http://kawanishare.blogspot.com/ | KAWANI MEDIA |
2.2 Pakaian dan Perhiasan
ISLAM memperkenankan kepada setiap muslim, bahkan menyuruh supaya geraknya
baik, elok dipandang dan hidupnya teratur dengan rapi untuk menikmati perhiasan
dan pakaian yang telah dicipta Allah. Adapun tujuan pakaian dalam pandangan
Islam ada dua macam; yaitu, guna menutup aurat dan berhias. Ini adalah
merupakan pemberian Allah kepada umat manusia seluruhnya, di mana Allah telah
menyediakan pakaian dan perhiasan, kiranya mereka mau mengaturnya sendiri.
Maka berfirmanlah Allah s.w.t.:
“Hai anak-cucu Adam! Sungguh Kami telah menurunkan untuk kamu pakaian yang dapat menutupi aurat-auratmu dan untuk perhiasan.” (al-A’raf: 26)
Barangsiapa yang mengabaikan salah satu dari dua perkara di atas, yaitu
berpakaian untuk menutup aurat atau berhias, maka sebenarnya orang tersebut
telah menyimpang dari ajaran Islam dan mengikuti jejak syaitan. Inilah rahasia
dua seruan yang dicanangkan Allah kepada umat manusia, sesudah Allah
mengumandangkan seruanNya yang terdahulu itu, dimana dalam dua seruanNya itu
Allah melarang keras kepada mereka telanjang dan tidak mau berhias, yang justru
keduanya itu hanya mengikuti jejak syaitan belaka.
Untuk itulah maka Allah berfirman:
“Hai anak-cucu Adam! Jangan sampai kamu dapat diperdayakan oleh syaitan, sebagaimana mereka telah dapat mengeluarkan kedua orang tuamu (Adam dan Hawa) dari sorga, mereka dapat menanggalkan pakaian kedua orang tuamu itu supaya kelihatan kedua auratnya.” (al-A’raf: 27)
“Hai anak-cucu Adam! Pakailah perhiasanmu di tiap-tiap masjid dan makanlah dan minumlah tetapi jangan berlebih-lebihan (boros).” (al-A’raf: 31)
Islam mewajibkan kepada setiap muslim supaya menutup aurat, dimana setiap
manusia yang berbudaya sesuai dengan fitrahnya akan malu kalau auratnya itu
terbuka. Sehingga dengan, demikian akan berbedalah manusia dari binatang yang
telanjang.
Seruan Islam untuk menutup aurat ini berlaku bagi setiap manusia, kendati
dia seorang diri terpencil dari masyarakat, sehingga kesopanannya itu merupakan
kesopanan yang dijiwai oleh agama dan moral yang tinggi.
Bahaz bin Hakim dari ayahnya dari datuknya menceriterakan, kata datuknya
itu:
“Ya, Rasulullah! Aurat kami untuk apa harus kami pakai, dan apa yang harus kami tinggalkan? Jawab Nabi. ‘Jagalah auratmu itu kecuali terhadap isterimu atau hamba sahayamu.’ Aku bertanya lagi: ‘Ya, Rasulullah! Bagaimana kalau suatu kaum itu bergaul satu sama lain?’ Jawab Nabi, ‘Kalau kamu dapat supaya tidak seorang pun yang melihatnya, maka janganlah dia melihat.’ Aku bertanya lagi: ‘Bagaimana kalau kami sendirian?’ Jawab Nabi, ‘Allah tabaraka wa Ta’ala, lebih berhak (seseorang) malu kepadaNya.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi, Ibnu Majah, Hakim dan Baihaqi)
2.2.1 Islam Agama Bersih dan Cantik
Sebelum Islam mencenderung kepada masalah perhiasan dan gerak yang baik, terlebih
dahulu Islam mengerahkan kecenderungannya yang lebih besar kepada masalah
kebersihan adalah merupakan dasar pokok bagi setiap perhiasan yang baik dan
pemandangan yang elok.
Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai
berikut:
“Menjadi bersihlah kamu, karena sesungguhnya Islam itu bersih.” (Riwayat Ibnu Hibban)
Dan sabdanya pula:
“Kebersihan itu dapat mengajak orang kepada iman. Sedang iman itu akan bersama pemiliknya ke sorga.” (Riwayat Thabarani)
Rasulullah s.a.w. sangat menekankan tentang masalah kebersihan pakaian,
badan, rumah dan jalan-jalan. Dan lebih serius lagi, yaitu tentang kebersihan
gigi, tangan dan kepala.
Ini bukan suatu hal yang mengherankan, karena Islam telah meletakkan suci
(bersih) sebagai kunci bagi peribadatannya yang tertinggi yaitu shalat. Oleh
karena itu tidak akan diterima sembahyangnya seorang muslim sehingga badannya
bersih, pakaiannya bersih dan tempat yang dipakai pun dalam keadaan bersih. Ini
belum termasuk kebersihan yang diwajibkan terhadap seluruh badan atau pada
anggota badan. Kebersihan yang wajib ini dalam Islam dilakukan dengan mandi dan
wudhu’.
Kalau suasana bangsa Arab itu dikelilingi oleh suasana pedesaan padang
pasir di mana orang-orangnya atau kebanyakan mereka itu telah merekat dengan meremehkan
urusan kebersihan dan berhias, maka Nabi Muhammad s.a.w. waktu itu memberikan
beberapa bimbingan yang cukup dapat membangkitkan, serta nasehat-nasehat yang
jitu, sehingga mereka naik dari sifat-sifat primitif menjadi bangsa modern dan
dari bangsa yang sangat kotor menjadi bangsa yang cukup necis.
