http://kawanishare.blogspot.com/ | KAWANI MEDIA |
2.1 Makanan dan Minuman
SEJAK dahulu kala umat
manusia berbeda-beda dalam menilai masalah makanan dan minuman mereka, ada yang
boleh dan ada juga yang tidak boleh. Lebih-lebih dalam masalah makanan yang
berupa binatang. Adapun masalah makanan dan minuman yang berupa
tumbuh-tumbuhan, tidak banyak diperselisihkan. Dan Islam sendiri tidak
mengharamkan hal tersebut, kecuali setelah menjadi arak, baik yang terbuat dari
anggur, korma, gandum ataupun bahan-bahan lainnya, selama benda-benda tersebut
sudah mencapai kadar memabukkan.
Begitu juga Islam
mengharamkan semua benda yang dapat menghilangkan kesadaran dan melemahkan urat
serta yang membahayakan tubuh, sebagaimana akan kami sebutkan di bawah. Adapun
soal makanan berupa binatang inilah yang terus diperselisihkan dengan hebat
oleh agama-agama dan golongan.
2.1.1 Menyembelih dan Makan Binatang Dalam Pandangan Agama Hindu
Ada sementara golongan,
misalnya Golongan Brahmana (Hindu) dan Filsuf yang mengharamkan dirinya
menyembelih dan memakan binatang. Mereka cukup hidup dengan makanan-makanan
dari tumbuh-tumbuhan. Golongan ini berpendapat, bahwa menyembelih binatang
termasuk suatu keganasan manusia terhadap binatang hidup. Manusia tidak berhak
untuk menghalang-halangi hidupnya binatang.
Tetapi kita juga tahu dari
hasil pengamatan kita terhadap alam ini, bahwa diciptanya binatang-binatang itu
tidak mempunyai suatu tujuan. Sebab binatang tidak mempunyai akal dan kehendak.
Bahkan secara nalurinya binatang-binatang itu dicipta guna memenuhi (khidmat)
kebutuhan manusia. Oleh karena itu tidak aneh kalau manusia dapat memanfaatkan
dagingnya dengan cara menyembelih, sebagaimana halnya dia juga dapat
memanfaatkan tenaganya dengan cara yang lazim.
Kita pun mengetahui dari
sunnatullah (ketentuan Allah) terhadap makhluknya ini, yaitu: golongan rendah
biasa berkorban untuk golongan atas. Misalnya daun-daunan yang masih hijau
boleh dipotong/dipetik buat makanan binatang, dan binatang disembelih untuk
makanan manusia dan, bahkan, seseorang berperang dan terbunuh untuk kepentingan
orang banyak. Begitulah seterusnya.
Haruslah diingat, bahwa
dilarangnya manusia untuk menyembelih binatang tidak juga dapat melindungi
binatang tersebut dari bahaya maut dan binasa. Kalau tidak berbaku hantam satu
sama lain, dia juga akan mati dengan sendirinya; dan kadang-kadang mati dalam
keadaan demikian itu lebih sakit daripada ketajaman pisau.
2.1.2 Binatang yang Diharamkan Dalam Pandangan Yahudi dan Nasrani
Dalam pandangan agama
Yahudi dan Nasrani (kitabi), Allah mengharamkan kepada orang-orang Yahudi
beberapa binatang laut dan darat. Penjelasannya dapat dilihat dalam Taurat
(Perjanjian Lama) fasal 11 ayat 1 dan seterusnya Bab: Imamat Orang Lewi.
Dan oleh al-Ouran
disebutkan sebagian binatang yang diharamkan buat orang-orang Yahudi itu serta
alasan diharamkannya, yaitu seperti yang kami sebutkan di atas, bahwa
diharamkannya binatang tersebut adalah sebagai hukuman berhubung kezaliman dan
kesalahan yang mereka lakukan.
Firman Allah:
“Dan kepada orang-orang Yahudi kami haramkan semua binatang yang berkuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan lemak-lemaknya, kecuali (lemak) yang terdapat di punggungnya, atau yang terdapat dalam perut, atau yang tercampur dengan tulang. Yang demikian itu kami (sengaja) hukum mereka. Dan sesungguhnya Kami adalah (di pihak) yang benar.” (al-An’am: 146)
Demikianlah keadaan
orang-orang Yahudi. Sedangkan orang-orang Nasrani sesuai dengan ketentuannya
harus mengikuti orang-orang Yahudi. Karena itu Injil menegaskan, bahwa Isa a.s.
datang tidak untuk mengubah hukum Taurat (Namus) tetapi untuk menggenapinya.
Tetapi suatu kenyataan,
bahwa mereka telah mengubah hukum Taurat itu. Apa yang diharamkan dalam Taurat
telah dihapus oleh orang-orang Nasrani –tanpa dihapus oleh Injilnya– mereka mau
mengikuti Paulus yang dipandang suci itu dalam masalah halalnya semua makanan
dan minuman, kecuali yang memang disembelih untuk berhala kalau dengan tegas
itu dikatakan kepada orang Kristen:
“Bahwa binatang tersebut disembelih untuk berhala.”
Paulus memberikan alasan,
bahwa semua yang suci halal untuk orang yang suci, dan semua yang masuk dalam
mulut tidak dapat menajiskan mulut, yang dapat menajiskan mulut ialah apa yang
keluar dari mulut. Mereka juga telah menghalalkan babi, sekalipun dengan tegas
babi itu diharamkan oleh Taurat sampai hari ini.
2.1.3 Menurut Pandangan Orang Arab Jahiliah
Orang-orang Arab jahiliah
mengharamkan sebagian binatang karena kotor, dan sebagiannya diharamkan karena
ada hubungannya dengan masalah peribadatan (ta’abbud), karena untuk bertaqarrub
kepada berhala dan karena mengikuti anggapan-anggapan yang salah (waham).
Seperti: Bahirah, saaibah, washilah dan ham. Yang menjelaskannya telah kami
sebutkan di atas.
Tetapi di balik itu,
mereka banyak juga menghalalkan beberapa binatang yang kotor (khabaits),
seperti: Bangkai dan darah yang mengalir.
2.1.4 Islam Menghalalkan Yang Baik
Islam datang, sedang
manusia masih dalam keadaan demikian dalam memandang masalah makanan berupa
binatang. Islam berada di antara suatu faham kebebasan soal makanan dan
extrimis dalam soal larangan. Oleh karena itu Islam kemudian mengumandangkan
kepada segenap umat manusia dengan mengatakan:
“Hai manusia! Makanlah dari apa-apa yang ada di bumi ini yang halal dan baik, dan jangan kamu mengikuti jejak syaitan karena sesungguhnya syaitan itu musuh yang terang-terangan bagi kamu.” (al-Baqarah: 168)
Di sini Islam memanggil
manusia supaya suka makan hidangan besar yang baik, yang telah disediakan oleh
Allah kepada mereka, yaitu bumi lengkap dengan isinya, dan kiranya manusia
tidak mengikuti kerajaan dan jejak syaitan yang selalu menggoda manusia supaya
mau mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan Allah, dan mengharamkan
kebaikan-kebaikan yang dihalalkan Allah; dan syaitan juga menghendaki manusia
supaya terjerumus dalam lembah kesesatan.
Selanjutnya
mengumandangkan seruannya kepada orang-orang mu’min secara khusus.
Firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman! Makanlah yang baik-baik dari apa-apa yang telah Kami berikan kepadamu, serta bersyukurlah kepada Allah kalau betul-betul kamu berbakti kepadaNya. Allah hanya mengharamkan kepadamu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang disembelih bukan karena Allah. Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka tidaklah berdosa baginya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih.” (al-Baqarah: 172-173)
Dalam seruannya secara
khusus kepada orang-orang mu’min ini, Allah s.w.t. memerintahkan mereka supaya
suka makan yang baik dan supaya mereka suka menunaikan hak nikmat itu, yaitu
dengan bersyukur kepada Zat yang memberi nikmat. Selanjutnya Allah menjelaskan
pula, bahwa Ia tidak mengharamkan atas mereka kecuali empat macam seperti
tersebut di atas. Dan yang seperti ini disebutkan juga dalam ayat lain yang
agaknya lebih tegas lagi dalam membatas yang diharamkan itu pada empat macam.
Yaitu sebagaimana difirmankan Allah:
“Katakanlah! Aku tidak menemukan tentang sesuatu yang telah diwahyukan kepadaku soal makanan yang diharamkan untuk dimakan, melainkan bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi; karena sesungguhnya dia itu kotor (rijs), atau binatang yang disembelih bukan karena Allah. Maka barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih.” (al-An’am: 145)
Dan dalam surah al-Maidah
ayat 3 al-Quran menyebutkan binatang-binatang yang diharamkan itu dengan
terperinci dan lebih banyak. Firman Allah:
“Telah diharamkan atas kamu bangkai, darah, daging babi, binatang yang disembelih bukan karena Allah, yang (mati) karena dicekik, yang (mati) karena dipukul, yang (mati) karena jatuh dari atas, yang (mati) karena ditanduk, yang (mati) karena dimakan oleh binatang buas kecuali yang dapat kamu sembelih dan yang disembelih untuk berhala.” (al-Maidah: 3)
Antara ayat ini yang
menetapkan 10 macam binatang yang haram, dengan ayat sebelumnya yang menetapkan
4 macam itu, samasekali tidak bertentangan. Ayat yang baru saja kita baca ini
hanya merupakan perincian dari ayat terdahulu. Binatang yang dicekik, dipukul,
jatuh dari atas, ditanduk dan karena dimakan binatang buas, semuanya adalah
termasuk dalam pengertian bangkai. Jadi semua itu sekedar perincian dari kata bangkai.
Begitu juga binatang yang disembelih untuk berhala, adalah semakna dengan yang
disembelih bukan karena Allah. Jadi kedua-duanya mempunyai pengertian yang
sama. Ringkasnya: Secara global (ijmal) binatang yang diharamkan itu ada empat
macam, dan kalau diperinci menjadi sepuluh.
2.1.5 Diharamkan Bangkai dan Hikmahnya
1) Pertama kali haramnya
makanan yang disebut oleh ayat al-Quran ialah bangkai, yaitu binatang yang mati
dengan sendirinya tanpa ada suatu usaha manusia yang memang sengaja disembelih
atau dengan berburu. Hati orang-orang sekarang ini kadang-kadang bertanya-tanya
tentang hikmah diharamkannya bangkai itu kepada manusia, dan dibuang begitu
saja tidak boleh dimakan. Untuk persoalan ini kami menjawab, bahwa
diharamkannya bangkai itu mengandung hikmah yang sangat besar sekali:
a) Naluri manusia yang
sehat pasti tidak akan makan bangkai dan dia pun akan menganggapnya kotor. Para
cerdik pandai di kalangan mereka pasti akan beranggapan, bahwa makan bangkai
itu adalah suatu perbuatan yang rendah yang dapat menurunkan harga diri
manusia. Oleh karena itu seluruh agama Samawi memandangnya bangkai itu suatu
makanan yang haram. Mereka tidak boleh makan kecuali yang disembelih, sekalipun
berbeda cara menyembelihnya.
b) Supaya setiap muslim
suka membiasakan bertujuan dan berkehendak dalam seluruh hal, sehingga tidak
ada seorang muslim pun yang memperoleh sesuatu atau memetik buah melainkan
setelah dia mengkonkritkan niat, tujuan dan usaha untuk mencapai apa yang
dimaksud. Begitulah, maka arti menyembelih –yang dapat mengeluarkan binatang
dari kedudukannya sebagai bangkai– tidak lain adalah bertujuan untuk merenggut
jiwa binatang karena hendak memakannya.
Jadi seolah-olah Allah
tidak rela kepada seseorang untuk makan sesuatu yang dicapai tanpa tujuan dan
berfikir sebelumnya, sebagaimana halnya makan bangkai ini. Berbeda dengan
binatang yang disembelih dan yang diburu, bahwa keduanya itu tidak akan dapat
dicapai melainkan dengan tujuan, usaha dan perbuatan.
c) Binatang yang mati
dengan sendirinya, pada umumnya mati karena sesuatu sebab; mungkin karena
penyakit yang mengancam, atau karena sesuatu sebab mendatang, atau karena makan
tumbuh-tumbuhan yang beracun dan sebagainya. Kesemuanya ini tidak dapat dijamin
untuk tidak membahayakan, Contohnya seperti binatang yang mati karena sangat
lemah dan kerena keadaannya yang tidak normal.
d) Allah mengharamkan
bangkai kepada kita umat manusia, berarti dengan begitu Ia telah memberi
kesempatan kepada hewan atau burung untuk memakannya sebagai tanda kasih-sayang
Allah kepada binatang atau burungburung tersebut. Karena binatang-binatang itu
adalah makhluk seperti kita juga, sebagaimana ditegaskan oleh al-Quran.
e) Supaya manusia selalu
memperhatikan binatang-binatang yang dimilikinya, tidak membiarkan begitu saja
binatangnya itu diserang oleh sakit dan kelemahan sehingga mati dan hancur.
