http://kawanishare.blogspot.com/ | KAWANI MEDIA |
2.3 Dalam Rumah
RUMAH adalah tempat yang dipakai seseorang untuk melindungi
kebiasaan-kebiasaan tabiat dan dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan
masyarakat sehingga dengan demikian tubuh ini bisa istirahat dan jiwa bisa
tenang. Untuk itulah Allah berfirman dalam hubungannya dengan mengetengahkan
kenikmatannya kepada manusia:
“Allah menjadikan untuk kamu rumah-rumah kamu sebagai tempat ketenangan.” (an-Nahl: 80)
Rasulullah s.a.w. senang sekali rumah yang luas, dan dimasukkan sebagai
unsur kebahagiaan duniawi. Maka sabdanya:
“Empat hal yang membawa kebahagiaan, yaitu perempuan salehah, rumah yang luas, tetangga yang baik dan kendaraan yang enak.” (Riwayat Ibnu Hibban)
Dan doa yang sering diucapkan Nabi ialah:
“Ya Allah! Ampunilah dosaku, luaskanlah rumahku, berilah barakah dalam rezekiku! Kemudian beliau ditanya: Mengapa doa ini yang banyak engkau baca, ya Rasulullah? Maka jawab Nabi: Apa ada sesuatu yang lain yang kamu cintai?” (Riwayat Nasa’i dan Ibnu Sunni)
Rasulullah juga memerintahkan supaya rumah-rumah kita itu bersih, agar
nampak syiar Islam yang diantaranya ialah bersih, dan agar merupakan tanda yang
dapat membedakan seorang muslim dengan orang lain yang menurut penilaian
agamanya, bahwa kotor itu merupakan salah satu wasilah untuk berkorban kepada Allah.
Sabda Rasulullah s.a.w.:
“Sesungguhnya Allah itu baik, Dia suka kepada yang baik. Dia juga bersih, suka kepada yang bersih. Dia juga mulia, suka kepada yang mulia. Dia juga dermawan, sangat suka kepada yang dermawan. Oleh karena itu bersihkanlah halaman rumahmu, jangan kamu menyerupai orang-orang Yahudi.” (Riwayat Tarmizi)
2.3.1 Lambang-Lambang Kemewahan dan Kemusyrikan
Seorang muslim tidak dilarang untuk menghias rumahnya dengan karangan bunga
yang warna-warni, dan ukiran-ukiran serta hiasan yang halal. Sebab Allah telah
berfirman:
“Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah ia keluarkan untuk hamba-hambanya?” (al-A’raf: 32)
Betul seorang muslim tidak berdosa untuk menghias rumahnya, pakaiannya,
sandalnya dan sebagainya. Sebab Rasulullah pernah juga bersabda:
“Tidak akan masuk sorga orang yang dalam hatinya ada seberat zarrah daripada kesombongan. Kemudian ada seorang laki-laki yang bertanya: Ya Rasulullah! Seseorang itu biasa senang kalau pakaiannya itu baik dan sandalnya pun baik pula, apakah itu termasuk sombong? Jawab Nabi. Sesungguhnya Allah itu baik, Ia suka kepada yang baik.” (Riwayat Muslim)
Dan di satu riwayat disebutkan:
“Ada seorang laki-laki ganteng datang kepada Nabi, kemudian ia bertanya: Saya ini sangat suka kepada keindahan, dan saya sendiri telah diberi keindahan itu sebagaimana engkau lihat, sehingga aku tidak suka kalau ada seseorang yang mau mengatasi aku dengan menyamai sandalnya, apakah ini termasuk sombong ya Rasulullah? Jawab Nabi.”Tidak!” Sebab yang disebut sombong ialah menolak kebenaran dan menghina orang lain.” (Riwayat Abu Daud)
Namun demikian, Islam tidak suka kepada berlebih-lebihan dalam segala hal.