Pernah ada seorang laki-laki datang kepada Nabi, rambut dan jenggotnya
morat-marit tidak terurus, kemudian Nabi mengisyaratkan, seolah-olah memerintah
supaya rambutnya itu diperbaiki, maka orang tersebut kemudian memperbaikinya,
dan setelah itu dia kembali lagi menghadap Nabi.
Maka kata Nabi:
“Bukankah ini lebih baik daripada dia datang sedang rambut kepalanya morat-marit seperti syaitan?” (Riwayat Malik)
Dan pernah juga Nabi melihat seorang laki-laki yang kepalanya kotor sekali.
Maka sabda Nabi:
“Apakah orang ini tidak mendapatkan sesuatu yang dengan itu dia dapat meluruskan rambutnya?”
Pernah juga Nabi melihat seorang yang pakaiannya kotor sekali, maka apa
kata Nabi:
“Apakah orang ini tidak mendapatkan sesuatu yang dapat dipakai mencuci pakaiannya?” (Riwayat Abu Daud)
Dan pernah ada seorang laki-laki datang kepada Nabi, pakaiannya sangat
menjijikkan, maka tanya Nabi kepadanya:
“Apakah kamu mempunyai uang?” Orang tersebut menjawab: “Ya! saya punya” Nabi bertanya lagi. “Dari mana uang itu?” Orang itupun kemudian menjawab: “Dari setiap harta yang Allah berikan kepadaku.” Maka kata Nabi: “Kalau Allah memberimu harta, maka sungguh Dia (lebih senang) menyaksikan bekas nikmatNya yang diberikan kepadamu dan bekas kedermawananNya itu.” (Riwayat Nasa’i)
Masalah kebersihan ini lebih ditekankan lagi pada hari-hari berkumpul,
misalnya: Pada hari Jum’at dan Hari raya. Dalam hal ini Nabi pun pernah
bersabda:
“Sebaiknyalah salah seorang di antara kamu –jika ada rezeki– memakai dua pakaian untuk hari Jum’at, selain pakaian kerja.” (Riwayat Abu Daud)
2.2.2 Emas dan Sutera Asli Haram Untuk Orang
Laki-Laki
Kalau Islam telah memberikan perkenan bahkan menyerukan kepada umatnya
supaya berhias dan menentang keras kepada siapa yang mengharamkannya, yaitu
seperti yang dikatakan Allah dalam al-Quran:
“Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah dikeluarkan untuk hambaNya dan begitu juga rezeki-rezeki yang baik (halal)?” (al-A’raf: 32)
Maka dibalik itu Islam telah mengharamkan kepada orang laki-laki dua macam
perhiasan, di mana kedua perhiasan tersebut justru paling manis buat kaum
wanita. Dua macam perhiasan itu ialah:
Berhias dengan emas.
Memakai kain sutera asli.
Ali bin Abu Talib r.a. berkata:
“Rasulullah s.a.w. mengambil sutera, ia letakkan di sebelah kanannya, dan ia mengambil emas kemudian diletakkan di sebelah kirinya, lantas ia berkata: Kedua ini haram buat orang laki-laki dari umatku.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Ibnu Majah)
Tetapi Ibnu Majah menambah:
“halal buat orang-orang perempuan.”
Dan Saiyidina Umar pernah juga berkata:
“Aku pernah mendengar Rasulullah s.a. w. bersabda: ‘Jangan kamu memakai sutera, karena barangsiapa memakai di dunia, nanti di akhirat tidak lagi memakainya.'” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan tentang masalah pakaian sutera Nabi pun pernah juga bersabda:
“Sesungguhnya ini adalah pakaian orang yang (nanti di akhirat) tidak ada sedikitpun bagian baginya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan tentang masalah emas, Nabi s.a.w. pernah melihat seorang laki-laki
memakai cincin emas di tangannya, kemudian oleh Nabi dicabutnya cincin itu dan
dibuang ke tanah.
Kemudian beliau bersabda:
“Salah seorang diantara kamu ini sengaja mengambil bara api kemudian ia letakkan di tangannya. Setelah Rasulullah pergi, kepada si laki-laki tersebut dikatakan: ‘Ambillah cincinmu itu dan manfaatkanlah.’ Maka jawabnya: ‘Tidak! Demi Allah, saya tidak mengambil cincin yang telah dibuang oleh Rasulullah.'” (Riwayat Muslim)
Dan seperti cincin, menurut apa yang kami saksikan di kalangan orang-orang
kaya, yaitu mereka memakai pena emas, jam emas, gelang emas, kaling rokok emas,
mulut(?)/gigi emas dan seterusnya.
Adapun memakai cincin perak, buat orang laki-laki jelas telah dihalalkan
oleh Rasulullah s.a.w., sebagaimana tersebut dalam hadis riwayat Bukhari, bahwa
Rasulullah sendiri memakai cicin perak, yang kemudian cincin itu pindah ke
tangan Abubakar, kemudian pindah ke tangan Umar dan terakhir pindah ke tangan
Usman sehingga akhirnya jatuh ke sumur Aris (di Quba’).
Tentang logam-logam yang lain seperti besi dan sebagainya tidak ada satupun
nas yang mengharamkannya, bahkan yang ada adalah sebaliknya, yaitu Rasulullah
s.a.w. pernah menyuruh kepada seorang laki-laki yang hendak kawin dengan
sabdanya:
“Berilah (si perempuan itu) mas kawin, walaupun dengan satu cincin dari besi.” (Riwayat Bukhari)
Dari hadis inilah, maka Imam Bukhari beristidlal untuk menetapkan halalnya
memakai cincin besi.