Tetapi dia harus segera memberikan pengobatan atau mengistirahatkan.
2.1.6 Haramnya Darah Yang Mengalir
2) Makanan kedua yang
diharamkan ialah darah yang mengalir. Ibnu Abbas pernah ditanya tentang limpa
(thihal), maka jawab beliau: Makanlah! Orang-orang kemudian berkata: Itu kan
darah. Maka jawab Ibnu Abbas: Darah yang diharamkan atas kamu hanyalah darah
yang mengalir.
Rahasia diharamkannya
darah yang mengalir di sini adalah justru karena kotor, yang tidak mungkin jiwa
manusia yang bersih suka kepadanya. Dan inipun dapat diduga akan berbahaya,
sebagaimana halnya bangkai.
Orang-orang jahiliah
dahulu kalau lapar, diambilnya sesuatu yang tajam dari tulang ataupun lainnya,
lantas ditusukkannya kepada unta atau binatang dan darahnya yang mengalir itu
dikumpulkan kemudian diminum. Begitulah seperti yang dikatakan oleh al-A’syaa
dalam syairnya:
Janganlah kamu mendekati bangkaiJangan pula kamu mengambil tulang yang tajamKemudian kamu tusukkan dia untuk mengeluarkan darah.Oleh karena mengeluarkan darah dengan cara seperti itu termasuk menyakiti dan melemahkan binatang, maka akhirnya diharamkanlah darah tersebut oleh Allah SWT.
2.1.7 Daging Babi
3) Yang ketiga ialah
daging babi. Naluri manusia yang baik sudah barang tentu tidak akan
menyukainya, karena makanan-makanan babi itu yang kotor-kotor dan najis. Ilmu
kedokteran sekarang ini mengakui, bahwa makan daging babi itu sangat berbahaya
untuk seluruh daerah, lebih-lebih di daerah panas. Ini diperoleh berdasarkan
penyelidikan ilmiah, bahwa makan daging babi itu salah satu sebab timbulnya
cacing pita yang sangat berbahaya. Dan barangkali pengetahuan modern berikutnya
akan lebih banyak dapat menyingkap rahasia haramnya babi ini daripada hari
kini. Maka tepatlah apa yang ditegaskan Allah:
“Dan Allah mengharamkan atas mereka yang kotor-kotor.” (al-A’raf: 156)
Sementara ahli penyelidik
berpendapat, bahwa membiasakan makan daging babi dapat melemahkan perasaan
cemburu terhadap hal-hal yang terlarang.
2.1.8 Binatang Yang Disembelih
Bukan Karena Allah
4) Yang keempat ialah
binatang yang disembelih bukan karena Allah, yaitu binatang yang disembelih
dengan menyebut nama selain Allah, misalnya nama berhala Kaum penyembah berhala
(watsaniyyin) dahulu apabila hendak menyembelih binatang, mereka sebut
nama-nama berhala mereka seperti Laata dan Uzza. Ini berarti suatu taqarrub
kepada selain Allah dan menyembah kepada selain asma’ Allah yang Maha Besar.
Jadi sebab (illah)
diharamkannya binatang yang disembelih bukan karena Allah di sini ialah
semata-mata illah agama, dengan tujuan untuk melindungi aqidah tauhid,
kemurnian aqidah dan memberantas kemusyrikan dengan segala macam manifestasi
berhalanya dalam seluruh lapangan.
Allah yang menjadikan
manusia, yang menyerahkan semua di bumi ini kepada manusia dan yang menjinakkan
binatang untuk manusia, telah memberikan perkenan kepada manusia untuk
mengalirkan darah binatang tersebut guna memenuhi kepentingan manusia dengan
menyebut asma’Nya ketika menyembelih. Dengan demikian, menyebut asma’ Allah
ketika itu berarti suatu pengakuan, bahwa Dialah yang menjadikan binatang yang
hidup ini, dan kini telah memberi perkenan untuk menyembelihnya.
Oleh karena itu, menyebut
selain nama Allah ketika menyembelih berarti meniadakan perkenan ini dan dia
berhak menerima larangan memakan binatang yang disembelih itu.
2.1.9 Macam-Macam Bangkai
Empat macam binatang yang
disebutkan di atas adalah masih terlalu global (mujmal), dan kemudian diperinci
dalam surah al-Maidah menjadi 10 macam, seperti yang telah kami sebutkan di
atas dalam pembicaraan tentang bangkai, yang perinciannya adalah sebagai
berikut:
Al-Munkhaniqah, yaitu
binatang yang mati karena dicekik, baik dengan cara menghimpit leher binatang
tersebut ataupun meletakkan kepala binatang pada tempat yang sempit dan
sebagainya sehingga binatang tersebut mati.
Al-Mauqudzah, yaitu
binatang yang mati karena dipukul dengan tongkat dan sebagainya.
Al-Mutaraddiyah, yaitu
binatang yang jatuh dari tempat yang tinggi sehingga mati. Yang seperti ini
ialah binatang yang jatuh dalam sumur.
An-Nathihah, yaitu
binatang yang baku hantam antara satu dengan lain, sehingga mati.
Maa akalas sabu, yaitu
binatang yang disergap oleh binatang buas dengan dimakan sebagian dagingnya
sehingga mati.
Sesudah menyebutkan lima
macam binatang (No. 5 sampai dengan 9) ini kemudian Allah menyatakan “Kecuali binatang yang kamu sembelih,” yakni
apabila binatang-binatang tersebut kamu dapati masih hidup, maka sembelihlah.
Jadi binatang-binatang tersebut menjadi halal kalau kamu sembelih dan
sebagainya sebagaimana yang akan kita bicarakan di bab berikutnya.
Untuk mengetahui kebenaran
apa yang telah disebutkan di atas tentang halalnya binatang tersebut kalau
masih ada sisa umur, yaitu cukup dengan memperhatikan apa yang dikatakan oleh
Ali r,a. Kata Ali:
“Kalau kamu masih sempat menyembelih binatang-binatang yang jatuh dari atas, yang dipukul dan yang berbaku hantam itu…, karena masih bergerak (kaki muka) atau kakinya, maka makanlah.”
Dan kata Dhahhak:
“Orang-orang jahiliah dahulu pernah makan binatang-binatang tersebut, kemudian Allah mengharamkannya kecuali kalau sempat disembelih. Jika dijumpai binatang-binatang tersebut masih bergerak kakinya, ekornya atau kerlingan matanya dan kemudian sempat disembelih, maka halallah dia.”
2.1.10 Hikmah Diharamkannya Macam-Macam Binatang di Atas
Hikmah diharamkannya
macam-macam bangkai binatang seperti tertera di atas agak kurang begitu tampak
di sini. Tetapi hikmah yang lebih kuat, ialah: bahwa Allah s.w.t. mengetahui
akan perlunya manusia kepada binatang, kasihsayangnya dan pemeliharaannya. Oleh
karena itu tidak pantas kalau manusia dibiarkan begitu saja dengan sesukanya
untuk mencekik dan menyiksa binatang dengan memukul hingga mati seperti yang
biasa dilakukan oleh penggembala-penggembala yang keras hati, khususnya bagi
mereka yang diupah, dan mereka yang suka mengadu binatang, misalnya mengadu
antara dua kerbau, dua kambing sehingga matilah binatang-binatang tersebut atau
hampir-hampir mati.
Dari ini, maka para ulama
ahli fiqih menetapkan haramnya binatang yang mati karena beradu, sekalipun
terluka karena tanduk dan darahnya mengalir dari tempat penyembelihannya. Sebab
maksud diharamkannya di sini, menurut apa yang saya ketahui, yaitu sebagai
hukuman bagi orang yang membiarkan binatang-binatang tersebut beradu sehingga
satu sama lain bunuh-membunuh. Maka diharamkannya binatang tersebut adalah
merupakan suatu hukuman yang paling tepat. Adapun binatang yang disergap
(dimakan) oleh binatang buas, didalamnya –dan yang terpokok– terdapat unsur
penghargaan bagi manusia dan kebersihan dari sisa makanan binatang buas. Dimana
hal ini biasa dilakukan orang-orang jahiliah, yaitu mereka makan sisa-sisa
daging yang dimakan binatang buas, seperti kambing, unta, sapi dan sebagainya,
kemudian hal tersebut diharamkan Allah buat orang-orang mu’min.
2.1.11 Binatang yang Disembelih Untuk Berhala
10) Perincian yang ke10
dari macam-macam binatang yang haram, yaitu: Yang disembelih untuk berhala (maa
dzubiha alan nusub). Nushub sama dengan Manshub artinya: yang ditegakkan.
Maksudnya yaitu berhala atau batu yang ditegakkan sebagai tanda suatu
penyembahan selain Allah. Tanda-tanda ini berada di sekitar Ka’bah.
Orang-orang jahiliah biasa
menyembelih binatang untuk dihadiahkan kepada berhala-berhala tersebut dengan
maksud bertaqarrub kepada Tuhannya. Binatang-binatang yang disembelih untuk
maksud di atas termasuk salah satu macam yang disembelih bukan karena Allah.
Baik yang disembelih bukan
karena Allah ataupun yang disembelih untuk berhala, kedua-duanya adalah suatu
pengagungan terhadap berhala (thaghut). Bedanya ialah: bahwa binatang yang
disembelih bukan karena Allah itu, kadang-kadang disembelih untuk sesuatu
patung, tetapi binatang itu sendiri jauh dari patung tersebut dan jauh dari
berhala (nushub), tetapi di situ disebutnya nama thaghut (berhala). Adapun
binatang yang disembelih untuk berhala, yaitu mesti binatang tersebut
disembelih di dekat patung tersebut dan tidak mesti dengan menyebut nama selain
Allah.
Karena berhala-berhala dan
patung-patung itu berada di sekitar Ka’bah, sedang sementara orang beranggapan,
bahwa menyembelih untuk dihadiahkan kepada berhala-berhala tersebut berarti
suatu penghormatan kepada Baitullah, maka anggapan seperti itu oleh al-Quran
dihilangkannya dan ditetapkanlah haramnya binatang tersebut dengan nas yang
tegas dan jelas, sekalipun itu difahami dari kalimat maa uhilla lighairillah
(apa-apa yang disembelih bukan karena Allah).
2.1.12 Ikan dan Belalang Dapat Dikecualikan dari Bangkai
Ada dua binatang yang
dikecualikan oleh syariat Islam dari kategori bangkai, yaitu belalang, ikan dan
sebagainya dari macam binatang yang hidup di dalam air.
Rasulullah s.a.w. ketika
ditanya tentang masalah air laut, beliau menjawab:
“Laut itu airnya suci dan bangkainya halal.” (Riwayat Ahmad dan ahli sunnah)
Dan firman Allah yang
mengatakan:
“Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut dan makanannya.” (al-Maidah. 96)
Umar berkata: Yang
dimaksud shaiduhu, yaitu semua binatang yang diburu; sedang yang dimaksud
tha’amuhu (makanannya), yaitu barang yang dicarinya.
Dan kata Ibnu Abbas pula,
bahwa yang dimaksud thaamuhu, yaitu bangkainya.
Dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdullah
diceriterakan, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah mengirimkan suatu angkatan,
kemudian mereka itu mendapatkan seekor ikan besar yang sudah menjadi bangkai.
lkan itu kemudian dimakannya selama 20 hari lebih. Setelah mereka tiba di
Madinah, diceriterakanlah hal tersebut kepada Nabi, maka jawab Nabi:
“Makanlah rezeki yang telah Allah keluarkan untuk kamu itu, berilah aku kalau kamu ada sisa. Lantas salah seorang diantara mereka ada yang memberinya sedikit. Kemudian Nabi memakannya.” (Riwayat Bukhari)
Yang termasuk dalam
kategori ikan yaitu belalang. Dalam hal ini Rasulullah s.a.w. memberikan suatu
perkenan untuk dimakannya walaupun sudah menjadi bangkai, karena satu hal yang
tidak mungkin untuk menyembelihnya.
Ibnu Abi Aufa mengatakan:
“Kami pernah berperang bersama Nabi tujuh kali peperangan, kami makan belalang bersama beliau.” (Riwayat Jama’ah, kecuali Ibnu Majah)
2.1.13 Memanfaatkan Kulit Tulang dan Rambut Bangkai
Yang dimaksud haramnya
bangkai, hanyalah soal memakannya. Adapun memanfaatkan kulitnya, tanduknya,
tulangnya atau rambutnya tidaklah terlarang. Bahkan satu hal yang terpuji,
karena barang-barang tersebut masih mungkin digunakan. Oleh karena itu tidak
boleh disia-siakan.
