perhiasan, berdua-duaan (free love), bercampur dengan bebas,
foto-foto telanjang (cabul), kesopanan yang tidak teratur (immoral),
nyanyian-nyanyian yang kegila-gilaan dan lain-lain.
Dari
sinilah, maka para ulama ahli fiqih membuat suatu kaidah: Apa saja yang membawa
kepada perbuatan haram, maka itu adalah haram.
Kaidah
ini senada dengan apa yang diakui oleh Islam; yaitu bahwa dosa perbuatan haram
tidak terbatas pada pribadi si pelakunya itu sendiri secara langsung, tetapi
meliputi daerah yang sangat luas sekali, termasuk semua orang yang bersekutu
dengan dia baik melalui harta ataupun sikap. Masing-masing mendapat dosa sesuai
dengan keterlibatannya itu. Misalnya tentang arak, Rasulullah s.a.w. melaknat
kepada yang meminumnya, yang membuat (pemeras), yang membawanya, yang
diberinya, yang menjualnya dan seterusnya. Nanti insya Allah akan kami
sebutkan.
Begitu
juga dalam soal riba, akan dilaknat orang yang memakannya, yang memberikannya,
penulisnya dan saksi-saksinya.
Begitulah,
maka semua yang dapat membantu kepada perbuatan haram, hukumnya adalah haram
juga. Dan semua orang yang membantu kepada orang yang berbuat haram, maka dia
akan terlibat dalam dosanya juga.
1.7 Bersiasat Terhadap Hal
yang Haram, Hukumnya adalah Haram
SEBAGAIMANA
Islam telah mengharamkan seluruh perbuatan yang dapat membawa kepada haram
dengan cara-cara yang nampak, maka begitu juga Islam mengharamkan semua siasat
(kebijakan) untuk berbuat haram dengan cara-cara yang tidak begitu jelas dan
siasat syaitan (yakni yang tidak nampak).
Rasulullah
pernah mencela orang-orang Yahudi yang membuat suatu kebijakan untuk
menghalalkan perbuatan yang dilarang (haram).
Maka
sabda Rasulullah s.a.w.:
“Jangan
kamu berbuat seperti perbuatan Yahudi, dan jangan kamu menganggap halal
terhadap larangan-larangan Allah walaupun dengan siasat yang paling kecil.”
Salah
satu contoh, misalnya, orang-orang Yahudi dilarang berburu pada hari Sabtu,
kemudian mereka bersiasat untuk melanggar larangan ini dengan menggali, sebuah
parit pada hari Jum’at supaya pada hari Sabtunya ikan-ikan bisa masuk ke dalam
parit tersebut, dan akan diambilnya nanti pada hari Ahad.
Cara
seperti ini dipandang halal oleh orang-orang yang memang bersiasat untuk
melanggar larangan itu, tetapi oleh ahli-ahli fiqih dipandangnya suatu
perbuatan haram, karena motifnya justeru untuk berburu baik dengan jalan
bersiasat maupun cara langsung.
Termasuk
bersiasat (helah), yaitu menamakan sesuatu yang haram dengan nama lain, dan
merubah bentuk. padahal intinya itu juga. Sebab suatu hal yang tidak diragukan
lagi, bahwa sedikitpun tidak, berarti untuk merubah hukum hanya cukup dengan
merubah nama, sedang bendanya itu-itu juga; atau dengan merubah bentuk, padahal
hakikat bendanya itu-itu juga.
Oleh
karena itu pula, siapapun yang merubah bentuk dengan niat sekedar siasat supaya
dapat makan riba, atau membuat nama baru dengan niat supaya dapat minum arak,
maka dosa riba dan arak tidak dapat hilang.
Untuk
itulah, maka dalam beberapa Hadis Nabi disebutkan:
“Sungguh akan ada satu golongan dari ummatku yang menganggap halal minum arak dengan memberikan nama lain.” (Riwayat Ahmad)
“Akan datang suatu masa di mana manusia menganggap halal riba dengan nama jual-beli.”