Memakai pakaian sutera dapat diberikan keringanan (rukhshah) apabila ada
suatu keperluan yang berhubungan dengan masalah kesehatan, yaitu sebagaimana
Rasulullah pernah mengizinkan Abdur-Rahman bin ‘Auf dan az-Zubair bin Awwam
untuk memakai sutera karena ada luka di bagian badannya
2.2.3 Hikmah Diharamkannya Emas dan Sutera
Terhadap Laki-Laki
Di haramkannya dua perkara tersebut terhadap laki-laki, Islam bermaksud
kepada suatu tujuan pendidikan moral yang tinggi; sebab Islam sebagai agama
perjuangan dan kekuatan, harus selalu melindungi sifat keperwiraan laki-laki
dari segala macam bentuk kelemahan, kejatuhan dan kemerosotan. Seorang
laki-laki yang oleh Allah telah diberi keistimewaan susunan anggotanya yang
tidak seperti susunan keanggotaan wanita, tidak layak kalau dia meniru
wanita-wanita ayu yang melebihkan pakaiannya sampai ke tanah dan suka
bermegah-megah dengan perhiasan dan pakaian.
Dibalik itu ada suatu tujuan sosial. Yakni, bahwa diharamkannya emas dan
sutera bagi laki-laki adalah salah satu bagian daripada program Islam dalam
rangka memberantas hidup bermewah-mewahan. Hidup bermewah-mewahan dalam
pandangan al-Quran adalah sama dengan suatu kemerosotan yang akan menghancurkan
sesuatu umat. Hidup bermewah-mewahan adalah merupakan manifestasi kejahatan
sosial, dimana segolongan kecil bermewah-mewahan dengan cincin emas atas biaya
golongan banyak yang hidup miskin lagi papa. Sesudah itu dilanjutkan dengan
suatu sikap permusuhan terhadap setiap ajakan yang baik dan memperbaiki.
Dalam hat ini al-Quran telah menyatakan:
“Dan apabila kami hendak menghancurkan suatu desa, maka kami perbanyak orang-orang yang bergelimang dalam kemewahan, kemudian mereka itu berbuat fasik di desa tersebut, maka akan terbuktilah atas desa tersebut suatu ketetapan, kemudian kami hancurkan desa tersebut dengan sehancur-hancurnya.” (al-Isra’: 16)
Dan firman Allah pula:
“Kami tidak mengutus di suatu desa, seorang pun utusan (Nabi) melainkan akan berkatalah orang-orang yang bergelimang dalam kemewahan itu. Sesungguhnya kami tidak percaya terhadap kerasulanmu itu.” (Saba’: 34)
Untuk menerapkan jiwa al-Quran ini, maka Nabi Muhammad s.a.w. telah
mengharamkan seluruh bentuk kemewahan dengan segala macam manifestasinya dalam
kehidupan seorang muslim.
Sebagaimana diharamkannya emas dan sutera terhadap laki-laki, maka begitu
juga diharamkan untuk semua laki-laki dan perempuan menggunakan bejana emas dan
perak. Sebagaimana akan tersebut nanti.
Dan di balik itu semua, dapat pula ditinjau dari segi ekonomi, bahwa emas
adalah standard uang internasional. Oleh karena itu tidak patut kalau bejana
atau perhiasan buat orang laki-laki.
2.2.4 Hikmah Dibolehkannya Untuk Wanita
Dikecualikannya kaum wanita dari hukum ini adalah untuk memenuhi perasaan,
sesuai dengan tuntutan sifat kewanitaannya dan kecenderungan fitrahnya kepada
suka berhias; tetapi dengan syarat tidak boleh berhias yang dapat menarik kaum
pria dan membangkitkan syahwat.
Untuk itu, maka dalam hadis Nabi diterangkan:
“Siapa saja perempuan yang memakai uangi-uangian kemudian melewati suatu kaum supaya mereka itu mencium baunya, maka perempuan tersebut dianggap berzina, dan tiap-tiap mata ada zinanya.” (Riwayat Nasai, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
Dan firman Allah yang mengatakan:
“Janganlah perempuan-perempuan itu memukul-mukulkan kakinya di tanah, supaya diketahui apa yang mereka sembunyikan dari perhiasannya.” (an-Nur: 31)
2.2.5 Pakaian Wanita Islam
Islam mengharamkan perempuan memakai pakaian yang membentuk dan tipis
sehingga nampak kulitnya. Termasuk diantaranya ialah pakaian yang dapat
mempertajam bagian-bagian tubuh, khususnya tempat-tempat yang membawa fitnah,
seperti: buah dada, paha, dan sebagainya.
Dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah s.a.w.
bersabda:
“Ada dua golongan dari ahli neraka yang belum pernah saya lihat keduanya itu: (l) Kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang mereka pakai buat memukul orang (penguasa yang kejam); (2) Perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, yang cenderung kepada perbuatan maksiat dan mencenderungkan orang lain kepada perbuatan maksiat, rambutnya sebesar punuk unta. Mereka ini tidak akan bisa masuk sorga, dan tidak akan mencium bau sorga, padahal bau sorga itu tercium sejauh perjalanan demikian dan demikian.” (Riwayat Muslim, Babul Libas)
Mereka dikatakan berpakaian, karena memang mereka itu melilitkan pakaian
pada tubuhnya, tetapi pada hakikatnya pakaiannya itu tidak berfungsi menutup
aurat, karena itu mereka dikatakan telanjang, karena pakaiannya terlalu tipis
sehingga dapat memperlihatkan kulit tubuh, seperti kebanyakan pakaian perempuan
sekarang ini.
Bukhtun adalah salah satu macam daripada unta yang mempunyai kelasa (punuk)
besar; rambut orang-orang perempuan seperti punuk unta tersebut karena
rambutnya ditarik ke atas.
Dibalik keghaiban ini, seolah-olah Rasulullah melihat apa yang terjadi di
zaman sekarang ini yang kini diwujudkan dalam bentuk penataan rambut, dengan
berbagai macam mode dalam salon-salon khusus, yang biasa disebut salon
kecantikan, dimana banyak sekali laki-laki yang bekerja pada pekerjaan tersebut
dengan upah yang sangat tinggi.