Ibnu Abbas r.a.
meriwayatkan, bahwa salah seorang hamba Maimunah yang telah dimerdekakan
(maulah) pernah diberi hadiah seekor kambing, kemudian kambing itu mati dan
secara kebetulan Rasulullah berjalan melihat bangkai kambing tersebut, maka
bersabdalah beliau:
“Mengapa tidak kamu ambil kulitnya, kemudian kamu samak dan memanfaatkan?” Para sahabat menjawab: “Itu kan bangkai!” Maka jawab Rasulullah: “Yang diharamkan itu hanyalah memakannya.” (Riwayat Jama’ah, kecuali Ibnu Majah)
Rasulullah s.a.w.
menerangkan cara untuk membersihkannya, yaitu dengan jalan disamak.
Sabda beliau:
“Menyamak kulit binatang itu berarti penyembelihannya.” (Riwayat Abu Daud dan Nasal)
Yakni, bahwa menyamak
kulit itu sama dengan menyembelih untuk menjadikan kambing tersebut menjadi
halal.
Dalam salah satu riwayat
disebutkan:
“Menyamak kulit bangkai itu dapat menghilangkan kotorannya.” (Riwayat al-Hakim)
Dan diriwayatkan pula,
bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Kulit apa saja kalau sudah disamak, maka sungguh menjadi suci/bersih.” (Riwayat Muslim dan lain-lain)
Kulit yang disebut dalam
hadis-hadis ini adalah umum, meliputi kulit anjing dan kulit babi. Yang
berpendapat demikian ialah madzhab Dhahiri, Abu Yusuf dan diperkuat oleh Imam
Syaukani.
Kata Saudah Umul Mu’minin:
“Kami mempunyai kambing, kemudian kambing itu mati, lantas kami samak kulitnya dan kami pakai untuk menyimpan korma supaya menjadi manis, dan akhirnya kami jadikan suatu girbah (suatu tempat yang terbuat dari kulit binatang yang biasa dipakai oleh orang Arab zaman dahulu untuk mengambil air dan sebagainya).” (Riwayat Bukhari).
2.1.14 Keadaan
Darurat dan Pengecualiannya
Semua binatang yang
diharamkan sebagaimana tersebut di atas, adalah berlaku ketika dalam keadaan
normal. Adapun ketika dalam keadaan darurat, maka hukumnya tersendiri, yaitu
Halal.
Firman Allah:
“Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia telah haramkan atas kamu, kecuali kamu dalam keadaan terpaksa.” (al-An’am: 119)
Dan di ayat lain, setelah
Allah menyebut tentang haramnya bangkai, darah dan sebagainya kemudian
diikutinya dengan mengatakan:
“Barangsiapa terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka tidak ada dosa atasnya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih.” (al-Baqarah: 173)
Darurat yang sudah
disepakati oleh semua ulama, yaitu darurat dalam masalah makanan, karena
ditahan oleh kelaparan. Sementara ulama memberikan batas darurat itu berjalan
sehari-semalam, sedang dia tidak mendapatkan makanan kecuali barang-barang yang
diharamkan itu. Waktu itu dia boleh makan sekedarnya sesuai dengan dorongan
darurat itu dan guna menjaga dari bahaya.
Imam Malik memberikan
suatu pembatas, yaitu sekedar kenyang, dan boleh menyimpannya sehingga mendapat
makanan yang lain. Ahli fiqih yang lain berpendapat: dia tidak boleh makan,
melainkan sekedar dapat mempertahankan sisa hidupnya.
Barangkali di sinilah
jelasnya apa yang dimaksud dalam firman Allah Ghaira baghin wala ‘adin (dengan
tidak sengaja dan melewati batas) itu. Perkataan ghairah baghin maksudnya:
Tidak mencari-cari alasan karena untuk memenuhi keinginan (seleranya). Sedang
yang dimaksud dengan wala ‘adin, yaitu: Tidak melewati batas ketentuan darurat.
Sedang apa yang dimaksud dengan daruratnya lapar, yaitu seperti yang dijelaskan
Allah dalam firmannya, dengan tegas Ia mengatakan:
“Dan barangsiapa yang terpaksa pada (waktu) kelaparan
dengan tidak sengaja untuk berbuat dosa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
dan Maha Belas-kasih. ” (al-Maidah: 3)
2.1.15
Daruratnya Berobat
Daruratnya berobat, yaitu
ketergantungan sembuhnya suatu penyakit pada memakan sesuatu dari barang-barang
yang diharamkan itu. Dalam hal ini para ulama fiqih berbeda pendapat. Di antara
mereka ada yang berpendapat, berobat itu tidak dianggap sebagai darurat yang
sangat memaksa seperti halnya makan. Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadis
Nabi yang mengatakan:
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhanmu dengan sesuatu yang Ia haramkan atas kamu.” (Riwayat Bukhari)
Sementara mereka ada juga
yang menganggap keadaan seperti itu sebagai keadaan darurat, sehingga
dianggapnya berobat itu seperti makan, dengan alasan bahwa kedua-duanya itu
sebagai suatu keharusan kelangsungan hidup. Dalil yang dipakai oleh golongan
yang membolehkan makan haram karena berobat yang sangat memaksakan itu, ialah
hadis Nabi yang sehubungan dengan perkenan beliau untuk memakai sutera kepada
Abdur-Rahman bin Auf dan az-Zubair bin Awwam yang justru karena penyakit yang
diderita oleh kedua orang tersebut, padahal memakai sutera pada dasarnya adalah
terlarang dan diancam.
Barangkali pendapat inilah
yang lebih mendekati kepada jiwa Islam yang selalu melindungi kehidupan manusia
dalam seluruh perundang-undangan dan rekomendasinya.
Tetapi perkenan (rukhsah)
dalam menggunakan obat yang haram itu harus dipenuhinya syarat-syarat sebagai
berikut:
>. Terdapat bahaya yang
mengancam kehidupan manusia jika tidak berobat.
>. Tidak ada obat lain
yang halal sebagai ganti Obat yang haram itu.
>. Adanya suatu
pernyataan dari seorang dokter muslim yang dapat dipercaya, baik pemeriksaannya
maupun agamanya (i’tikad baiknya).
Kami katakan demikian
sesuai dengan apa yang kami ketahui, dari realita yang ada dari hasil
penyelidikan dokter-dokter yang terpercava, bahwa tidak ada darurat yang
membolehkan makan barang-barang yang haram seperti obat. Tetapi kami menetapkan
suatu prinsip di atas adalah sekedar ikhtiyat’ (bersiap-siap dan berhati-hati)
yang sangat berguna bagi setiap muslim, yang kadang-kadang dia berada di suatu
tempat yang di situ tidak ada obat kecuali yany haram.
2.1.16
Perseorangan Tidak Boleh Dianggap Darurat Kalau Dia Berada Dalam Masyarakat
yang di Situ Ada Sesuatu yang Dapat Mengatasi Keterpaksaannya Itu
Tidak termasuk syarat
darurat hanya karena seseorang itu tidak mempunyai makanan, bahkan tidak
termasuk darurat yang membolehkan seseorang makan makanan yang haram, apabila
di masyarakatnya itu ada orang, muslim atau kafir, yang masih mempunyai sisa
makanan yang kiranya dapat dipakai untuk mengatasi keterpaksaannya itu. Karena
prinsip masyarakat Islam adalah harus ada perasaan saling bertanggungjawab dan
saling bantu-membantu dan bersatu padu bagaikan satu tubuh atau bangunan yang
satu sama lain saling kuat-menguatkan.
Salah satu hasil tinjauan
yang sangat bernilai oleh para ahli fiqih Islam terhadap masalah solidaritas
sosial, yaitu seperti yang pernah dikatakan oleh Ibnu Hazm: “Bahwa tidak halal
bagi seorang muslim yang dalam keadaan terpaksa untuk makan bangkai atau babi,
sedangkan dia masih mendapatkan makanan dari kelebihan kawannya yang muslim
ataupun kafir zimmi. Karena suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang
yang mempunyai makanan, yaitu memberikan makanan tersebut kepada rekannya yang
sedang kelaparan.
Kalau betul keadaannya
demikian, dia tidak dapat dikategorikan terpaksa yang boleh makan bangkai dan
babi. Dan dia boleh memerangi keadaan seperti itu. Kalau dia terbunuh dalam
persengketaan itu, si pembunuhnya dikenakan hukuman qisas, dan kalau yang
menahan uangnya itu sampai terbunuh, maka dia akan mendapat laknat dari Allah,
karena dia menahan hak orang. Dia akan dapat digolongkan sebagai bughat
(orang-orang yang zalim).
Seperti firman Allah:
“Kalau salah satunya berbuat zalim kepada yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat zalim itu sehingga mereka mau kembali kepada hukum Allah.” (al-Hujurat: 9)
Orang yang menentang suatu
perbuatan baik adalah orang berbuat jahat kepada kawannya yang mempunyai hak.
Justru itulah Abubakar as-Siddiq memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan
zakat.
2.1.17
Penyembelihan Menurut Syara’
2.1.17.1
Binatang Laut dan Darat
BINATANG, dilihat dari
segi tempatnya ada dua macam: Binatang laut dan binatang darat.
2.1.17.1.1 Binatang laut yaitu
semua binatang yang hidupnya di dalam air
Binatang ini semua halal,
didapat dalam keadaan bagaimanapun, apakah waktu diambilnya itu masih dalam
keadaan hidup ataupun sudah bangkai, terapung atau tidak. Binatang-binatang
tersebut berupa ikan ataupun yang lain, seperti: anjing laut, babi laut dan
sebagainya.
Bagi yang mengambilnya
tidak lagi perlu diperbincangkan, apakah dia seorang muslim ataupun orang
kafir. Dalam hal ini Allah memberikan keleluasaan kepada hamba-hambaNya dengan
memberikan perkenan (mubah) untuk makan semua binatang laut, tidak ada satupun
yang diharamkan dan tidak ada satupun persyaratan untuk menyembelihnya seperti
yang berlaku pada binatang lainnya. Bahkan Allah menyerahkan bulat-bulat kepada
manusia untuk mengambil dan menjadikannya sebagai modal kekayaan menurut
kebutuhannya dengan usaha semaksimal mungkin untuk tidak menyiksanya.
Firman Allah:
“Dialah Zat yang memudahkan laut supaya kamu makan daripadanya daging yang lembut.” (an-Nahl: 14)
“Dihalalkan buat kamu binatang buronan laut dan makanannya sebagai perbekalan buat kamu dan untuk orang-orang yang belayar.” (al-Maidah: 96)
Di sini Allah menyampaikan
secara umum, tidak ada satupun yang dikhususkan, sedang Allah tidak akan lupa
(wamakana rabbuka nasiyan).
2.1.17.1.2
Binatang darat yang haram
Tentang binatang darat,
al-Quran tidak jelas menentukan yang haram, melainkan babi, darah, bangkai dan
yang disembelih bukan karena Allah, sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa
ayat terdahulu, dengan susunan yang terbatas pada empat macam dan diperinci
menjadi 10 macam.
Tetapi di samping itu
al-Quran juga mengatakan:
“Dan Allah mengharamkan atas mereka yang kotor-kotor.” (al-A’raf: 157)
Yang disebut Khabaits
(yang kotor-kotor), yaitu semua yang dianggap kotor oleh perasaan manusia
secara umum, kendati beberapa prinsip mungkin menganggap tidak kotor. Justru
itu Rasulullah dalam hadisnya melarang makan keledai kota pada hari Khaibar.
Hadisnya itu berbunyi
sebagai berikut:
“Rasulullah s.a.w. melarang makan daging keledai kota pada hari perang Khaibar.”4 (Riwayat Bukhari)
Dan untuk itu diriwayatkan
bahwa Rasulullah melarang binatang yang bertaring dan burung yang berkuku
mencengkeram:
“Rasulullah melarang makan semua binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku mencengkeram.” (Riwayat Bukhari)
Yang dimaksud Binatang Was
(siba’), yaitu binatang yang menangkap binatang lainnya dan memakan dengan
bengis, seperti singa, serigala dan lain-lain. Dan apa yang dimaksud dengan
burung yang berkuku (dzi mikhlabin minath-thairi), yaitu yang kukunya itu dapat
melukai, seperti burung elang, rajawali, ruak-ruak bangkai dan burung yang
sejenis dengan elang.
Ibnu Abbas berpendapat,
bahwa binatang yang haram dimakan itu hanya empat seperti yang tersebut dalam
ayat. Seolah-olah beliau menganggap hadis-hadis di atas dan lain-lain sebagai
mengatakan makruh, bukan haram. Atau mungkin karena hadis-hadis tersebut tidak
sampai kepadanya.