Adalah
salah satu keganjilan di zaman kita sekarang ini banyak orang menamakan tarian
porno dengan nama seni tari, arak dinamakan minuman rohani dan riba dinamakan
keuntungan dan sebagainya.
1.8 Niat Baik Tidak Dapat
Melepaskan yang Haram
ISLAM
memberikan penghargaan terhadap setiap hal yang dapat mendorong untuk berbuat
baik, tujuan yang mulia dan niat yang bagus, baik dalam perundang-undangannya
maupun dalam seluruh pengarahannya. Untuk itulah maka Nabi Muhammad s.a.w.
bersabda:
“Sesungguhnya semua amal itu harus disertai dengan niat (ikhlas karena Allah), dan setiap orang dinilai menurut niatnya.” (Riwayat Bukhari)
Niat
yang baik itu dapat menggunakan seluruh yang mubah dan adat untuk berbakti dan
taqarrub kepada Allah. Oleh karena itu siapa yang makan dengan niat untuk
menjaga kelangsungan hidupnya dan memperkuat tubuh supaya dapat melaksanakan
kewajibannya untuk berkhidmat kepada Allah dan ummatnya, maka makan dan
minumnya itu dapat dinilai sebagai amal ibadah dan qurbah.
Begitu
juga, barangsiapa yang melepaskan syahwatnya kepada isterinya dengan niat untuk
mendapatkan anak, atau karena menjaga diri dan keluarganya dari perbuatan
maksiat, maka pelepasan syahwat tersebut dapat dinilai sebagai ibadah yang
berhak mendapat pahala. Untuk itu pula, maka Rasulullah s.a.w. pernah
menyabdakan:
“Pada kemaluanmu itu ada sadaqah. Para sahabat kemudian bertanya: Apakah kalau kita melepaskan syahwat juga mendapatkan pahala? Jawab Nabi: Apakah kalau dia lepaskan pada yang haram, dia juga akan beroleh dosa? Maka begitu jugalah halnya kalau dia lepaskan pada yang halal, dia pun akan beroleh pahala.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan
dalam satu riwayat dikatakan:
“Barangsiapa mencari rezeki yang halal dengan niat untuk menjaga diri supaya tidak minta-minta, dan berusaha untuk mencukupi keluarganya, serta supaya dapat ikut berbelas kasih (membantu tetangganya), maka kelak dia akan bertemu Allah (di akhirat) sedang wajahnya bagaikan bulan di malam purnama.” (Riwayat Thabarani)
Begitulah,
setiap perbuatan mubah yang dikerjakan oleh seorang mu’min, di dalamnya
terdapat unsur niat yang dapat mengalihkan perbuatan tersebut kepada ibadah.
Adapun
masalah haram tetap dinilai haram, betapapun baik dan mulianya niat dan tujuan
itu. Bagaimanapun baiknya rencana, selama dia itu tidak dibenarkan oleh Islam,
maka selamanya yang haram itu tidak boleh dipakai alat untuk mencapai tujuan
yang terpuji. Sebab Islam selamanya menginginkan tujuan yang suci dan caranya
pun harus suci juga. Syariat Islam tidak membenarkan prinsip apa yang disebut
al-ghayah tubarrirul wasilah (untuk mencapai tujuan, cara apapun dibenarkan),
atau suatu prinsip yang mengatakan: al-wushulu ilal haq bil khaudhi fil katsiri
minal bathil (untuk dapat memperoleh sesuatu yang baik, boleh dilakukan dengan
bergelimang dalam kebatilan). Bahkan yang ada adalah sebaliknya, setiap tujuan
baik, harus dicapai dengan cara yang baik pula.
Oleh
karena itu, barangsiapa mengumpulkan uang yang diperoleh dengan jalan riba,
maksiat, permainan haram, judi dan sebagainya yang dapat dikategorikan haram,
dengan maksud untuk mendirikan masjid atau untuk terlaksananya rencana-rencana
yang baik lainnya, maka tujuan baiknya tidak akan menjadi syafaat baginya,
sehingga dengan demikian dosa haramnya itu dihapus. Haram dalam syariat Islam tidak
dapat dipengaruhi oleh tujuan dan niat.