Dan Nabi sendiri tidak senang seorang muslim yang rumahnya itu penuh dengan
lambang-lambang kemewahan dan berlebih-lebihan yang sangat dicela oleh
al-Quran, atau rumahnya itu ada lambang-lambang kemusyrikan yang sangat
ditentang oleh Agama Tauhid dengan segala macam senjata yang mungkin.
2.3.2 Bejana Emas dan Perak
Untuk itulah, maka Islam mengharamkan membuat bejana dari emas atau perak
dan seperei-seperei sutera murni dalam rumah seorang muslim. Nabi sendiri
memberikan ancaman keras terhadap orang yang cenderung kepada cara-cara ini. Kata
Ummu Salamah ummul mu’minin:
“Sesungguhnya orang yang makan dan minum dengan bejana emas dan perak, maka akan gemercik suara api neraka dalam perutnya.” (Riwayat Muslim)
Dan Huzaifah juga pernah mengatakan:
“Rasulullah melarang kami minum dengan bejana emas dan perak atau kita makan dengannya, dan melarang memakai pakaian sutera tipis dan sutera tebal serta dilarang kita duduk di atasnya. Kemudian Nabi bersabda pula: Kain ini untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia, dan untuk kamu nanti di akhirat.” (Riwayat Bukhari)
Jadi kalau kita dilarang memakainya, berarti haram juga membuatnya untuk
hiasan.
Diharamkan bejana emas/perak dan seperei-seperei sutera itu, berlaku untuk
laki-laki dan perempuan. Sedang hikmahnya agama mengharamkan hal-hal tersebut
dengan suatu tujuan untuk membersihkan rumah dari unsur-unsur kemewahan/berlebih-lebihan.
Tepat sekali apa yang dikatakan Ibnu Qudamah: hal tersebut di atas berlaku
sama antara laki-laki dan perempuan karena umumnya hadis, dan karena alasan
diharamkannya justru karena berlebih-lebihan dan kesombongan serta dapat
memecahkan perasaan hati orang-orang fakir. Pengertian seperti ini meliputi
kedua belah pihak. Adapun dibolehkannya perempuan berhias dengan emas dan
sutera adalah demi kepentingan suami, bukan untuk orang lain.
Kalau ditanyakan: Andaikata alasan diharamkannya itu seperti yang tersebut
di atas, niscaya mutiara dan sebagainya adalah juga diharamkan karena harganya
lebih tinggi? Untuk masalah ini akan kami jawab sebagai berikut: Mutiara
(yakut) itu tidak begitu dikenal di kalangan orang miskin, oleh karena itu
tidak dapat memecahkan perasaan hati mereka jika orang-orang kaya itu
menjadikan benda ini sebagai hiasan, walaupun sesudah itu mereka menjadi kenal
dengan yakut. Dan justru jarangnya yakut itu sendiri menyebabkan tidak ada
orang kaya yang memakainya sebagai hiasan, sehingga dengan demikian tidak perlu
lagi diharamkan walaupun ada perbedaan harga yang sangat menyolok.
Ditinjau dari segi ekonomi, seperti yang telah kami sebutkan juga dalam
hikmah diharamkannya emas untuk orang laki-laki, maka di bab ini hikmah
tersebut akan lebih nampak dan lebih jelas. Sebab emas dan perak merupakan
standard uang internasional yang oleh Allah dijadikan sebagai ukuran harga uang
dan sebagai standard yang akan menentukan harga itu dengan adil serta
memudahkan peredaran uang di kalangan orang banyak. Maka atas bimbingan Allah
kepada umat manusia untuk menggunakan uang sebagai nikmat yang diberikan kepada
mereka, uang tersebut harus diedarkan di kalangan orang banyak, jangan ditahan
di rumah dalam bentuk uang yang tersimpan, atau dihilangkan dalam bentuk bejana
dan alat-alat perhiasan lainnya.