Ibnu Abbas juga pernah
berkata: “Bahwa orang-orang jahiliah pernah makan sesuatu dan meninggalkan
sesuatu karena dipandang kotor. Kemudian Allah mengutus nabiNya dan menurunkan
kitabNya. Di situlah menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Oleh
karena itu, apa yang dihalalkan, berarti halal, dan apa yang diharamkan,
berarti haram, sedang yang didiamkan berarti dimaafkan (halal). Kemudian ia
membaca ayat:
“Katakanlah! Saya tidak mendapatkan sesuatu yang diwahyukan kepadaku tentang makanan yang diharamkan bagi orang yang mau makan kecuali …” (al-An’am: 145)
Berdasar ayat ini, Ibnu Abbas
berpendapat bahwa daging keledai kota itu halal.
Pendapat Ibnu Abbas ini
diikuti oleh Imam Malik, dimana beliau tidak menganggap haram terhadap
binatang-binatang buas dan sebagainya, tetapi ia hanya menganggap makruh.
Yang sudah pasti, bahwa
penyembelihan secara syara’ tidak mempengaruhi halalnya binatang-binatang yang
haram itu, tetapi mempengaruhi terhadap sucinya kulit sehingga tidak perlu lagi
disamak
2.1.17.2 Menyembelih Sebagai
Syarat Halalnya Binatang
Binatang-binatang darat
yang halal dimakan itu ada dua macam:
Binatang-binatang tersebut
mungkin untuk ditangkap, seperti unta, sapi, kambing dan binatang-binatang
jinak lainnya, misalnya binatang-binatang peliharaan dan burung-burung yang
dipelihara di rumah-rumah.
Binatang-binatang yang
tidak dapat ditangkap.
Untuk binatang-binatang
yang mungkin ditangkap seperti tersebut di atas, supaya dapat dimakan, Islam
memberikan persyaratan harus disembelih menurut aturan syara’.
2.1.17.3 Syarat-Syarat
Penyembelihan Menurut Syara’
Penyembelihan menurut
syara’ yang dimaksud, hanya bisa sempurna jika terpenuhinya syarat-syarat
sebagai berikut:
1). Binatang tersebut
harus disembelih atau ditusuk (nahr) dengan suatu alat yang tajam yang dapat
mengalirkan darah dan mencabut nyawa binatang tersebut, baik alat itu berupa
batu ataupun kayu.
‘Adi bin Hatim ath-Thai
pernah bertanya kepada Rasulullah s.a.w.:
“Ya Rasulullah! Kami berburu dan menangkap seekor binatang, tetapi waktu itu kami tidak mempunyai pisau, hanya batu tajam dan belahan tongkat yang kami miliki, dapatkah itu kami pakai untuk menyembelih?” Maka jawab Nabi:
“Alirkanlah darahnya dengan apa saja yang kamu suka, dan sebutlah nama Allah atasnya.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Nasal, Ibnu Majah, Hakim dan Ibnu Hibban)
2). Penyembelihan atau
penusukan (nahr) itu harus dilakukan di leher binatang tersebut, yaitu: bahwa
kematian binatang tersebut justru sebagai akibat dari terputusnya urat nadi
atau kerongkongannya. Penyembelihan yang paling sempurna, yaitu terputusnya
kerongkongan, tenggorokan dan urat nadi.
Persyaratan ini dapat
gugur apabila penyembelihan itu ternyata tidak dapat dilakukan pada tempatnya
yang khas, misalnya karena binatang tersebut jatuh dalam sumur, sedang
kepalanya berada di bawah yang tidak mungkin lehernya itu dapat dipotong; atau
karena binatang tersebut menentang sifat kejinakannya. Waktu itu boleh
diperlakukan seperti buronan, yang cukup dilukai dengan alat yang tajam di
bagian manapun yang mungkin.
Raafi’ bin Khadij
menceriterakan:
“Kami pernah bersama Nabi dalam suatu bepergian, kemudian ada seekor unta milik orang kampung melarikan diri, sedang mereka tidak mempunyai kuda, untuk mengejar, maka ada seorang laki-laki yang melemparnya dengan panah. Kemudian bersabdalah Nabi: ‘Binatang ini mempunyai sifat primitif seperti primitifnya binatang biadab (liar), oleh karena itu apa saja yang dapat dikerjakan, kerjakanlah; begitulah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
3). Tidak disebut selain
asma’ Allah; dan ini sudah disepakati oleh semua ulama. Sebab orang-orang
jahiliah bertaqarrub kepada Tuhan dan berhalanya dengan cara menyembelih
binatang, yang ada kalanya mereka sebut berhala-berhala itu ketika menyembelih,
dan ada kalanya penyembelihannya itu diperuntukkan kepada sesuatu berhala
tertentu. Untuk itulah maka al-Quran melarangnya, yaitu sebagaimana disebutkan
dalam firmannya:
“Dan binatang yang disembelih karena selain Allah … dan binatang yang disembelih untuk berhala.” (al-Maidah: 3)
4). Harus disebutnya nama
Allah (membaca bismillah) ketika menyembelih. Ini menurut zahir nas al-Quran
yang mengatakan:
“Makanlah dari apa-apa yang disebut asma’ Allah atasnya, jika kamu benar-benar beriman kepada ayat-ayatNya.” (al-An’am: 118)
“Dan janganlah kamu makan dari apa-apa yang tidak disebut asma’ Allah atasnya, karena sesungguhnya dia itu suatu kedurhakaan.” (al-An’am: 121)
Dan sabda Rasulullah
s.a.w.:
“Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebut asma’ Allah atasnya, maka makanlah dia.” (Riwayat Bukhari)
Di antara yang memperkuat
persyaratan ini, ialah beberapa hadis shahih yang mengharuskan menyebut asma’
Allah ketika melepaskan panah atau anjing berburu, sebagaimana akan diterangkan
nanti. Sementara ulama ada juga yang berpendapat, bahwa menyebut asma’ Allah
itu sudah menjadi suatu keharusan, akan tetapi tidak harus ketika
menyembelihnya itu. Bisa juga dilakukan ketika makan. Sebab kalau ketika makan
itu telah disebutnya asma’ Allah bukanlah berarti dia makan sesuatu yang
disembelih dengan tidak disebut asma’ Allah. Karena sesuai dengan ceritera
Aisyah, bahwa ada beberapa orang yang baru masuk Islam menanyakan kepada
Rasulullah:
“Sesungguhnya suatu kaum memberi kami daging, tetapi kami tidak tahu apakah mereka itu menyebut asma’ Allah atau tidak? Dan apakah kami boleh makan daripadanya atau tidak? Maka jawab Nabi: ‘Sebutlah asma’ Allah dan makanlah.'” (Riwayat Bukhari)
2.1.17.4 Rahasia Penyembelihan
dan Hikmahnya
Rahasia penyembelihan,
menurut yang kami ketahui, yaitu melepaskan nyawa binatang dengan jalan yang
paling mudah, yang kiranya meringankan dan tidak menyakiti. Untuk itu maka
disyaratkan alat yang dipakai harus tajam, supaya lebih cepat memberi pengaruh.
Di samping itu
dipersyaratkan juga, bahwa penyembelihan itu harus dilakukan pada leher, karena
tempat ini yang lebih dekat untuk memisahkan hidup binatang dan lebih mudah.
Dan dilarang menyembelih
binatang dengan menggunakan gigi dan kuku, karena penyembelihan dengan
alat-alat tersebut dapat menyakiti binatang. Pada umumnya alat-alat tersebut
hanya bersifat mencekik.
Nabi memerintahkan, supaya
pisau yang dipakai itu tajam dan dengan cara yang sopan.
Sabda Nabi:
“Sesungguhnya Allah mewajibkan untuk berbuat baik kepada sesuatu. Oleh karena itu jika kamu membunuh, maka perbaikilah cara membunuhnya, dan apabila kamu menyembelih maka perbaikilah cara menyembelihnya dan tajamkanlah pisaunya serta mudahkanlah penyembelihannya itu.” (Riwayat Muslim)
Di antara bentuk kebaikan
ialah seperti apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwa Rasulullah
memerintahkan supaya pisaunya itu yang tajam.
Sabda Nabi:
“Apabila salah seorang di antara kamu memotong (binatang), maka sempurnakanlah.” (Riwayat Ibnu Majah)
Diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas, bahwa ada seorang yang membaringkan seekor kambing sambil ia mengasah
pisaunya, maka kata Nabi:
“Apakah kamu akan membunuhnya, sesudah dia menjadi bangkai? Mengapa tidak kamu asah pisaumu itu sebelum binatang tersebut kamu baringkan?” (Riwayat Hakim)
Umar Ibnul-Khattab pernah
juga melihat seorang laki-laki yang mengikat kaki seekor kambing dan diseretnya
untuk disembelih, maka kata Umar: ‘Sial kamu! Giringlah dia kepada mati dengan
suatu cara yang baik.’ (Riwayat Abdurrazzaq).
Begitulah kita dapati
pemikiran secara umum dalam permasalahan ini, yaitu yang pada pokoknya harus
menaruh belas-kasih kepada binatang dan meringankan dia dari segala penderitaan
dengan segala cara yang mungkin.
Orang-orang jahiliah
dahulu suka memotong kelasa unta (bhs Jawa, punuk) dan jembel kambing dalam
keadaan hidup. Cara semacam itu adalah menyiksa binatang. Oleh karena itu
Rasulullah s.a.w. kemudian menghalangi maksud mereka dan mengharamkan memanfaatkan
binatang dengan cara semacam itu.
Maka kata Nabi:
“Daging yang dipotong dari binatang dalam keadaan hidup, berarti bangkai.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi dan Hakim)
2.1.17.5 Hikmah Menyebut Asma’
Allah Waktu Menyembelih
Perintah untuk menyebut
asma’ Allah ketika menyembelih terkandung rahasia yang halus sekali, yang
kiranya perlu untuk direnungkan dan diperhatikan:
Ditinjau dari segi
perbedaannya dengan orang musyrik. Bahwa orang-orang musyrik dan orang-orang
jahiliah selalu menyebut nama-nama tuhan dan berhala mereka ketika menyembelih.
Kalau orang-orang musyrik berbuat demikian, mengapa orang mu’min tidak menyebut
nama Tuhannya?
Segi kedua, yaitu bahwa
binatang dan manusia sama-sama makhluk Allah yang hidup dan bernyawa. Oleh
karena itu mengapa manusia akan mentang-mentang begitu saja mencabutnya
binatang tersebut, tanpa minta izin kepada penciptanya yang juga mencipta
seluruh isi bumi ini? Justru itu menyebut asma’ Allah di sini merupakan suatu
pemberitahuan izin Allah, yang seolah-olah manusia itu mengatakan: Aku berbuat
ini bukan karena untuk memusuhi makhluk Allah, bukan pula untuk merendahkannya,
tetapi adalah justru dengan nama Allah kami sembelih binatang itu dan dengan
nama Allah juga kami berburu dan dengan namaNya juga kami makan.
2.1.17.6 Sembelihan Ahli Kitab
Kita tahu bagaimana Islam
memperkeras persoalan penyembelihan dan menganggap penting persoalan ini. Hal
ini adalah justru karena orang-orang musyrik Arab dan pengikut-pengikut agama
lain telah menjadikan penyembelihan termasuk persoalan ibadah, bahkan masuk
persoalan keyakinan dan pokok kepercayaan agama. Oleh karena itu menyembelih,
mereka jadikan sebagai sesuatu cara untuk berbakti kepada tuhannya, maka
disembelihnya binatang untuk berhala atau dengan menyebut nama tuhannya.
Kemudian datanglah Islam menghapus cara-cara ini dan mewajibkan untuk tidak
menyebut kecuali asma’ Allah, serta mengharamkan binatang yang disembelih untuk
berhala dan dengan menyebut nama berhala.
Kemudian setelah ahli
kitab yang semula adalah bertauhid itu telah banyak dipengaruhi oleh
perasaan-perasaan syirik dan samasekali tidak melepaskan dari kesyirikanriya
yang dulu-dulu, sehingga sementara orang Islam menganggap, bahwa mereka tidak
bisa lagi bergaul dan bertemu dengan mereka sebagaimana halnya terhadap
orang-orang musyrik lainnya, maka Allah memberikan perkenan (rukhsah) kepada
mereka untuk makan makanan ahli kitab sebagaimana halnya dalam
persoalan-persoalan perkawinan. Hal ini ditegaskan Allah dalam firmanNya yang
merupakan ayat terakhir, yaitu:
“Hari ini dihalalkan yang baik-baik buat kamu dan begitu juga makanan orang-orang yang pernah diberi kitab (ahli kitab) adalah halal buat kamu, dan sebaliknya makananmu halal buat mereka.” (al-Maidah: 5)
Maksud ayat di atas secara
ringkas: bahwa hari ini semua yang baik, halal buat kamu, karena itu tidak ada
lagi apa yang disebut: Bahirah, saibah, washilah dan ham. Dan makanan ahli
kitab pun halal buat kamu sesuai dengan hukum asal dimana samasekali Allah
tidak mengharamkannya, dan sebaliknya makananmu pun halal buat mereka. Jadi
kamu boleh makan binatang yang disembelih dan diburu oleh ahli kitab, dan
sebaliknya kamu boleh memberi makan ahli kitab dengan binatang yang kamu
sembelih atau yang kamu buru.