Tidak cukup sampai di situ saja, banyak pula perempuan yang merasa kurang
puas dengan rambut asli pemberian Allah. Untuk itu mereka belinya rambut palsu
yang disambung dengan rambutnya yang asli, supaya nampak lebih menyenangkan dan
lebih cantik, sehingga dengan demikian dia akan menjadi perempuan yang menarik
dan memikat hati.
Satu hal yang sangat mengherankan, justru persoalan ini sekarang sering
dikaitkan dengan masalah penjajahan politik dan kejatuhan moral, dan ini dapat
dibuktikan oleh suatu kenyataan yang terjadi, dimana para penjajah politik itu
dalam usahanya untuk menguasai rakyat sering menggunakan sesuatu yang dapat
membangkitkan syahwat dan untuk dapat mengalihkan pandangan manusia, dengan
diberinya kesenangan yang kiranya dengan kesenangannya itu manusia tidak lagi
mau memperhatikan persoalannya yang lebih umum.
2.2.6 Laki-Laki Menyerupai Perempuan dan
Perempuan Menyerupai Laki-Laki
Rasulullah s.a.w. pernah mengumumkan, bahwa perempuan dilarang memakai
pakaian laki-laki dan laki-laki dilarang memakai pakaian perempuan. Disamping
itu beliau melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang
menyerupai laki-laki. Termasuk diantaranya, ialah tentang bicaranya, geraknya,
cara berjalannya, pakaiannya, dan sebagainya.
Sejahat-jahat bencana yang akan mengancam kehidupan manusia dan masyarakat,
ialah karena sikap yang abnormal dan menentang tabiat. Sedang tabiat ada dua:
tabiat laki-laki dan tabiat perempuan. Masing-masing mempunyai keistimewaan
tersendiri. Maka jika ada laki-laki yang berlagak seperti perempuan dan
perempuan bergaya seperti laki-laki, maka ini berarti suatu sikap yang tidak
normal dan meluncur ke bawah.
Rasulullah s.a.w. pernah menghitung orang-orang yang dilaknat di dunia ini
dan disambutnya juga oleh Malaikat, diantaranya ialah laki-laki yang memang
oleh Allah dijadikan betul-betul laki-laki, tetapi dia menjadikan dirinya
sebagai perempuan dan menyerupai perempuan; dan yang kedua, yaitu perempuan
yang memang dicipta oleh Allah sebagai perempuan betul-betul, tetapi kemudian
dia menjadikan dirinya sebagai laki-laki dan menyerupai orang laki-laki (Hadis
Riwayat Thabarani). Justru itu pulalah, maka Rasulullah s.a.w. melarang
laki-laki memakai pakaian yang dicelup dengan ‘ashfar (zat warna berwarna
kuning yang biasa dipakai untuk mencelup pakaian-pakaian wanita di zaman itu).
Ali r.a. mengatakan:
“Rasulullah s. a. w. pernah melarang aku memakai cincin emas dan pakaian sutera dan pakaian yang dicelup dengan ‘ashfar” (Hadis Riwayat Thabarani)
Ibnu Umar pun pernah meriwayatkan:
“Bahwa Rasulullah s.a.w. pernah melihat aku memakai dua pakaian yang dicelup dengan ‘ashfar, maka sabda Nabi: ‘Ini adalah pakaian orang-orang kafir, oleh karena itu jangan kamu pakai dia.'”
2.2.7 Pakaian Untuk Berfoya-foya dan
Kesombongan
Ketentuan secara umum dalam hubungannya dengan masalah menikmati hal-hal
yang baik, yang berupa makanan, minuman ataupun pakaian, yaitu tidak boleh
berlebih-lebihan dan untuk kesombongan.
Berlebih-lebihan, yaitu melewati batas ketentuan dalam menikmati yang
halal. Dan yang disebut kesombongan, yaitu erat sekali hubungannya dengan
masalah niat, dan hati manusia itu berkait dengan masalah yang zahir. Dengan
demikian apa yang disebut kesombongan itu ialah bermaksud untuk bermegah-megah
dan menunjuk-nunjukkan serta menyombongkan diri terhadap orang lain. Padahal
Allah samasekali tidak suka terhadap orang yang sombong.
Seperti firmanNya:
“Allah tidak suka kepada setiap orang yang angkuh dan sombong.” (al-Hadid: 23)
Dan Rasulullah s.a.w. juga bersabda:
“Barangsiapa melabuhkan kainnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya nanti di hari kiamat.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Kemudian agar setiap muslim dapat menjauhkan diri dari hal-hal yang
menyebabkan kesombongan, maka Rasulullah s.a.w. melarang berpakaian yang
berlebih-lebihan, dimana hal tersebut akan dapat menimbulkan perasaan angkuh,
membanggakan diri pada orang lain dengan bentuk-bentuk lahiriah yang kosong
itu.