Betapa indahnya pula apa yang dikatakan Imam Ghazali dalam Syukur Nikmat
didalam bukunya Ihya’. Ia mengatakan sebagai berikut: “Siapapun yang menjadikan
dirham dan dinar sebagai bejana dari emas dan perak, berarti dia telah kufur
nikmah (tidak tahu berterimakasih), dan dia lebih jahat daripada menyimpannya.
Karena hal seperti ini sama halnya dengan orang yang memaksa kepala negara
untuk bekerja sebagai tukang tenun dan tukang sapu tanpa upah, atau untuk mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh manusia-manusia rendahan. Jadi
menahan harta, lebih rendah dari itu semua. Sebab perkakas dari tanah, besi,
timah dan tembaga menduduki fungsi emas dan perak sebagai alat untuk menjaga
makanan supaya tidak rusak. Karena fungsi bejana pada hakikatnya adalah guna
menjaga makanan. Maka tanpa uang alat-alat dari tanah dan besi itu tidak dapat
memenuhi apa yang dimaksud.
Jelasnya, barangsiapa yang kurang faham persoalan ini, kiranya cukup
memahami terjemahan Tuhan dalam hal tersebut yang dilukiskan dalam bentuk
ungkapannya:
“barangsiapa minum dengan bejana emas atau perak, maka seolah-olah
suara api neraka itu gemercik dalam perutnya.”
Bentuk larangan ini jangan diartikan mempersempit gerak umat Islam dalam
rumahtangga, sebab dalam masalah halal yang baik, mempunyai lapangan yang
sangat luas. Berapa banyak bejana dari perunggu, dari kaca, dari tanah, dari
tembaga dan dari tambang-tambang lain yang lebih bagus. Berapa banyak pula
seperai dan bantal dari katun dan kapuk yang lebih indah daripada bahan lain!
2.3.3 Islam Mengharamkan Patung
Islam mengharamkan dalam rumahtangga Islam meliputi masalah patung. Sebab
adanya patung dalam suatu rumah, menyebabkan Malaikat akan jauh dari rumah itu,
padahal Malaikat akan membawa rahmat dan keridhaan Allah untuk isi rumah
tersebut.
Dalam hal ini Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
“Sesungguhnya Malaikat tidak akan masuk suatu rumah yang di dalamnya ada patung.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ulama-ulama berkata: Malaikat tidak mau masuk rumah yang ada patungnya,
karena pemiliknya itu menyerupai orang kafir, dimana mereka biasa meletakkan
patung dalam rumah-rumah mereka untuk diagungkan. Untuk itulah Malaikat tidak
suka dan mereka tidak mau masuk bahkan menjauh dari rumah tersebut.
Oleh karenanya, Islam melarang keras seorang muslim bekerja sebagai tukang
pemahat patung, sekalipun dia membuat patung itu untuk orang lain.
Sabda Rasulullah s.a.w.:
“Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya nanti di hari kiamat, yaitu orang-orang yang menggambar gambar-gambar ini. Dalam satu riwayat dikatakan: Orang-orang yang menandingi ciptaan Allah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan Rasulullah s.a.w. memberitahukan juga dengan sabdanya:
“Barangsiapa membuat gambar (patung) nanti di hari kiamat dia akan dipaksa untuk meniupkan roh padanya; padahal dia selamanya tidak akan bisa meniupkan roh itu.” (Riwayat Bukhari)
Maksud daripada hadis ini, bahwa dia akan dituntut untuk menghidupkan
patung tersebut.
Perintah ini sebenarnya hanya suatu penghinaan dan mematahkan, sebab dia
tidak mungkin dapat.
2.3.4 Hikmah Diharamkannya Patung
1) Di antara rahasia diharamkannya patung ini, walaupun dia itu bukan
satu-satunya sebab, seperti anggapan sementara orang yaitu untuk membela
kemurnian Tauhid, dan supaya jauh dari menyamai orang-orang musyrik yang
menyembah berhala-berhala mereka yang dibuatnya oleh tangan-tangan mereka
sendiri, kemudian dikuduskan dan mereka berdiri di hadapannya dengan penuh
khusyu’.