Islam bersifat keras
terhadap orang musyrik tetapi terhadap ahli kitab sangat lunak dan mempermudah,
karena mereka ini lebih dekat kepada orang mu’min, sebab sama-sama mengakui
wahyu Allah, mengakui kenabian dan pokok-pokok agama secara global. Justru itu
pula kita dianjurkan untuk menaruh mawaddah terhadap mereka, boleh makan
makanan mereka, boleh kawin dengan perempuan-perempuan mereka dan bergaul
dengan baik bersama mereka. Sebab kalau mereka itu sudah bergaul dengan kita
dan memeluk Islam dengan penuh keyakinan dan kesadaran, mereka pun akan tahu bahwa
agama kita itu justru agama mereka juga dalam pengertian yang lebih tinggi,
lebih sempurna bentuk-bentuknya dan lebih bersih lembaran-lembarannya dari
segala macam bid’ah, kebatilan dan persekutuan.
Perkataan makanan ahli
kitab adalah suatu ungkapan yang bersifat umum, meliputi seluruh macam makanan:
sembelihannya, biji-bijiannya dan sebagainya. Semua ini halal buat kita, selama
barang-barang tersebut tidak termasuk kategori haram, karena zatnya seperti
darah, bangkai dan daging babi. Semua ini tidak boleh kita makan dengan ijma’
ulama, baik barang-barang tersebut makanan ahli kitab ataupun milik orang
muslim.
Sampai di sini selesailah
pembicaraan kita tentang masalah binatang yang halal dan haram. Sekarang
tinggal yang perlu untuk diterangkan kepada orang-orang Islam beberapa masalah
yang sangat urgen, yaitu:
2.1.17.6.1 Binatang yang
Disembelih Untuk Gereja dan Hari-Hari Besar
Masalah pertama: Apabila
tidak terdengar suara dari ahli kitab itu sebutan nama selain Allah, misalnya:
Nama al-Masih dan Uzair ketika menyembelih, maka makanannya tersebut tetap
halal buat orang Islam. Tetapi kalau sampai terdengar suara penyebutan nama
selain Allah, maka dari kalangan ahli fiqih ada yang mengharamkannya karena
termasuk apa yang disebut uhilla lighairillah (yang disembelih bukan karena
Allah). Tetapi sementara ada juga yang berpendapat halal.
Abu Darda’ pernah ditanya
tentang kambing yang disembelih untuk suatu gereja yang disebut jurjas,
binatang itu mereka hadiahkan buat gereja tersebut, apakah boleh kita makan?
Maka jawab Abu Darda’: “Boleh.” Sebab mereka itu adalah ahli kitab yang
makanannya sudah jelas halal buat kita, dan sebaliknya makanan kita pun halal
buat mereka. Kemudian dia suruh memakannya.
Imam Malik pernah ditanya
tentang sembelihan ahli kitab untuk hari-hari besar dan gereja mereka, maka
kata Imam Malik: Aku memakruhkannya dan aku tidak menganggapnya haram.
Imam Malik memakruhkannya,
karena termasuk dalam kategori wara’ (berhati-hati supaya tidak jatuh ke dalam
maksiat) karena kawatir kalau-kalau dia itu termasuk ke dalam apa yang disebut
binatang yang disembelih bukan karena Allah. Dan ia tidak mengharamkan, karena
arti dan maksud apa yang disembelih bukan karena Allah itu menurut pendapatnya,
sepanjang yang dinisbatkan kepada ahli kitab, yaitu yang disembelih untuk
bertaqarrub kepada Tuhan sedang mereka (ahli kitab) itu sendiri tidak
memakannya. Dan apa yang disembelih dan dimakan adalah termasuk makanan mereka,
sedang dalam hal ini Allah telah menegaskan:
“Bahwa makanan ahli kitab itu halal buat kamu.”
2.1.17.6.2 Sembelihan yang
Dilakukan Oleh Ahli Kitab dengan Tenaga Listrik dan Sebagainya
Masalah kedua: Apakah
penyembelihan mereka itu dipersyaratkan seperti penyembelihan kita juga, yaitu
dengan pisau yang tajam dan dilakukan pada leher binatang?
Kebanyakan para ulama
berpendapat demikian. Tetapi menurut fatwa pengikut-pengikut madzhab Imam
Malik, bahwa yang demikian itu tidak termasuk persyaratan.
Al-Qadhi Ibnu Arabi
berkata ketika menafsiri ayat 5 surah al-Maidah itu sebagai berikut: Ini suatu
dalil yang tegas, bahwa binatang buruan dan makanan ahli kitab itu adalah
termasuk makan yang baik-baik (thayyibaat) yang telah dihalalkan Allah dengan
mutlak. Allah mengulang-ulanginya itu hanyalah bermaksud untuk menghilangkan
keragu-raguan pertentangan-pertentangan yang timbul dari perasaan-perasaan yang
salah, yang memang sering menimbulkan suatu pertentangan dan memperpanjang
omongan.
Saya pernah ditanya
tentang seorang Kristen yang membelit leher ayam kemudian dimasaknya, apakah
itu boleh dimakan atau diambil sebagian daripadanya sebagai makanan? Maka jawab
saya: Boleh dimakan, karena dia itu termasuk makanannya dan makanan pendeta dan
pastor, sekalipun ini menurut kita tidak termasuk penyembelihan, namun Allah
telah menghalalkan makanan mereka itu secara mutlak. Makanan apapun yang
dibenarkan oleh agama mereka berarti halal buat kita, kecuali yang memang oleh
Allah telah didustakan.
Ulama-ulama kita pernah
berkata: Mereka telah menyerahkan perempuan-perempuan mereka kepada kita untuk
dikawin dan halal kita setubuhi, mengapa penyembelihannya tidak boleh kita
makan, sedang makan tidak sama dengan setubuh, halal dan haramnya.
Demikian pendapat
Ibnul-Arabi.
Kemudian di tempat lain ia
berkata lagi: Mereka tidak makan yang bukan karena disembelih, misalnya dengan
dicekik dan dipukul kepalanya (dengan tidak bermaksud menyembelih, karena itu
binatang tersebut termasuk bangkai yang haram).
Kedua pendapat beliau ini
tidak bertentangan, sebab yang dimaksud ialah: Apa yang mereka anggap sebagai
penyembelihan, berarti halal buat kita sekalipun menurut kita sembelihannya itu
tidak benar. Dan apa yang mereka anggap itu bukan sembelihan, tidaklah halal
buat kita.
Dengan demikian, menurut
mafhum musytarak apa yang disebut penyembelihan, yaitu bermaksud menyabung
nyawa binatang dengan niat untuk halalnya memakan binatang tersebut.
Ini adalah pendapat
ulama-ulama Malikiyah.
Dengan bercermin kepada
apa yang telah kami sebutkan di atas, maka kita dapat mengetahui hukumnya
daging-daging yang diimport dari negara-negara yang penduduknya majoritas ahli
kitab, seperti ayam, corned sapi, yang semua itu kadang-kadang disembelih
dengan menggunakan tenaga elektronik dan sebagainya. Selama binatang-binatang
tersebut oleh mereka dianggapnya sebagai sembelihan, maka jelas halal buat kita,
sesuai dengan umumnya ayat.
Adapun daging-daging yang
diimport dari negara-negara Komunis, tidak boleh kita makan. Sebab mereka itu
bukan ahli kitab, bahkan mereka adalah kufur dan anti kepada semua agama dan
menentang Allah serta seluruh risalahnya.
2.1.17.6.3 Penyembelihan Orang
Majusi dan Sebagainya
Para ulama berbeda
pendapat tentang penyembelihan orang Majusi. Kebanyakan mereka berpendapat
tidak boleh memakannya karena mereka termasuk orang musyrik.
Sedang yang lain
berpendapat halal karena Nabi s.a.w. pernah bersabda:
“Perlakukanlah mereka itu seperti perlakuan terhadap ahli kitab.” (Riwayat Malik dan Syafi’i) Dan Nabi sendiri pernah menerima upeti dari Majusi Hajar. (Riwayat Bukhari).
Oleh karena itu, Ibnu
Hazim berkata di bab penyembelihan dalam kitabnya Muhalla: “Mereka itu adalah
ahli kitab, oleh karena itu mereka dihukumi seperti hukum yang berlaku untuk
ahli kitab dalam segala hal.” (Lihat juz 7: 456).
Dan shabiun (penyembah
binatang) oleh Abu Hanifah dianggap sebagai ahli kitab juga.
2.1.17.6.4 Kaidah: “Apa Yang
Ghaib Bagi Kita, Jangan Kita Tanyakan”
Tidak menjadi kewajiban
seorang muslim untuk menanyakan hal-hal yang tidak disaksikan, misalnya:
Bagaimana cara penyembelihannya? Terpenuhi syaratnya atau tidak? Disebut asma’
Allah atau tidak? Bahkan apapun yang tidak kita saksikan sendiri tentang
penyembelihannya baik dilakukan oleh seorang muslim, walaupun dia bodoh dan
fasik, ataupun oleh ahli kitab, semuanya adalah halal buat kita.
Sebab, seperti apa yang
telah kita sebutkan di atas, yaitu ada suatu kaum yang bertanya kepada Nabi:
“Bahwa ada satu kaum yang memberinya daging, tetapi kita tidak tahu apakah
disebut asma’ Allah atau tidak. Maka jawab Nabi: Sebutlah asma’ Allah atasnya
dan makanlah,” (Riwayat Bukhari).
Berdasar hadis ini para
ulama berpendapat, bahwa semua perbuatan dan pengeluaran selalu dihukumi sah
dan baik, kecuali ada dalil (bukti) yang menunjukkan rusakan batalnya perbuatan
tersebut.
2.1.18 Berburu
BANYAK sekali orang-orang
Arab dan bangsa-bangsa lain yang hidupnya berburu. Oleh karena itu al-Quran dan
hadis menganggap penting dalam persoalan ini; dan ahli-ahli fiqih pun kemudian
membuatnya bab tersendiri, dengan menghuraikan mana yang halal dan mana yang
haram, mana yang wajib dan mana yang sunnat.
Hal mana justru banyaknya
binatang dan burung-burung yang dagingnya sangat baik sekali tetapi sukar
didapat oleh manusia, karena tidak termasuk binatang peliharaan. Untuk itu
Islam tidak memberikan persyaratan dalam menyembelih binatang-binatang tersebut
seperti halnya persyaratan yang berlaku pada binatang-binatang peliharaan yang
harus disembelih pada lehernya.
Islam menganggap cukup apa
yang kiranya mudah, untuk memberikan keringanan dan keleluasaan kepada manusia.
Dimana hal ini telah dibenarkan juga oleh fitrah dan kebutuhan manusia itu
sendiri. Disini Islam hanya membuat beberapa peraturan dan persyaratan yang
tunduk kepada aqidah dan tata-tertib Islam, serta membentuk setiap persoalan
umat Islam dalam suatu karakter (shibghah) Islam.
Syarat-syarat itu ada yang
bertalian dengan si pemburunya itu sendiri, ada yang bertalian dengan binatang
yang diburu dan ada yang bertalian dengan alat yang dipakai untuk berburu.
Semua persyaratan ini
hanya berlaku untuk binatang darat. Adapun binatang laut, adalah seperti yang
dikemukakan di atas, yaitu secara keseluruhannya telah dihalalkan Allah tanpa
suatu ikatan apapun.
Firman Allah:
“Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut dan makanannya.” (al-Maidah: 96)
2.1.18.1 Syarat Yang Berlaku
Untuk Pemburu
Syarat yang berlaku untuk
pemburu binatang darat, sama halnya dengan syarat yang berlaku bagi orang yang
akan menyembelih, yaitu harus orang Islam, ahli kitab atau orang yang dapat
dikategorikan sebagai ahli kitab seperti Majusi dan Shabiin.
Termasuk tuntunan yang
diajarkan Islam kepada orang-orang yang berburu, yaitu: mereka itu tidak
bermain-main, sehingga melayanglah jiwa binatang tersebut tetapi tidak ada
maksud untuk dimakan atau dimanfaatkan.