Di dalam hadisnya, Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut,
“Barangsiapa memakai pakaian yang berlebih-lebihan, maka Allah akan memberikan pakaian kehinaan nanti di hari kiamat.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah dengan sanad yang dipercaya)
Ada seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Umar tentang pakaian apa yang
harus dipakainya? Maka jawab Ibnu Umar:
“yaitu pakaian yang kiranya kamu tidak akan dihina oleh orang-orang bodoh dan tidak dicela oleh kaum filsuf.” (Riwayat Thabarani)
2.2.8 Berlebih-Lebihan Dalam Berhias dengan
Mengubah Ciptaan Allah
Islam menentang sikap berlebih-lebihan dalam berhias sampai kepada suatu
batas yang menjurus kepada suatu sikap mengubah ciptaan Allah yang oleh
al-Quran dinilai, bahwa mengubah ciptaan Allah itu sebagai salah satu ajakan
syaitan kepada pengikut-pengikutnya, dimana syaitan akan berkata kepada
pengikutnya itu sebagai berikut:
“Sungguh akan kami pengaruhi mereka itu, sehingga mereka mau mengubah ciptaan Allah.” (an-Nisa’: 119)
2.2.9 Tatoo, Kikir Gigi dan Operasi Kecantikan
Hukumnya Haram
Mentatoo badan dan mengikir gigi adalah perbuatan yang dilaknat oleh
Rasulullah s.a.w., seperti tersebut dalam hadisnya:
“Rasulullah s.a.w. melaknat perempuan yang mentatoo dan minta ditatoo, dan yang mengikir gigi dan yang minta dikikir giginya.” (Riwayat Thabarani)
Tatoo, yaitu memberi tanda pada muka dan kedua tangan dengan warna biru
dalam bentuk ukiran. Sebagian orang-orang Arab, khususnya kaum perempuan,
mentatoo sebagian besar badannya. Bahkan sementara pengikutpengikut agama
membuatnya tatoo dalam bentuk persembahan dan lambang-lambang agama mereka,
misalnya orang-orang Kristen melukis salib di tangan dan dada mereka.
Perbuatan-perbuatan yang rusak ini dilakukan dengan menyiksa dan menyakiti
badan, yaitu dengan menusuk-nusukkan jarum pada badan orang yang ditatoo itu.
Semua ini menyebabkan laknat, baik terhadap yang mentatoo ataupun orang
yang minta ditatoo.
Dan yang disebut mengikir gigi, yaitu merapikan dan memendekkan gigi.
Biasanya dilakukan oleh perempuan. Karena itu Rasulullah melaknat
perempuan-perempuan yang mengerjakan perbuatan ini (tukang kikir) dan minta
supaya dikikir.
Kalau ada laki-laki yang berbuat demikian, maka dia akan lebih berhak
mendapat laknat.
Termasuk diharamkan seperti halnya mengikir gigi, yaitu menjarangkan gigi.
Dalam hal ini Rasulullah pernah melaknatnya, yaitu seperti tersebut dalam
hadisnya:
“Dilaknat perempuan-perempuan yang menjarangkan giginya supaya menjadi cantik, yang mengubah ciptaan Allah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Yang disebut al-Falaj, yaitu meletakkan sesuatu di sela-sela gigi, supaya
nampak agak sedikit jarang. Di antara perempuan memang ada yang oleh Allah
dicipta demikian, tetapi ada juga yang tidak begitu. Kemudian dia meletakkan
sesuatu di sela-sela gigi yang berhimpitan itu, supaya giginya menjadi jarang.
Perbuatan ini dianggap mengelabui orang lain dan berlebih-lebihan dalam berhias
yang samasekali bertentangan dengan jiwa Islam yang sebenarnya.
Dari hadis-hadis yang telah kita sebutkan di atas, maka kita dapat
mengetahui tentang hukum operasi kecantikan seperti yang terkenal sekarang
karena perputaran kebudayaan badan dan syahwat, yakni kebudayaan Barat
materialistis, sehingga banyak sekali perempuan dan laki-laki yang mengorbankan
uangnya beratus bahkan beribu-ribu untuk mengubah bentuk hidung, payudara atau
yang lain. Semua ini termasuk yang dilaknat Allah dan RasulNya, karena di
dalamnya terkandung penyiksaan dan perubahan bentuk ciptaan Allah tanpa ada
suatu sebab yang mengharuskan untuk berbuat demikian, melainkan hanya untuk
pemborosan dalam hal-hal yang bersifat show dan lebih mengutamakan pada bentuk,
bukan inti; lebih mementingkan jasmani daripada rohani.
Adapun kalau ternyata orang tersebut mempunyai cacat yang kiranya akan
dapat menjijikkan pandangan, misalnya karena ada daging tambah yang dapat
menimbulkan sakit secara perasaan ataupun secara kejiwaan kalau daging lebih
itu dibiarkan, maka waktu itu tidak berdosa orang untuk berobat selama untuk
tujuan demi menghilangkan penyakit yang bersarang dan mengancam hidupnya.
Karena Allah tidak menjadikan agama buat kita ini dengan penuh kesukaran.17
Barangkali yang memperkuat permasalahan tersebut di atas, yaitu tentang
hadis “dilaknat perempuan-perempuan yang menjarangkan giginya supaya cantik”
seperti tersebut di atas. Dari hadis itu pula dapat difahamkan, bahwa yang
tercela itu ialah perempuan yang mengerjakan hal tersebut semata-mata untuk
tujuan keindahan dan kecantikan yang dusta. Tetapi kalau hal tersebut dilakukan
dengan tujuan untuk menghilangkan penyakit atau bahaya yang mengancam, maka
sedikitpun tidak ada halangan. Wallahu a’lam!
2.2.10 Menipiskan Alis
Salah satu cara berhias yang berlebih-lebihan yang diharamkan Islam, yaitu
mencukur rambut alis mata untuk ditinggikan atau disamakan. Dalam hal ini
Rasulullah pernah melaknatnya, seperti tersebut dalam hadis:
“Rasulullah s.a.w. melaknat perempuan-perempuan yang mencukur alisnya atau minta dicukurkan alisnya.” (Riwayat Abu Daud, dengan sanad yang hasan. Demikian menurut apa yang tersebut dalam Fathul Baari)
Sedang dalam Bukhari disebut:
Rasulullah s.a.w. melaknat perempuan-perempuan yang minta dicukur alisnya.