Demikian
seperti apa yang diajarkan kepada kita oleh Rasulullah s.a.w., sebagaimana
disabdakan:
“Sesungguhnya Allah itu baik, Ia tidak mau menerima kecuali yang baik pula. Allah pun memerintah kepada orang mu’min seperti halnya perintah kepada para Rasul.”
Kemudian
Rasulullah membacakan ayat:
“Hai para Rasul! Makanlah dari yang baik-baik (halal) dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya aku Maha Mengetahui apa saja yang kamu perbuat.” (al-Mu’minun: 51)
“Hai orang-orang yang beriman! Makanlah dari barang-barang baik yang telah Kami berikan kepadamu.” (al-Baqarah: 172)
“Kemudian
ada seorang laki-laki yang datanq dari tempat yang jauh, rambutnya tidak
terurus penuh dengan debu, dia mengangkat kedua tangannya ke langit sambil
berdoa: yaa rab, yaa rab (hai Tuhanku, hai Tuhanku), padahal makanannya haram,
minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi makan dengan barang yang haram
pula, maka bagaimana mungkin doanya itu dikabulkan?” (Riwayat Muslim dan
Tarmizi)
Dan
sabdanya pula:
“Barangsiapa mengumpulkan uang dari jalan yang haram kemudian dia sedekahkan harta itu, samasekali dia tidak akan beroleh pahala, bahkan dosanya akan menimpa dia ” (Riwayat Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Hakim)
Dan
sabdanya pula:
“Tidak seorang pun yang bekerja untuk mendapatkan kekayaan dengan jalan haram kemudian ia sedekahkan, bahwa sedekahnya itu akan diterima; dan kalau dia infaqkan tidak juga mendapat barakah; dan tidak pula ia tinggalkan di belakang punggungnya (sesudah ia meninggal), melainkan dia itu sebagai perbekalan ke neraka. Sesungguhnya Allah tidak akan menghapuskan kejahatan dengan kejahatan, tetapi kejahatan dapat dihapus dengan kebaikan. Kejelekan tidaklah dapat menghapuskan kejelekan.” (Riwayat Ahmad dan lain-lain)
1.9 Menjauhkan Diri dari
Syubhat Karena Takut Terlibat dalam Haram
SALAH
satu daripada rahmat Allah terhadap manusia, yaitu: Ia tidak membiarkan manusia
dalam kegelapan terhadap masalah halal dan haram, bahkan yang halal dijelaskan
sedang yang haram diperinci.
FirmanNya:
“Dan sungguh Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia haramkan atas kamu.” (al-An’am: 119)
Masalah
halal yang sudah jelas, boleh saja dikerjakan. Dan soal haram pun yang sudah
jelas, samasekali tidak ada rukhsah untuk mengerjakannya, selama masih dalam
keadaan normal.
Tetapi
di balik itu ada suatu persoalan, yaitu antara halal dan haram. Persoalan
tersebut dikenal dengan nama syubhat, suatu persoalan yang tidak begitu jelas
antara halal dan haramnya bagi manusia. Hal ini bisa terjadi mungkin karena
tasyabbuh (tidak jelasnya) dalil dan mungkin karena tidak jelasnya jalan untuk
menerapkan nas (dalil) yang ada terhadap suatu peristiwa.
Terhadap
persoalan ini Islam memberikan suatu garis yang disebut Wara’ (suatu sikap
berhati-hati karena takut berbuat haram). Dimana dengan sifat itu seorang
muslim diharuskan untuk menjauhkan diri dari masalah yang masih syubhat,
sehingga dengan demikian dia tidak akan terseret untuk berbuat kepada yang
haram.