Di dalam salah satu
hadisnya, Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Barangsiapa membunuh
seekor burung pipit dengan maksud bermain-main, maka nanti di hari kiamat
burung tersebut akan mengadu kepada Allah; ia berkata: ‘Ya Tuhanku! Si Anu
telah membunuh aku dengan bermain-main, tetapi tidak membunuh aku untuk diambil
manfaat.'” (Riwayat Nasa’i dan Ibnu Hibban)
Dan di hadisnya yang lain
pula, beliau bersabda:
“Tidak seorang pun yang membunuh burung pipit dan yang lebih kecil dari itu, tidak menurut haknya, melainkan akan ditanyakan Allah kelak di hari kiamat. Rasulullah s.a.w. kemudian ditanya: ‘Apa hak burung itu, ya Rasulullah!’ Nabi menjawab: ‘Yaitu dia disembelih kemudian dimakan, tidak diputus kepalanya kemudian dibuang begitu saja.'” (Riwayat Nasa’i dan Hakim)
Selain daripada itu, bahwa
diharuskan pula bagi seorang yang berburu itu, bukan sedang berihram. Sebab
seorang muslim yang sedang berihram berarti dia berada dalam fase kedamaian dan
keamanan yang menyeluruh yang berpengaruh sangat luas sekali terhadap alam
sekelilingnya, termasuk binatang di permukaan bumi dan burung yang sedang
terbang di angkasa, sehingga binatang-binatang itu sekalipun berada di
hadapannya dan mungkin untuk ditangkap dengan tangan. Tetapi hal ini adalah
justru merupakan ujian dan pendidikan guna membentuk seorang muslim yang
berpribadi kuat dan tabah.
Dalam hal ini Allah telah
berfirman yang artinya sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman! Sungguh Allah menguji kamu dengan sesuatu daripada binatang buruan yang dapat ditangkap oleh tangan-tangan kamu dan tombak-tombak kamu, supaya Allah dapat membuktikan siapakah orang yang takut kepadaNya dengan ikhlas. Maka barangsiapa melanggar sesudah itu, baginya adalah siksaan yang pedih.” (al-Maidah: 94)
“Diharamkan atas kamu berburu (binatang) darat selama kamu dalam keadaan berihram.” (al-Maidah: 96)
“… padahal kamu tidak dihalalkan berburu, sedang kamu dalam keadaan berihram.” (al-Maidah: 1)
2.1.18.2 Syarat yang Berkenaan
dengan Binatang yang Diburu
Adapun syarat yang
berkenaan dengan binatang yang diburu, yaitu hendaknya binatang tersebut tidak
memungkinkan ditangkap manusia untuk disembelih pada lehernya. Kalau ternyata
memungkinkan binatang tersebut untuk disembelih di lehernya, maka haruslah
disembelih dan tidak boleh pindah kepada cara lain, karena menyembelih adalah
termasuk pokok.
Begitu juga, kalau ada
orang melepaskan panahnya atau anjingnya kemudian menangkap seekor binatang dan
ternyata binatang tersebut masih hidup, maka dia harus menjadikan halalnya
binatang tersebut dengan disembelih di lehernya sebagaimana lazimnya. Tetapi
kalau hidupnya itu tidak menentu, jika disembelih juga baik dan apabila tidak
disembelih juga tidak berdosa. Sabda Nabi
“Kalau kamu melepas anjingmu, maka sebutlah asma’ Allah atasnya, maka jika anjing itu menangkap untuk kamu dan kamu dapati dia masih hidup, maka sembelihlah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
2.1.18.3 Alat yang Dipakai
Untuk Berburu
Alat yang dipakai untuk
berburu ada dua macam:
Alat yang dapat melukai,
seperti panah, pedang dan tombak. Sebagaimana diisyaratkan al-Quran dalam
firmanNya:
“. . . yang dapat ditangkap oleh tangan-tangan kamu dan tombak-tombak kamu. ” (al-Maidah: 94)
Binatang yang dapat
melukai karena berkat didikan yang diberikan, seperti anjing, singa, burung
elang, rajawali dan sebagainya. Firman Allah:
“Dihalalkan buat kamu yang baik-baik dan apa-apa yang kamu ajar dari binatang-binatang pemburu. yang terdidik, kamu ajar mereka dari apa-apa yang Allah ajarkan kepadamu.” (al-Maidah: 4)
2.1.18.3.1 Berburu Dengan
Senjata Tajam
Berburu dengan alat
diperlukan dua persyaratan:
1). Hendaknya alat
tersebut dapat menembus kulit, dimana binatang tersebut mati karena ketajaman
alat tersebut, bukan karena beratnya. Adi bin Hatim pernah bertanya kepada
Rasulullah s.a.w. bahwa ia melempar binatang dengan golok dan mengenainya. Maka
jawab Nabi:
“Apabila Kamu melempar dengan golok, dan golok itu dapat menembus (melukai) kulit, maka makanlah. Tetapi kalau yang mengenai itu silangnya, maka janganlah kamu makan.” (Riwayat Bukhari, Muslim)
Hadis ini menunjukkan,
bahwa yang terpenting ialah lukanya, sekalipun pembunuhan itu dilakukan dengan
alat yang berat. Dengan demikian, maka halallah binatang yang diburu dengan
peluru dan senjata api dan sebagainya. Karena alat-alat tersebut lebih dapat
menembus daripada panah, tombak dan pedang. Adapun hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad yang berbunyi:
“Jangan kamu makan binatang yang mati karena senapan, kecuali apa-apa yang kamu sembelih.”
Dan yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dari perkataan Umar dalam bab Binatang yang mati karena senapan,
bahwa senapan yang dimaksud di sini, ialah senapan yang pelurunya itu terbuat
dari tanah liat, kalau sudah kering kemudian dipakai untuk berburu. Senapan
seperti ini bukan senapan yang sebenarnya (menurut pengertian sekarang.
Penyusun).
Termasuk senapan jenis
ini, ialah berburu dengan menggunakan batu bulat (sebangsa kerikil). Hal ini
dengan tegas telah dilarang oleh Nabi dengan sabdanya:
“Bahwa (kerikil) itu tidak dapat untuk memburu binatang dan tidak dapat melukai musuh, tetapi dia dapat menanggalkan gigi dan mencabut mata.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
2). Harus disebut asma’
Allah ketika melemparkan alat tersebut atau ketika memukulkannya, sebagaimaria
apa yang diajarkan Rasulullah s.a.w. kepada Adi bin Hatim. Sedang
hadis-hadisnya adalah merupakan asas daripada bab ini.
2.1.18.3.2 Berburu dengan
Menggunakan Anjing dan Sebagainya
Kalau berburu itu dengan
menggunakan anjing, atau burung elang, misalnya, maka yang diharuskan dalam
masalah ini ialah sebagai berikut:
>. Binatang tersebut
harus dididik.
>. Binatang tersebut
harus memburu untuk kepentingan tuannya. Atau dengan ungkapan yang dipakai
al-Quran, yaitu: Hendaknya binatang tersebut menangkap untuk kepentingan
tuannya, bukan untuk kepentingan dirinya sendiri.
>. Disebutnya asma’
Allah ketika melepas.
Dasar persyaratan ini
ialah sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Quran:
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad!). Apakah yang dihalalkan buat mereka? Katakanlah: Telah dihalalkan kepadamu yang baik-baik dan apa-apa yang kamu ajar dari binatang-binatang penangkap yang terdidik, yang kamu ajar mereka dari apa-apa yang Allah telah mengajarkan kepadamu, maka makanlah dari apa-apa yang mereka tangkap untuk kamu dan sebutlah asma’Allah atasnya” (al-Maidah: 4)
a) Definisi mengajar,
sebagaimana yang dikenal, yaitu kemampuan si tuan untuk memberi komando dan mengarahkan,
dimana kalau anjing itu diundang akan datang, kalau dilepas untuk berburu dia
akan bertahan dan kalau diusir akan pergi –walaupun definisi ini ada sedikit
perbedaan antara ahli-ahli fiqih dalam beberapa hal– tetapi yang terpenting,
yaitu pendidikannya itu dapat dibuktikan menurut kebiasaan yang berlaku.
b) Definisi menangkap
untuk tuannya, yaitu bahwa binatang tersebut tidak makan binatang yang
ditangkap itu. Sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w.:
“Kalau kamu melepaskan anjing, kemudian dia makan binatang buruan itu, maka jangan kamu makan dia, sebab berarti dia itu menangkap untuk dirinya sendiri. Tetapi jika kamu lepas dia kemudian dapat membunuh dan tidak makan, maka makanlah karena dia itu menangkap untuk tuannya.” (Riwayat Ahmad, dan yang sama dengan hadis ini diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dan Muslim)
Diantara ahli-ahli fiqih
ada yang membedakan antara binatang buas sebangsa anjing dan burung sebangsa
rajawali. Kalau burung itu makan sedikit dari binatang yang ditangkapnya, maka
binatang tersebut boleh dimakan, tetapi apa yang dimakan oleh anjing tidak
boleh dimakan.
Hikmah kedua persyaratan
ini, yaitu: mendidik anjing dan menangkap untuk tuannya, adalah menunjukkan
ketinggian martabat manusia dan kebersihan manusia sehingga tidak mau makan
kelebihan atau sisa anjing; dan keberanian anjing itu sendiri dapat
memungkinkan untuk mempermainkan jiwa-jiwa yang lemah. Tetapi kalau anjing itu
terdidik dan dia menangkap untuk tuannya, maka waktu itu dia berkedudukan
sebagai alat yang dipakai oleh pemburu yang tak ubahnya dengan tombak.
3). Sedang menyebut asma’
Allah ketika melepas anjing, yaitu seperti menyebut asma’ Allah ketika
melepaskan panah, tombak atau memukulkan pedang. Dalam hal ini ayat al-Quran
telah memerintah dengan tegas “dan sebutlah asma’ Allah atasnya” (al-Maidah:
4). Begitu juga beberapa hadis yang sahih, yang di antaranya ialah hadisnya Adi
bin Hatim.
Di antara dalil yang
menunjukkan persyaratan ini, yaitu kalau ada seekor anjing berburu bersama
anjing lainnya, kemudian si tuan itu memakai kedua anjing tersebut, maka
binatang yang ditangkap oleh kedua anjing tersebut tidak halal.
Dalam hal.ini Adi pernah
bertanya kepada Nabi sebagai berikut:
“Aku melepaskan anjingku, tetapi kemudian kudapati anjingku itu bersama anjing lain, aku sendiri tidak tahu anjing manakah yang menangkapnya? Maka jawab Nabi. Jangan kamu makan, sebab kamu menyebut asma’ Allah itu pada anjingmu, sedang anjing yang lain tidak.” (Riwayat Ahmad)
Kemudian kalau lupa tidak
menyebut asma’ Allah baik ketika memanah ataupun ketika melepas anjing, maka
dalam hal ini Allah tidak mengambil suatu tindakan hukum kepada orang yang lupa
dan keliru. Oleh karena itu susullah penyebutan asma’ Allah itu ketika makan,
sebagaimana telah terdahulu pembicaraannya dalam bab menyembelih.
Tentang hikmah menyebut
asma’ Allah telah kami jelaskan dalam bab penyembelihan, maka apa yang
dikatakan di sana, begitulah yang dikatakan di bab ini juga.
2.1.18.3.3 Kalau Binatang Itu
Didapati Sudah Mati
Kadang-kadang terjadi,
seorang pemburu melepaskan panahnya mengenai seekor binatang, tetapi binatang
tersebut menghilang, beberapa saat, kemudian dijumpainya sudah mati. Hal ini
bisa jadi sudah berjalan beberapa hari lamanya.
Dalam persoalan ini,
binatang tersebut bisa menjadi halal dengan beberapa syarat:
1) Bahwa binatang tersebut
tidak jatuh ke dalam air.
Seperti yang dikatakan
oleh Nabi s.a.w.:
“Kalau kamu melemparkan panahmu, maka jika kamu dapati binatang itu sudah mati, makanlah, kecuali apabila binatang tersebut kamu dapati jatuh ke dalam air, maka kamu tidak tahu: apakah air itu yang menyebabkan binatang tersebut mati ataukah panahmu?” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
2) Tidak terdapat
tanda-tanda mati karena bekas panah orang lain yang menjadi sebab matinya
binatang tersebut.
Seperti apa yang pernah
ditanyakan Adi bin Hatim kepada Rasulullah s.a.w.:
“Ya Rasulullah! Saya melempar binatang, kemudian saya dapati pada binatang tersebut ada bekas panahku yang kemarin, apakah boleh dimakan? Maka jawab Nabi, ‘Kalau kamu yakin, bahwa panahmulah yang membunuhnya dan tidak ada bekas (digigit) binatang buas, maka makanlah.'” (Riwayat Tarmizi)
3) Binatang tersebut belum
sampai busuk; sebab menurut tabiat yang wajar akan menganggap kotor dan jijik
terhadap binatang yang sudah busuk, lebih-lebih kalau hal itu dimungkinkan akan
membawa bahaya.