Lebih diharamkan lagi, jika mencukur alis itu dikerjakan sebagai simbol
bagi perempuan-perempuan cabul.
Sementara ulama madzhab Hanbali berpendapat, bahwa perempuan diperkenankan
mencukur rambut dahinya, mengukir, memberikan cat merah (make up) dan
meruncingkan ujung matanya, apabila dengan seizin suami, karena hal tersebut
termasuk berhias.
Tetapi oleh Imam Nawawi diperketat, bahwa mencukur rambut dahi itu
samasekali tidak boleh. Dan dibantahnya dengan membawakan riwayat yang tersebut
dalam Sunan Abu Daud: Bahwa yang disebut namishah (mencukur alis) sehingga
tipis sekali. Dengan demikian tidak termasuk menghias muka dengan menghilangkan
bulu-bulunya.
Imam Thabari meriwayatkan dari isterinya Abu Ishak, bahwa satu ketika dia
pernah ke rumah Aisyah, sedang isteri Abu Ishak adalah waktu itu masih gadis
nan jelita. Kemudian dia bertanya: Bagaimana hukumnya perempuan yang menghias
mukanya untuk kepentingan suaminya? Maka jawab Aisyah: Hilangkanlah
kejelekan-kejelekan yang ada pada kamu itu sedapat mungkin.
2.2.11 Menyambung Rambut
Termasuk perhiasan perempuan yang terlarang ialah menyambung rambut dengan
rambut lain, baik rambut itu asli atau imitasi seperti yang terkenal sekarang
ini dengan nama wig.
Imam Bukhari meriwayatkan dari jalan Aisyah, Asma’, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar
dan Abu Hurairah sebagai berikut:
“Rasulullah s.a.w. melaknat perempuan yang menyambung rambut atau minta disambungkan rambutnya.”
Bagi laki-laki lebih diharamkan lagi, baik dia itu bekerja sebagai tukang
menyambung seperti yang dikenal sekarang tukang rias ataupun dia minta
disambungkan rambutnya, jenis perempuan-perempuan wadam (laki-laki banci)
seperti sekarang ini.
Persoalan ini oleh Rasulullah s.a.w, diperkeras sekali dan digiatkan untuk
memberantasnya. Sampai pun terhadap perempuan yang rambutnya gugur karena sakit
misalnya, atau perempuan yang hendak menjadi pengantin untuk bermalam pertama
dengan suaminya, tetap tidak boleh rambutnya itu disambung.
Aisyah meriwayatkan:
“Seorang perempuan Anshar telah kawin, dan sesungguhnya dia sakit sehingga gugurlah rambutnya, kemudian keluarganya bermaksud untuk menyambung rambutnya, tetapi sebelumnya mereka bertanya dulu kepada Nabi, maka jawab Nabi: Allah melaknat perempuan yang menyambung rambut dan yang minta disambung rambutnya.” (Riwayat Bukhari)
Asma’ juga pernah meriwayatkan:
“Ada seorang perempuan bertanya kepada Nabi s.a.w.: Ya Rasulullah, sesungguhnya anak saya terkena suatu penyakit sehingga gugurlah rambutnya, dan saya akan kawinkan dia apakah boleh saya sambung rambutnya? Jawab Nabi: Allah melaknat perempuan yang menyambung rambut dan yang minta disambungkan rambutnya.” (Riwayat Bukhari)
Said bin al-Musayib meriwayatkan:
“Muawiyah datang ke Madinah dan ini merupakan kedatangannya yang paling akhir di Madinah, kemudian ia bercakap-cakap dengan kami. Lantas Muawiyah mengeluarkan satu ikat rambut dan ia berkata: Saya tidak pernah melihat seorangpun yang mengerjakan seperti ini kecuali orang-orang Yahudi, dimana Rasulullah s.a.w. sendiri menamakan ini suatu dosa yakni perempuan yang menyambung rambut (adalah dosa).”
Dalam satu riwayat dikatakan, bahwa Muawiyah berkata kepada penduduk
Madinah:
“Di mana ulama-ulamamu? Saya pernah mendengar sendiri Rasulullah s.a.w. bersabda: Sungguh Bani Israel rusak karena perempuan-perempuannya memakai ini (cemara).” (Riwayat Bukhari)
Rasulullah menamakan perbuatan ini zuur (dosa) berarti memberikan suatu
isyarat akan hikmah diharamkannya hal tersebut. Sebab hal ini tak ubahnya
dengan suatu penipuan, memalsu dan mengelabui. Sedang Islam benci sekali
terhadap perbuatan menipu; dan samasekali antipati terhadap orang yang menipu
dalam seluruh lapangan muamalah, baik yang menyangkut masalah material ataupun
moral. Kata Rasulullah s.a.w.:
“Barangsiapa menipu kami, bukanlah dari golongan kami.” (Riwayat Jamaah sahabat)
Al-Khaththabi berkata: Adanya ancaman yang begitu keras dalam
persoalan-persoalan ini, karena di dalamnya terkandung suatu penipuan. Oleh
karena itu seandainya berhias seperti itu dibolehkan, niscaya cukup sebagai
jembatan untuk bolehnya berbuat bermacam-macam penipuan. Di samping itu memang
ada unsur perombakan terhadap ciptaan Allah. Ini sesuai dengan isyarat hadis
Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud yang mengatakan “… perempuan-perempuan
yang merombak ciptaan Allah.”
Yang dimaksud oleh hadis-hadis tersebut di atas, yaitu menyambung rambut
dengan rambut, baik rambut yang dimaksud itu rambut asli ataupun imitasi. Dan
ini pulalah yang dimaksud dengan memalsu dan mengelabui. Adapun kalau dia
sambung dengan kain atau benang dan sabagainya, tidak masuk dalam larangan ini.