Cara
semacam ini termasuk menutup jalan berbuat maksiat (saddudz dzara’i) yang sudah
kita bicarakan terdahulu. Disamping itu cara tersebut merupakan salah satu
macam pendidikan untuk memandang lebih jauh serta penyelidikan terhadap hidup
dan manusia itu sendiri.
Dasar
pokok daripada prinsip ini ialah sabda Nabi yang mengatakan:
“Yang halal sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas, di antara keduanya itu ada beberapa perkara yang belum jelas (syubhat), banyak orang yang tidak tahu: apakah dia itu masuk bagian yang halal ataukah yang haram? Maka barangsiapa yang menjauhinya karena hendak membersihkan agama dan kehormatannya, maka dia akan selamat,. dan barangsiapa mengerjakan sedikitpun daripadanya hampir-hampir ia akan iatuh ke dalam haram, sebagaimana orang yang menggembala kambing di sekitar daerah larangan, dia hampir-hampir akan jatuh kepadanya. Ingatlah! Bahwa tiap-tiap raja mempunyai daerah larangan. Ingat pula, bahwa daerah larangan Allah itu ialah semua yang diharamkan.” (Riwayat Bukhari, Muslim dan Tarmizi, dan riwayat ini adalah lafal Tarmizi).
1.10 Sesuatu yang Haram
Berlaku Untuk Semua Orang
HARAM
dalam pandangan syariat Islam mempunyai ciri menyeluruh dan mengusir. Oleh
karena itu tidak ada sesuatu yang diharamkan untuk selain orang Arab (ajam)
tetapi halal buat orang Arab. Tidak ada sesuatu yang dilarang untuk orang kulit
hitam, tetapi halal, buat orang kulit putih. Tidak ada sesuatu rukhsah yang
diberikan kepada suatu tingkatan atau suatu golongan manusia, yang dengan
menggunakan nama rukhsah (keringanan) itu mereka bisa berbuat jahat yang
dikendalikan oleh hawa nafsunya. Mereka yang berbuat demikian itu sering
menamakan dirinya pendeta, pastor, raja dan orang-orang suci. Bahkan tidak
seorang muslim pun yang mempunyai keistimewaan khusus yang dapat menetapkan
sesuatu hukum haram untuk orang lain, tetapi halal buat dirinya sendiri.
Sekali-kali
tidak akan begitu! Allah adalah Tuhannya orang banyak, syariatNya pun untuk
semua orang. Setiap yang dihalalkan Allah dengan ketetapan undang-undangnya,
berarti halal untuk segenap ummat manusia. Dan apa saja yang diharamkan, haram
juga untuk seluruh manusia. Hal ini berlaku sampai hari kiamat. Misalnya
mencuri, hukumnya adalah haram, baik si pelakunya itu seorang muslim ataupun
bukan orang Islam; baik yang dicuri itu milik orang Islam ataupun milik orang
lain. Hukumnya pun berlaku untuk setiap pencuri betapapun keturunan dan
kedudukannya. Demikianlah yang dilakukan Rasulullah dan yang dikumandangkannya.
Kata
Rasulullah dalam pengumumannya itu:
“Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya.” (Riwayat Bukhari)
Di
zaman Nabi sudah pernah terjadi suatu peristiwa pencurian yang dilakukan oleh
seorang Islam, tetapi ada suatu syubhat sekitar masalah seorang Yahudi dan
seorang Muslim. Kemudian salah satu keluarganya yang Islam melepaskan tuduhan
kepada seorang Yahudi dengan beberapa data yang dibuatnya dan berusaha untuk
mengelakkan tuduhan terhadap rekannya yang beragama Islam itu, padahal dialah
pencurinya, sehingga dia bermaksud untuk mengadukan hat tersebut kepada Nabi
dengan suatu keyakinan, bahwa dia akan dapat bebas dari segala tuduhan dan
hukuman. Waktu itu turunlah ayat yang menyingkap kejahatan ini dan membebaskan
orang Yahudi tersebut dari segala tuduhan. Rasulullah s.a.w. mencela orang
Islam tersebut dan menjatuhkan hukuman kepada pelakunya.