Dalam hal ini Rasulullah
s.a.w. pernah berkata kepada Abu Tsa’labah al-Khasyani sebagai berikut:
“Kalau kamu melemparkan panahmu, kemudian binatang itu menghilang sampai tiga hari dan kamu dapati sudah mati, maka makanlah selama binatang tersebut belum busuk.” (Riwayat Tarmizi)
2.1.19 Khamar (Arak)
KHAMAR adalah bahan yang
mengandung alkohol yang memabukkan.
Untuk lebih jelasnya, di
sini akan kami sebutkan beberapa bahaya khamar terhadap pribadi seseorang, baik
akalnya, tubuhnya, agamanya dan dunianya. Akan kami jelaskan juga betapa
bahayanya terhadap rumahtangga ditinjau dari segi pemeliharaannya maupun
pengurusannya terhadap isteri dan anak-anak. Dan akan kami bentangkan juga
betapa mengancamnya arak terhadap masyarakat dan bangsa dalam existensinya,
baik yang berupa moral maupun etika.
Sungguh benar apa yang
dikatakan oleh salah seorang penyelidik, bahwa tidak ada bahaya yang lebih
parah yang diderita manusia, selain bahaya arak. Kalau diadakan penyelidikan
secara teliti di rumah-rumah sakit, bahwa kebanyakan orang yang gila dan
mendapat gangguan saraf adalah disebabkan arak. Dan kebanyakan orang yang bunuh
diri ataupun yang membunuh kawannya adalah disebabkan arak. Termasuk juga
kebanyakan orang yang mengadukan dirinya karena diliputi oleh suasana
kegelisahan, orang yang membawa dirinya kepada lembah kebangkrutan dan
menghabiskan hak miliknya, adalah disebabkan oleh arak.
Begitulah, kalau terus
diadakan suatu penelitian yang cermat, niscaya akan mencapai batas klimaks yang
sangat mengerikan yang kita jumpai, bahwa nasehat-nasehat, kecil sekali
artinya.
Orang-orang Arab dalam
masa kejahilannya selalu disilaukan untuk minum khamar dan menjadi pencandu
arak. Ini dapat dibuktikan dalam bahasa mereka yang tidak kurang dari 100 hama
dibuatnya untuk mensifati khamar itu. Dalam syair-syairnya mereka puji khamar
itu, termasuk sloki-slokinya, pertemuan-pertemuannya dan sebagainya.
Setelah Islam datang,
dibuatnyalah rencana pendidikan yang sangat bijaksana sekali, yaitu dengan
bertahap khamar itu dilarang. Pertama kali yang dilakukan, yaitu dengan
melarang mereka untuk mengerjakan sembahyang dalam keadaan mabuk, kemudian
meningkatkan dengan diterangkan bahayanya sekalipun manfaatnya juga ada, dan
terakhir baru Allah turunkan ayat secara menyeluruh dan tegas, yaitu
sebagaimana firmanNya:
“Hai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya arak, judi, berhala, dan undian adalah kotor dari perbuatan syaitan. Oleh karena itu jauhilah dia supaya kamu bahagia. Syaitan hanya bermaksud untuk mendatangkan permusuhan dan kebencian di antara kamu disebabkan khamar dan judi, serta menghalangi kamu ingat kepada Allah dan sembahyang. Apakah kamu tidak mau berhenti?” (al-Maidah: 90-91)
Dalam kedua ayat tersebut
Allah mempertegas diharamkannya arak dan judi yang diiringi pula dengan
menyebut berhala dan undian dengan dinilainya sebagai perbuatan najis (kotor).
Kata-kata His (kotor, najis) ini tidak pernah dipakai dalam al-Quran, kecuali
terhadap hal yang memang sangat kotor dan jelek.
Khamar dan judi adalah
berasal dari perbuatan syaitan, sedang syaitan hanya gemar berbuat yang tidak
baik dan mungkar. Justru itulah al-Quran menyerukan kepada umat Islam untuk
menjauhi kedua perbuatan itu sebagai jalan untuk menuju kepada kebagiaan.
Selanjutnya al-Quran menjelaskan
juga tentang bahaya arak dan judi dalam masyarakat, yang di antaranya dapat
mematahkan orang untuk mengerjakan sembahyang dan menimbulkan permusuhan dan
kebencian. Sedang bahayanya dalam jiwa, yaitu dapat menghalang untuk menunaikan
kewajiban-kewajiban agama, diantaranya ialah zikrullah dan sembahyang.
Terakhir al-Quran
menyerukan supaya kita berhenti dari minum arak dan bermain judi. Seruannya
diungkapkan dengan kata-kata yang tajam sekali, yaitu dengan kata-kata: fahal
antum muntahun? (apakah kamu tidak mau berhenti?).
Jawab seorang mu’min
terhadap seruan ini: “Ya, kami telah berhenti, ya Allah!”
Orang-orang mu’min membuat
suatu keanehan sesudah turunnya ayat tersebut, yaitu ada seorang laki-laki yang
sedang membawa sloki penuh arak, sebagiannya telah diminum, tinggal sebagian
lagi yang sisa. Setelah ayat tersebut sampai kepadanya, gelas tersebut
dilepaskan dan araknya dituang ke tanah.
Banyak sekali
negara-negara yang mengakui bahaya arak ini, baik terhadap pribadi, rumah
tangga ataupun tanah air. Sementara ada yang berusaha untuk memberantasnya
dengan menggunakan kekuatan undang-undang dan kekuasaan, seperti Amerika,
tetapi akhirnya mereka gagal. Tidak dapat seperti yang pernah dicapai oleh
Islam di dalam memberantas dan menghilangkan arak ini.
Dari kalangan
kepala-kepala gereja bertentangan dalam menilai bagaimana pandangan Kristen
terhadap masalah arak, justru karena di Injil ditegaskan: “Bahwa arak yang
sedikit itu baik buat perut.”
Kalau omongan itu betul,
niscaya yang sedikit itu perlu dihentikan, sebab minum arak sedikit, dapat
membawa kepada banyak. Gelas pertama akan disambut dengan gelas kedua dan
begitulah seterusnya sehingga akhirnya menjadi terbiasa.
2.1.19.1 Setiap Yang Memabukkan
Berarti Arak
Pertama kali yang
dicanangkan Nabi Muhammad s.a.w. tentang masalah arak, yaitu beliau tidak
memandangnya dari segi bahan yang dipakai untuk membuat arak itu, tetapi beliau
memandang dari segi pengaruh yang ditimbulkan, yaitu memabukkan. Oleh karena
itu bahan apapun yang nyatanyata memabukkan berarti dia itu arak, betapapun
merek dan nama yang dipergunakan oleh manusia; dan bahan apapun yang dipakai.
Oleh sebab itu Beer dan sebagainya dapat dihukumi haram.
Rasulullah s.a.w. pernah
ditanya tentang minuman yang terbuat dari madu, atau dari gandum dan sya’ir
yang diperas sehingga menjadi keras. Nabi Muhammad sesuai dengan sifatnya
berbicara pendek tetapi padat, maka didalam menjawab pertanyaan tersebut beliau
sampaikan dengan kalimat yang pendek juga, tetapi padat:
“Semua yang memabukkan berarti arak, dan setiap arak adalah haram.” (Riwayat Muslim)
Dan Umar pun mengumumkan pula dari atas mimbar Nabi, “Bahwa yang dinamakan arak ialah apa-apa yang dapat menutupi fikiran.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
2.1.19.2 Minum
Sedikit
Untuk kesekian kalinya Islam
tetap bersikap tegas terhadap masalah arak. Tidak lagi dipandang kadar
minumannya, sedikit atau banyak. Kiranya arak telah cukup dapat menggelincirkan
kaki manusia. Oleh karena itu sedikitpun tidak boleh disentuh.
Justru itu pula Rasulullah
s.a.w. pernah menegaskan:
“Minuman apapun kalau banyaknya itu memabukkan, maka sedikitnya pun adalah haram.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi)
“Minuman apapun kalau sebanyak furq itu memabukkan, maka sepenuh tapak tangan adalah haram.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi)
2.1.19.3 Memperdagangkan Arak
Rasulullah tidak
menganggap sudah cukup dengan mengharamkan minum arak, sedikit ataupun banyak,
bahkan memperdagangkan pun tetap diharamkan, sekalipun dengan orang di luar
Islam. Oleh karena itu tidak halal hukumnya seorang Islam mengimport arak, atau
memproduser arak, atau membuka warung arak, atau bekerja di tempat penjualan
arak.
Dalam hal ini Rasulullah
s.a.w. pernah melaknatnya, yaitu seperti tersebut dalam riwayat di bawah ini:
“Rasulullah
s.a.w. melaknat tentang arak, sepuluh golongan: (1) yang memerasnya, (2) yang
minta diperaskannya, (3) yang meminumnya, (4) yang membawanya, (5) yang minta
dihantarinya, (6) yang menuangkannya, (7) yang menjualnya, (8) yang makan
harganya, (9) yang membelinya, (10) yang minta dibelikannya.” (Riwayat Tarmizi
dan Ibnu Majah)
Setelah ayat al-Quran
surah al-Maidah (90-91) itu turun, Rasulullah s.a.w. kemudian bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan arak, maka barangsiapa yang telah mengetahui ayat ini dan dia masih mempunyai arak walaupun sedikit, jangan minum dan jangan menjualnya.” (Riwayat Muslim)
Rawi hadis tersebut
menjelaskan, bahwa para sahabat kemudian mencegat orang-orang yang masih
menyimpan arak di jalan-jalan Madinah lantas dituangnya ke tanah.
Sebagai cara untuk
membendung jalan yang akan membawa kepada perbuatan yang haram (saddud
dzara’ik), maka seorang muslim dilarang menjual anggur kepada orang yang sudah
diketahui, bahwa anggur itu akan dibuat arak. Karena dalam salah satu hadis
dikatakan:
“Barangsiapa menahan anggurnya pada musim-musim memetiknya, kemudian dijual kepada seorang Yahudi atau Nasrani atau kepada tukang membuat arak, maka sungguh jelas dia akan masuk neraka.” (Riwayat Thabarani)
2.1.19.4
Seorang Muslim Tidak Boleh Menghadiahkan Arak
Kalau menjual dan memakan
harga arak itu diharamkan bagi seorang muslim, maka menghadiahkannya walaupun
tanpa ganti, kepada seorang Yahudi, Nasrani atau yang lain, tetap haram juga.
Seorang muslim tidak boleh
menghadiahkan atau menerima hadiah arak. Sebab seorang muslim adalah baik, dia
tidak boleh menerima kecuali yang baik pula.
Diriwayatkan, ada seorang
laki-laki yang memberi hadiah satu guci arak kepada Nabi s.a.w., kemudian Nabi
memberitahu bahwa arak telah diharamkan Allah. Orang laki-laki itu bertanya:
Rajul: Bolehkah saya jual?
Nabi: Zat yang
mengharamkan meminumnya, mengharamkannya juga menjualnya.
Rajul: Bagaimana kalau
saya hadiahkan raja kepada orang Yahudi?
Nabi: Sesungguhnya Allah
yang telah mengharamkan arak, mengharamkan juga untuk dihadiahkan kepada orang
Yahudi.
Rajul: Habis, apa yang
harus saya perbuat?
Nabi: Tuang saja di
selokan air. (Al-Humaidi dalam musnadnya)
2.1.19.5 Tinggalkan Tempat
Persidangan Arak
Berdasar sunnah Nabi,
orang Islam diharuskan meninggalkan tempat persidangan arak, termasuk juga
berduduk-duduk dengan orang yang sedang minum arak.
Diriwayatkan dari Umar
r.a. bahwa dia pernah mendengar Rasulullah s,a.w. bersabda:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah duduk pada suatu hidangan yang padanya diedarkan arak.” (Riwayat Ahmad)
Setiap muslim diperintah
untuk menghentikan kemungkaran kalau menyaksikannya. Tetapi kalau tidak mampu
dia harus menyingkir dan menjaga masyarakat dan keluarganya.
Dalam salah satu kisah
diceriterakan, bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mendera orang-orang
yang minum arak dan yang ikut menyaksikan persidangan mereka itu, sekalipun
orang yang menyaksikan itu tidak turut minum bersama mereka.
Dan diriwayatkan pula,
bahwa pernah ada suatu kaum yang diadukan kepadanya karena minum arak, kemudian
beliau memerintahkan agar semuanya didera. Lantas ada orang yang berkata:
‘Bahwa di antara mereka itu ada yang berpuasa.’ Maka jawab Umar: ‘Dera dulu dia!’