Dan dalam hal inf Said bin Jabir pernah mengatakan:
“Tidak mengapa kamu memakai benang.”
Yang dimaksud [tulisan Arab] di sini ialah benang sutera atau wool yang
biasa dipakai untuk menganyam rambut (jw. kelabang), dimana perempuan selalu
memakainya untuk menyambung rambut. Tentang kebolehan memakai benang ini telah
dikatakan juga oleh Imam Ahmad.
2.2.12 Semir Rambut
Termasuk dalam masalah perhiasan, yaitu menyemir rambut kepala atau jenggot
yang sudah beruban. Sehubungan dengan masalah ini ada satu riwayat yang
menerangkan, bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak memperkenankan menyemir
rambut dan merombaknya, dengan suatu anggapan bahwa berhias dan mempercantik
diri itu dapat menghilangkan arti beribadah dan beragama, seperti yang
dikerjakan oleh para rahib dan ahli-ahli Zuhud yang berlebih-lebihan itu. Namun
Rasulullah s.a.w. melarang taqlid pada suatu kaum dan mengikuti jejak mereka,
agar selamanya kepribadian umat Islam itu berbeda, lahir dan batin. Untuk
itulah maka dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah
s.a.w. mengatakan:
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak mau menyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan mereka.” (Riwayat Bukhari)
Perintah di sini mengandung arti sunnat, sebagaimana biasa dikerjakan oleh
para sahabat, misalnya Abubakar dan Umar. Sedang yang lain tidak melakukannya,
seperti Ali, Ubai bin Kaab dan Anas.
Tetapi warna apakah semir yang dibolehkan itu? Dengan warna hitam dan yang
lainkah atau harus menjauhi warna hitam? Namun yang jelas, bagi orang yang
sudah tua, ubannya sudah merata baik di kepalanya ataupun jenggotnya, tidak
layak menyemir dengan warna hitam. Oleh karena itu tatkala Abubakar membawa
ayahnya Abu Kuhafah ke hadapan Nabi pada hari penaklukan Makkah, sedang Nabi
melihat rambutnya bagaikan pohon tsaghamah yang serba putih buahnya maupun
bunganya.
Untuk itu, maka bersabdalah Nabi:
“Ubahlah ini (uban) tetapi jauhilah warna hitam.” (Riwayat Muslim)
Adapun orang yang tidak seumur dengan Abu Kuhafah (yakni belum begitu tua),
tidaklah berdosa apabila menyemir rambutnya itu dengan warna hitam. Dalam hal
ini az-Zuhri pernah berkata:
“Kami menyemir rambut dengan warna hitam apabila wajah masih nampak muda, tetapi kalau wajah sudah mengerut dan gigi pun telah goyah, kami tinggalkan warna hitam tersebut.”
Termasuk yang membolehkan menyemir dengan warna hitam ini ialah segolongan
dari ulama salaf termasuk para sahabat, seperti: Saad bin Abu Waqqash, Uqbah
bin Amir, Hasan, Husen, Jarir dan lain-lain.
Sedang dari kalangan para ulama ada yang berpendapat tidak boleh warna
hitam kecuali dalam keadaan perang supaya dapat menakutkan musuh, kalau mereka
melihat tentara-tentara Islam semuanya masih nampak muda.
Dan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar mengatakan:
“Sebaik-baik bahan yang dipakai untuk menyemir uban ialah pohon inai dan katam.” (Riwayat Tarmizi dan Ashabussunan)
Inai berwarna merah, sedang katam sebuah pohon yang tumbuh di zaman Rasulullah
s.a.w. yang mengeluarkan zat berwarna hitam kemerah-merahan. Anas bin Malik
meriwayatkan, bahwa Abubakar menyemir rambutnya dengan inai dan katam, sedang
Umar hanya dengan inai saja.
2.2.13 Memelihara Jenggot
Termasuk yang urgen dalam permasalahan kita ini, ialah tentang memelihara
jenggot. Untuk ini Ibnu Umar telah meriwayatkan dari Nabi s.a.w. yang
mengatakan sebagai berikut:
“Berbedalah kamu dengan orang-orang musyrik, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis.” (Riwayat Bukhari)
Perkataan i’fa (pelihara) dalam riwayat lain diartikan tarkuha wa ibqaauha
(tinggalkanlah dan tetapkanlah).
Hadis ini menerangkan alasan diperintahkannya untuk memelihara jenggot dan
mencukur kumis, yaitu supaya berbeda dengan orang-orang musyrik. Sedang yang
dimaksud orang-orang musyrik di sini ialah orang-orang Majusi penyembah api,
dimana mereka itu biasa menggunting jenggotnya, bahkan ada yang mencukurnya.
Perintah Rasulullah ini mengandung pendidikan untuk umat Islam supaya
mereka mempunyai kepribadian tersendiri serta berbeda dengan orang kafir lahir
dan batin, yang tersembunyi maupun yang tampak. Lebih-lebih dalam hal mencukur
jenggot ini ada unsur-unsur menentang fitrah dan menyerupai orang perempuan.
Sebab jenggot adalah lambang kesempurnaan laki-laki dan tanda-tanda yang
membedakan dengan jenis lain.
Namun demikian, bukan berarti samasekali tidak boleh memotong jenggot
dimana kadang-kadang jenggot itu kalau dibiarkan bisa panjang yang menjijikkan
yang dapat mengganggu pemiliknya. Untuk itulah maka jenggot yang demikian boleh
diambil/digunting kebawah maupun kesamping, sebagaimana tersebut dalam hadis
rlwayat Tarmizi. Hal ini pernah juga dikerjakan oleh sementara ulama salaf,
seperti kata Iyadh: “Mencukur, menggunting dan mencabut jenggot dimakruhkan.