Wahyu
Allah berbunyi sebagai berikut:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu kitab dengan benar, supaya kamu menghukum diantara manusia dengan (faham) yang Allah beritahukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi pembela orang-orang yang khianat. Dan minta ampunlah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan betas-kasih. Dan janganlah kamu membela orang-orang yang mengkhianati dirinya itu, karena sesungguhnya Allah tidak suka berkhianat dan berbuat dosa. Mereka bersembunyi (berlindung) kepada manusia, tetapi tidak mau bersembunyi kepada Allah, padahal Dia selalu bersama mereka ketika mereka mengatur siasatnya itu di waktu malam, yaitu sesuatu yang tidak diridhai dari perkataan itu, dan Allah maha meliputi semua apa yang mereka perbuat. Awaslah! Kamu ini adalah orang-orang yang membela mereka di dalam kehidupan dunia ini, maka siapakah yang akan membela mereka dari hukuman Allah kelak di hari kiamat? Atau siapakah yang akan mewakili untuk (menghadapi urusan) mereka itu?” (an Nisa’: 105-109)
Pernah
juga terjadi suatu anggapan dalam agama Yahudi, bahwa riba itu hanya haram
untuk seorang Yahudi jika berhutang kepada orang Yahudi yang lain. Tetapi
berhutang kepada lain Yahudi tidaklah terlarang.
Demikianlah
seperti yang tersebut dalam Ulangan 23: 19-20: “Maka tak boleh kamu mengambil
bunga daripada saudaramu, baik bunga uang, baik bunga makanan, baik bunga
barang sesuatu yang dapat makan bunga. Maka daripada orang lain bangsa boleh
kamu mengambil bunga, tetapi daripada saudaramu tak boleh kamu mengambil
bunga.”
Sifat
mereka yang seperti ini diceritakan juga oleh al-Quran, di mana mereka
membolehkan berbuat khianat terhadap orang lain, dan hal semacam itu
dipandangnya tidak salah dan tidak berdosa.
Al-Quran
mengatakan:
“Di antara mereka ada beberapa orang yang apabila diserahi amanat dengan satu dinar pun, dia tidak mau menyampaikan amanat itu kepadamu, kecuali kalau kamu terus-menerus berdiri (menunggu); yang demikian itu karena mereka pernah mengatakan. tidak berdosa atas kami (untuk memakan hak) orang-orang bodoh itu, dan mereka juga berkata dusta atas (nama) Allah, padahal mereka sudah mengarti.” (Ali-Imran: 75)
Benar
mereka telah berdusta atas nama Allah, yaitu dengan bukti, bahwa agama Allah
itu pada hakikatnya tidak membeda-bedakan antara suatu kaum terhadap kaum lain
dan melarang berbuat khianat melalui lidah setiap rasuINya.
Dan
yang cukup kita sesalkan ialah, bahwa perasaan Israiliyah inilah yang merupakan
kejahatan biadab, yang kiranya tidak patut untuk dinisbatkan kepada agama
Samawi (agama Allah). Sebab budi yang luhur bahkan budi yang sebenarnya
mestinya harus mempunyai ciri yang menyeluruh dan universal, sehingga tidak
terjadi anggapan halal untuk ini tetapi haram untuk itu.
Perbedaan
prinsip antara kita dan golongan badaiyah (primitif) hanyalah dalam hal luasnya
daerah budi/akhlak. Bukan ada atau tidak adanya budi itu. Sebab soal amanat
misalnya, menurut anggapan mereka dipandang sebagai suatu sikap yang baik dan
terpuji, tetapi hanya khusus antar putera sesuatu kabilah. Kalau sudah keluar
dari kabilah itu atau lingkungan keluarga, boleh saja berbuat khianat; bahkan
kadang-kadang dipandang siasat baik atau sampai kepada wajib.