Apakah kamu tidak
mendengarkan firman Allah yang mengatakan;
“Sungguh Allah telah menurunkan kepadamu dalam al-Ouran, bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah ditentangnya dan diejeknya. Oleh karena itu jangan kamu duduk bersama mereka, sehingga mereka itu tenggelam dalam omongan lain, sebab sesungguhnya kamu kalau demikian keadaannya adalah sama dengan mereka.” (an-Nisa’: 140)
2.1.19.6 Khamar
Adalah Penyakit Bukan Obat
Dengan nas-nas yang jelas,
maka Islam dengan gigih memberantas arak dan menjauhkan umat Islam dari arak,
serta dibuatnya suatu pagar antara umat Islam dan arak itu. Tidak ada satupun
pintu yang terbuka, betapapun sempitnya pintu itu, buat meraihnya.
Tidak seorang Islam pun
yang diperkenankan minum arak walaupun hanya sedikit. Tidak juga diperkenankan
untuk menjual, membeli, menghadiahkan ataupun membuatnya. Disamping itu tidak
pula diperkenankan menyimpan di tokonya atau di rumahnya. Termasuk juga
dilarang menghidangkan arak dalam perayaan-perayaan, baik kepada orang Islam
ataupun kepada orang lain. Juga dilarang mencampurkan arak pada makanan ataupun
minuman.
Tinggal ada satu segi yang
sering oleh sementara orang ditanyakan, yaitu tentang arak dipakai untuk
berobat Dalam hal ini Rasulullah s.a.w. pernah menjawab kepada orang yang
bertanya tentang hukum arak. Lantas Nabi menjawab: Dilarang! Kata laki-laki itu
kemudian: “Innama nashna’uha liddawa’ (kami hanya pakai untuk berobat).
Maka jawab Nabi
selanjutnya:
“Arak itu bukan obat, tetapi penyakit.” (Riwayat Muslim, Ahmad, Abu Daud dan Tarmizi)
Dan sabdanya pula:
Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan untuk kamu bahwa tiap penyakit ada obatnya, oleh karena itu berobatlah, tetapi jangan berobat dengan yang haram.” (Riwayat Abu Daud)
Dan Ibnu Mas’ud pernah juga mengatakan perihal minuman yang memabukkan: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhanmu dengan sesuatu yang Ia haramkan atas kamu.” (Riwayat Bukhari).
Memang tidak mengherankan
kalau Islam melarang berobat dengan arak dan benda-benda lain yang
diharamkannya, sebab diharamkannya sesuatu, sesuai dengan analisa Ibnul Qayim,
mengharuskan untuk dijauhi selamanya dengan jalan apapun. Maka kalau arak itu
boleh dipakai untuk berobat, berarti ada suatu anjuran supaya mencintai dan
menggunakan arak itu. Ini jelas berlawanan dengan apa yang dimaksud oleh
syara’.
Selanjutnya kata Ibnul
Qayim: Membolehkan berobat dengan arak, lebih-lebih bagi jiwa yang ada
kecenderungan terhadap arak, akan cukup menarik orang untuk meminumnya demi
memenuhi selera dan untuk bersenang-senang, terutama orang yang mengerti akan
manfaatnya arak dan dianggapnya dapat menghilangkan sakitnya, maka pasti dia
akan menggunakan arak guna kesembuhan penyakitnya itu.
Sebenarnya obat-obat yang
haram itu tidak lebih hanya kira-kira saja dapat menyembuhkan.
Ibnul Qayim memperingatkan
juga yang ditinjau dari segi kejiwaan, ia mengatakan: “Bahwa syaratnya sembuh
dari penyakit haruslah berobat yang dapat diterima akal, dan yakin akan
manfaatnya obat itu serta adanya barakah kesembuhan yang dibuatnya oleh Allah.
Sedang dalam hal ini telah dimaklumi, bahwa setiap muslim sudah berkeyakinan
akan haramnya arak, yang karena keyakinannya ini dapat mencegah orang Islam
untuk mempercayai kemanfaatan dan barakahnya arak itu, dan tidak bisa jadi
seorang muslim dengan keyakinannya semacam itu untuk berhusnundz-dzan
(beranggapan baik) terhadap arak dan dianggapnya sebagai obat yang dapat
diterima akal. Bahkan makin tingginya iman seseorang, makin besar pula
kebenciannya terhadap arak dan makin tidak baik keyakinannya terhadap arak itu.
Sebab kepribadian seorang muslim harus membenci arak. Kalau demikian halnya,
arak adalah penyakit, bukan obat.”
Walaupun demikian, kalau
sampai terjadi keadaan darurat, maka darurat itu dalam pandangan syariat Islam
ada hukumnya tersendiri.
Oleh karena itu, kalau
seandainya arak atau obat yang dicampur dengan arak itu dapat dinyatakan
sebagai obat untuk sesuatu penyakit yang sangat mengancam kehidupan manusia,
dimana tidak ada obat lainnya kecuali arak, dan saya sendiri percaya hal itu
tidak akan terjadi, dan setelah mendapat pengesahan dari dokter muslim yang mahir
dalam ilmu kedokteran dan mempunyai jiwa semangat (ghirah) terhadap agama, maka
dalam keadaan demikian berdasar kaidah agama yang selalu membuat kemudahan dan
menghilangkan beban yang berat, maka berobat dengan arak tidaklah dilarang,
dengan syarat dalam batas seminimal mungkin.
Sesuai dengan firman
Allah:
“Barangsiapa terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih.” (al-An’am: 145)
2.1.20 Narkotik
Al-KHAMRU maa khaamaral
aqla (arak ialah semua bahan yang dapat menutupi akal), suatu ungkapan yang
pernah dikatakan oleh Umar Ibnul-Khattab dari atas mimbar Rasulullah s.a.w.
Kalimat ini memberikan pengertian yang tajam sekali tentang apa yang dimaksud
arak itu. Sehingga dengan demikian tidak banyak lagi pertanyaan-pertanyaan dan
kesamaran.
Demikianlah, maka setiap
yang dapat mengganggu fikiran dan mengeluarkan akal dari tabiatnya yang
sebenarnya, adalah disebut arak yang dengan tegas telah diharamkan Allah dan
Rasul sampai hari kiamat nanti.
Dari itu pula, semua bahan
yang kini dikenal dengan nama narkotik, seperti ganja, marijuana dan sebagainya
yang sudah terkenal pengaruhnya terhadap perasaan dan akal fikiran, sehingga
yang jauh menjadi dekat dan yang dekat menjadi jauh, dapat melupakan suatu
kenyataan, dapat mengkhayal yang tidak akan terjadi dan orang bisa tenggelam
dalam mimpi dan lamunan yang bukan-bukan. Orang yang minum bahan ini dapat
melupakan dirinya, agamanya dan dunianya serta tenggelam dalam lembah khayal.
Ini, belum lagi apa yang
akan terjadi pada tubuh manusia, bahwa narkotik dapat melumpuhkan anggota tubuh
manusia dan menurunkan kesehatan.
Lebih dari itu, narkotik
dapat mengganggu kemurnian jiwa, dan menghancurkan moral, meruntuhkan iradah
dan melemahkan perasaan untuk melaksanakan kewajiban yang oleh pecandu-pecandu
dijadikan sebagai alat untuk meracuni tubuh masyarakat.
Dibalik itu semua,
narkotik dapat menghabiskan uang dan merobohkan rumahtangga. Uang yang dipakai
untuk membeli bahan tersebut adalah standard rumahtangga yang mungkin juga oleh
pecandu-pecandu narkotik akan diambilnya dari harta standard hidup
anak-anaknya; dan mungkin juga dia akan berbelok ke suatu jalan yang tidak baik
justru untuk mengambil keuntungan dari penjualan narkotik.
Kalau di atas telah kita sebutkan
bahwa perbuatan haram itu dapat membawa kepada keburukan dan bahaya, maka bagi
kita sudah cukup jelas tentang haramnya bahan yang amat jelek ini, yang tidak
diragukan lagi bahayanya terhadap kesehatan, jiwa, moral, masyarakat dan
perekonomian.
Haramnya narkotik ini
telah disepakati oleh ahli-ahli fiqih yang pada zamannya dikenal dengan nama
alkhabaits (yang jelek-jelek).
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam tinjauannya, mengatakan: “Ganja (hasyisy) adalah bahan yang
haram, baik orang yang merasakan itu mabuk ataupun tidak … Hasyisy ini selalu
dipakai oleh orang-orang jahat, karena di dalamnya mengandung unsur-unsur yang
memabukkan dan menyenangkan. Biasanya dicampur dengan minuman-minuman yang
memabukkan.
Bedanya hasyisy dengan
arak, bahwa arak dapat menimbulkan suatu reaksi dan pertentangan. Tetapi
hasyisy dapat menimbulkan suatu krisis dan kelemahan. Justru itu dia dapat
merusak fikiran dan membuka pintu syahwat serta hilangnya perasaan semangat
(ghirah). Justru itu dia lebih berbahaya daripada minuman keras.
Ini sudah pernah terjadi
di kalangan orang-orang Tartar.
Dan bagi yang
merasakannya, sedikit ataupun banyak didera 80 atau 40 kali.
Barangsiapa yang dengan
terang-terangan merasakan hasyisy ini dia akan ditempatkan sebagaimana halnya
orang yang terang-terangan minum arak, dan dalam beberapa hal lebih buruk
daripada arak. Untuk itu dia akan dikenakan hukuman sebagaimana hukuman yang
berlaku bagi peminum arak.”
Kata Ibnu Taimiyah
selanjutnya: “Menurut kaidah syara’, semua barang haram yang dapat mengganggu
jiwa seperti arak, zina dan sebagainya dikenakan hukum had (hukuman tindak
kriminal), sedang yang tidak mengganggu jiwa seperti makan bangkai dikenakan
tindakan ta’zir. Sedang
hasyisy termasuk bahan yang barangsiapa merasakannya berat untuk mau berhenti.
Hukum haramnya telah ditegaskan dalam al-Quran dan Sunnah terhadap orang yang
merasakannya sebagaimana makan makanan lainnya.”
2.1.20.1 Setiap yang Berbahaya
Dimakan atau Diminum, Tetap Haram
Di sini ada suatu kaidah
yang menyeluruh dan telah diakuinya dalam syariat Islam, yaitu bahwa setiap
muslim tidak diperkenankan makan atau minum sesuatu yang dapat membunuh, lambat
ataupun cepat, misalnya racun dengan segala macamnya; atau sesuatu yang
membahayakan termasuk makan atau minum yang terlalu banyak yang menyebabkan
sakit. Sebab seorang muslim itu bukan menjadi milik dirinya sendiri, tetapi dia
adalah milik agama dan umatnya. Hidupnya, kesehatannya, hartanya dan seluruh
nikmat yang diberikan Allah kepadanya adalah sebagai barang titipan (amanat). Oleh
karena itu dia tidak boleh meneledorkan amanat itu.
Firman Allah:
“Janganlah kamu membunuh diri-diri kamu, karena sesungguhnya Allah Maha Belas-kasih kepadamu.” (an-Nisa’: 29)
“Jangan kamu mencampakkan diri-diri kamu kepada kebinasaan.” (al-Baqarah: 195)
Dan Rasulullah s.a.w. pun
bersabda:
“Tidak boleh membuat bahaya dan membalas bahaya.”
(Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah)
Sesuai dengan kaidah ini,
maka kami berpendapat: sesungguhnya rokok (tembakau) selama hal itu dinyatakan
membahayakan, maka menghisap rokok hukumnya adalah haram. Lebih-lebih kalau
dokter spesialis sudah menetapkan hal tersebut kepada seseorang tertentu.
Kalaupun toh ditakdirkan
tidak jelas bahayanya terhadap kesehatan seseorang, tetapi yang jelas adalah
membuang-buang uang untuk sesuatu yang tidak bermanfaat, baik untuk agama
ataupun untuk urusan dunia. Sedang dalam hadisnya dengan tegas Rasulullah
s.a.w. melarang membuang-buang harta. Larangan ini dapat diperkuat lagi, kalau
ternyata harta tersebut amat dibutuhkan untuk dirinya sendiri, atau
keluarganya.
>>>>>> 2.2. Pakaian dan Perhiasan......
Diposting Oleh : kawani media
Anda sedang membaca artikel tentang BAB KEDUA - HALAL HARAM DALAM ISLAM - A. Anda diperbolehkan mengcopy paste isi blog ini, namun jangan lupa untuk mencantumkan link ini sebagai sumbernya. Beritahukan kepada saya jika ada Link yang rusak atau tidak berfungsi. Apabila suka dengan postingan ini silahkan di Like dan Share dengan tidak lupa Komentar dan Masukannya.
0 komentar:
Posting Komentar