Tetapi kalau diambil dari panjangnya atau ke sampingnya apabila ternyata
jenggot itu besar (tebal), maka itu satu hal yang baik.”
Dan Abu Syamah juga berkata: “Terdapat suatu kaum yang biasa mencukur
jenggotnya. Berita yang terkenal, bahwa yang berbuat demikian itu ialah
orang-orang Majusi, bahwa mereka itu biasa mencukur jenggotnya.”
Kami berpendapat: Bahwa kebanyakan orang-orang Islam yang mencukur
jenggotnya itu lantaran mereka meniru musuh-musuh mereka dan kaum penjajah
negeri mereka dan orang-orang Yahudi dan Kristen. Sebagaimana kelazimannya,
bahwa orang-orang yang kalah senantiasa meniru orang yang menang. Mereka
melakukan hal itu jelas telah lupa kepada perintah Rasulullah yang menyuruh
supaya mereka berbeda dengan orang-orang kafir. Di samping itu mereka telah
lupa pula terhadap larangan Nabi tentang menyerupai orang kafir, seperti yang
tersebut dalam hadisnya yang mengatakan:
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia itu termasuk golongan mereka.” (Riwayat Abu Dawud)
Kebanyakan ahli-ahli fiqih yang berpendapat tentang haramnya mencukur
jenggot itu berdalil perintah Rasul di atas. Sedang tiap-tiap perintah asalnya
menunjukkan pada wajib, lebih-lebih Rasulullah sendiri telah memberikan alasan
perintahnya itu supaya kita berbeda dengan orang-orang kafir. Dan berbeda
dengan orang kafir itu sendiri hukumnya wajib pula.
Tidak seorang pun ulama salaf yang meninggalkan kewajiban ini. Tetapi
sementara ulama-ulama sekarang ada yang membolehkan mencukur jenggot karena
terpengaruh oleh keadaan dan memang karena bencana yang telah meluas. Mereka
ini berpendapat, bahwa memelihara jenggot itu termasuk perbuatan Rasulullah
yang bersifat duniawiah, bukan termasuk persoalan syara’ yang harus ditaati. Tetapi
yang benar, bahwa memelihara jenggot itu bukan sekedar fi’liyah Nabi, bahkan
ditegaskan pula dengan perintah dan disertai alasan supaya berbeda dengan orang
kafir,
Ibnu Taimiyah menegaskan, bahwa berbeda dengan orang kafir adalah suatu hal
yang oleh syara’ ditekankan. Dan menyerupai orang kafir dalam lahiriahnya dapat
menimbulkan perasaan kasih dalam hatinya, sebagaimana perasaan kasih dalam
batin dapat menimbulkan perasaan dalam lahir. Ini sudah dibuktikan sendiri oleh
suatu kenyataan dan diperoleh berdasarkan suatu percobaan.
Selanjutnya ia berkata: Al-Quran, Hadis dan Ijma’ sudah menegaskan terhadap
perintah supaya berbeda dengan orang kafir dan dilarang menyerupai mereka
secara keseluruhannya. Apa saja yang kiranya menimbulkan kerusakan walaupun agak
tersembunyi, maka sudah dapat dikaitkan dengan suatu hukum dan dapat dinyatakan
haram. Maka dalam hal menyerupai orang kafir pada lahiriahnya sudah merupakan
sebab untuk menyerupai akhlak dan perbuatannya yang tercela, bahkan akan bisa
berpengaruh pada kepercayaan. Pengaruhnya ini memang tidak dapat dikonkritkan,
dan kejelekan yang ditimbulkan akibat dari sikap menyerupai itu sendiri
kadang-kadang tidak begitu jelas, bahkan kadang-kadang sukar dibuktikan. Tetapi
setiap hal yang menjadi sebab timbulnya suatu kerusakan, syara’ menganggapnya
suatu hal yang haram.
Dari keterangan-keterangan di atas dapat kita simpulkan, bahwa masalah
mencukur jenggot ini ada tiga pendapat:
Pendapat pertama: Hukumnya haram. Yang berpendapat demikian, ialah Ibnu
Taimiyah dan lain-lain.
Pendapat kedua: Makruh. Yang berpendapat demikian ialah Iyadh, sebagaimana
tersebut dalam Fathul Bari.
Sedang ulama lain tidak ada yang berpendapat demikian.
Pendapat ketiga: Mubah. Yang berpendapat demikian sementara ulama sekarang.
Tetapi barangkali yang agak moderat dan bersikap tengah-tengah yaitu
pendapat yang menyatakan makruh. Sebab tiap-tiap perintah tidak selamanya
menunjukkan pada wajib, sekalipun dalam hal ini Nabi telah memberikan alasannya
supaya berbeda dengan orang kafir. Perbandingan yang lebih mendekati kepada
persoalan ini ialah tentang perintah menyemir rambut supaya berbeda dengan
orang Yahudi dan Kristen. Tetapi sebagian sahabat ada yang tidak mengerjakannya.
Oleh karena itu perintah tersebut sekedar menunjukkan sunnat.
Betul tidak ada seorang pun ulama salaf yang mencukur jenggot, tetapi
barangkali saja karena mereka tidak begitu memerlukan, karena memelihara
jenggot waktu itu sudah menjadi kebiasaan mereka.
Diposting Oleh : kawani media
Anda sedang membaca artikel tentang BAB KEDUA - HALAL HARAM DALAM ISLAM - B. Anda diperbolehkan mengcopy paste isi blog ini, namun jangan lupa untuk mencantumkan link ini sebagai sumbernya. Beritahukan kepada saya jika ada Link yang rusak atau tidak berfungsi. Apabila suka dengan postingan ini silahkan di Like dan Share dengan tidak lupa Komentar dan Masukannya.
0 komentar:
Posting Komentar