Pengarang
Qishshatul Hadharah menceriterakan, bahwa semua golongan manusia hampir ada
persesuaian dalam kepercayaan yang menunjukkan mereka lebih baik daripada yang
lain. Misalnya bangsa Indian di Amerika, mereka menganggap dirinya sebagai
hamba Tuhan yang terbaik. Tuhan menciptakan mareka ini sebagai manusia yang
berjiwa besar khusus untuk dijadikan sebagai tauladan di mana manusia-manusia
lainnya harus menaruh hormat kepadanya.
Salah
satu suku Indian itu ada yang menganggap dirinya sebagai Manusia yang tidak ada
taranya. Dan suku yang lain beranggapan, bahwa dirinya itu manusia diantara
sekian banyak manusia. Suku Carbion mengatakan pula hanya kamilah yang disebut
manusia sesungguhnya dan seterusnya.
Kesimpulannya,
bahwa manusia primitif didalam mengatur cara pergaulannya dengan golongan lain
tidak menggunakan jiwa etika yang lazim seperti yang biasa dipakai dalam
berhubungan dengan kawan sesukunya.
Ini
merupakan bukti nyata, bahwa etika (akhlak) merupakan fungsi yang paling ampuh
guna memperkukuh jamaah dan memperteguh kekuatannya untuk menghadapi golongan
lain. Oleh karena itu persoalan etika dan larangan tidak akan dapat berlaku
(sesuai) melainkan untuk penduduk golongan itu sendiri. Untuk golongan lain,
tidak lebih daripada tamu. Justeru itu boleh saja mereka mengikuti tradisi
golongan tersebut sekedarnya saja.
1.11 Keadaan Terpaksa
Membolehkan Yang Terlarang
ISLAM
mempersempit daerah haram. Kendatipun demikian soal haram pun diperkeras dan
tertutup semua jalan yang mungkin akan membawa kepada yang haram itu, baik
dengan terang-terangan maupun dengan sembunyi-sembunyi. Justeru itu setiap yang
akan membawa kepada haram, hukumnya haram; dan apa yang membantu untuk berbuat
haram, hukumnya haram juga; dan setiap kebijakan (siasat) untuk berbuat haram,
hukumnya haram. Begitulah seterusnya seperti yang telah kami sebutkan
prinsip-prinsipnya di atas.
Akan
tetapi Islam pun tidak lupa terhadap kepentingan hidup manusia serta kelemahan
manusia dalam menghadapi kepentingannya itu. Oleh karena itu Islam kemudian
menghargai kepentingan manusia yang tiada terelakkan lagi itu, dan menghargai
kelemahan-kelemahan yang ada pada manusia. Justeru itu seorang muslim dalam
keadaan yang sangat memaksa, diperkenankan melakukan yang haram karena dorongan
keadaan dan sekedar menjaga diri dari kebinasaan.
Oleh
karena itu Allah mengatakan, sesudah menyebut satu-persatu makanan yang
diharamkan, seperti: bangkai, darah dan babi:
“Barangsiapa dalam keadaan terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka tiada berdosa atasnya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih.” (al-Baqarah: 173)
Yang
semakna dengan ini diulang dalam empat surat ketika menyebut masalah
makanan-makanan yang haram. Dan ayat-ayat ini dan nas-nas lainnya, para ahli
fiqih menetapkan suatu prinsip yang sangat berharga sekali, yaitu: “Keadaan
terpaksa membolehkan yang terlarang.”
Tetapi
ayat-ayat itupun tetap memberikan suatu pembatas terhadap si pelakunya (orang
yang disebut dalam keadaan terpaksa) itu; yaitu dengan kata-kata ghaira baghin
wala ‘aadin (tidak sengaj 3 dan tidak melewati batas).
Ini
dapat ditafsirkan, bahwa pengertian tidak sengaja itu, maksudnya: tidak sengaja
untuk mencari kelezatan. Dan perkataan tidak melewati batas itu maksudnya:
tidak melewati batas ketentuan hukum.
Dari
ikatan ini, para ulama ahli fiqih menetapkan suatu prinsip lain pula, yaitu:
adh-dharuratu tuqaddaru biqadriha (dharurat itu dikira-kirakan menurut
ukurannya). Oleh karena itu setiap manusia sekalipun dia boleh tunduk kepada
keadaan dharurat, tetapi dia tidak boleh menyerah begitu saja kepada keadaan
tersebut, dan tidak boleh menjatuhkan dirinya kepada keadaan dharurat itu
dengan kendali nafsunya. Tetapi dia harus tetap mengikatkan diri kepada pangkal
halal dengan terus berusaha mencarinya. Sehingga dengan demikian dia tidak akan
tersentuh dengan haram atau mempermudah dharurat.
Islam
dengan memberikan perkenan untuk melakukan larangan ketika dharurat itu,
hanyalah merupakan penyaluran jiwa keuniversalan Islam itu dan kaidah-kaidahnya
yang bersifat kulli (integral). Dan ini adalah merupakan jiwa kemudahan Islam
yang tidak dicampuri oleh kesukaran dan memperingan, seperti cara yang
dilakukan oleh ummatummat dahulu.
Oleh
karena itu benarlah apa yang dikatakan Allah dalam firmanNya:
“Allah berkehendak memberikan kemudahan bagi kamu, dan Ia tidak menghendaki memberikan beban kesukaran kepadamu.” (al-Baqarah: 185) “Allah tidak menghendaki untuk memberikan kamu sesuatu beban yang berat, tetapi ia berkehendak untuk membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatNya kepadamu supaya kamu berterimakasih.” (al-Maidah: 6) “Allah berkehendak untuk memberikan keringanan kepadamu, karena manusia itu dijadikan serba lemah.” (an-Nisa’: 28)
Catatan
kaki Bab Pertama
Ali-Imran.
Maryam.
Qawaidun Nuraniyah
al-Fiqhiyah oleh Ibnu Tarmiyah, hal 112-113.
‘Azl yaitu
mengeluarkan mani di luar kemaluan perempuan ketika bersanggama.
Al-Um 7:317.
Ini dapat
diperkuat dengan riwayat-riwayat para sahabat, bahwa mereka itu tidak
meninggalkan khamar (arak) secara keseluruhannya setelah ayat al-Baqarah 219
itu turun, karena ayat ini dalam anggapan mereka tidak qath’i (positif)
mengharamkan arak, sehingga ayat al-Maidah itu turun, baru mereka menjauhi
seluruhnya.
Kiranya ahli-ahli taqlid itu mengerti, jangan cepat-cepat mengatakan ini “haram” yang tanpa dalil atau yang mendekati kepada dalil.
Tiga batang kayu
untuk dipakai mengetahui nasib, dengan jalan mengundinya. Tiga batang kayu itu
masing-masing diberi tanda (1) tertulis “aku diperintah Tuhan”, (2) tertulis
“aku dilarang Tuhan”, (3) kosong, (Lihat Tafsir al-Maraghi ayat 3 al-Maidah).
Ighatsatul Lahfan
1: 348.
Tersebut dalam
Ighatsatul Lahfan juz 1: 348. Pengarang kitab ini berkata, bahwa Hadis ini
diriwayatkan oleh Abu Abdillah bin Bath-thah dengan sanad yang baik. Dan yang
sama disahkan juga oleh Tarmizi.
Hadis ini
dipetik dari kitab Ighatsatul Lahfan halaman 352 juz 1 oleh Ibnul Qayim.
Diposting Oleh : kawani media
Anda sedang membaca artikel tentang BAB PERTAMA - HALAL DAN HARAM DALAM ISLAM. Anda diperbolehkan mengcopy paste isi blog ini, namun jangan lupa untuk mencantumkan link ini sebagai sumbernya. Beritahukan kepada saya jika ada Link yang rusak atau tidak berfungsi. Apabila suka dengan postingan ini silahkan di Like dan Share dengan tidak lupa Komentar dan Masukannya.
0 komentar:
Posting Komentar