Kesungguhan Islam untuk melindungi Tauhid dari setiap macam penyerupaan
syirik telah mencapai puncaknya. Islam dalam ikhtiarnya ini dan kesungguhannya
itu senantiasa berada di jalan yang benar. Sebab sudah pernah terjadi di
kalangan umat-umat terdahulu, dimana mereka itu membuat patung orang-orang yang
saleh mereka yang telah meninggal dunia kemudian disebut-sebutnya nama mereka
itu. Lama-kelamaan dan dengan sedikit demi sedikit orang-orang saleh yang telah
dilukiskan dalam bentuk patung itu dikuduskan, sehingga akhirnya dijadikan
sebagai Tuhan yang disembah selain Allah; diharapkan, dan ditakuti serta
diminta barakahnya. Hal ini pernah terjadi pada kaum Wud, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq
dan Nasr.
Tidak heran kalau dalam suatu agama yang dasar-dasar syariatnya itu selalu
menutup pintu kerusakan, bahwa akan ditutup seluruh lubang yang mungkin akan
dimasuki oleh syirik yang sudah terang maupun yang masih samar untuk menyusup
ke dalam otak dan hati, atau jalan-jalan yang akan dilalui oleh penyerupaan
kaum penyembah berhala dan pengikut-pengikut agama yang suka berlebih-lebihan.
Lebih-lebih Islam itu sendiri bukan undang-undang manusia yang ditujukan untuk
satu generasi atau dua generasi, tetapi suatu undang-undang untuk seluruh umat
manusia di seantero dunia ini sampai hari kiamat nanti. Sebab sesuatu yang kini
masih belum diterima oleh suatu lingkungan, tetapi kadang-kadang dapat diterima
oleh lingkungan lain; dan sesuatu yang kini dianggap ganjil dan mustahil,
tetapi di satu saat akan menjadi suatu kenyataan, entah kapan waktunya, dekat
atau jauh.
2) Rahasia diharamkannya patung bagi pemahatnya, sebab seorang pelukis yang
sedang memahat patung itu akan diliputi perasaan sok, sehingga seolah-olah dia
dapat menciptakan suatu makhluk yang tadinya belum ada atau dia dapat membuat
jenis baru yang bisa hidup yang terbuat dari tanah.
Sudah sering terjadi seorang pemahat patung dalam waktu yang relatif lama,
maka setelah patung itu dapat dirampungkan lantas dia berdiri di hadapan patung
tersebut dengan mengaguminya, sehingga seolah-olah dia berbicara dengan patung
tersebut dengan penuh kesombongan: Hai patung! Bicaralah!
Untuk itulah maka Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Sesungguhnya orang-orang yang membuat patung-patung ini nanti di hari kiamat akan disiksa dan dikatakan kepada mereka: Hidupkanlah patung yang kamu buat itu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan dalam hadis Qudsi, Allah s.w.t. berfirman pula:
“Siapakah orang yang lebih menganiaya selain orang yang bekerja untuk membuat sesuatu seperti pembuatanku? Oleh karena itu cobalah mereka membuat zarrah (benda yang kecil), cobalah mereka membuat sebutir beras belanda.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
3) Orang-orang yang berbicara dalam persoalan seni ini tidak berhenti dalam
suatu batas tertentu saja, tetapi mereka malah melukis (memahat) wanita-wanita
telanjang atau setengah telanjang. Mereka juga melukis (dan juga memahat)
lambang-lambang kemusyrikandan syiar-syiar agama lainnya, seperti salib,
berhala dan lain-lain yang pada prinsipnya tidak dapat diterima oleh Islam.
4) Lebih dari itu semua, bahwa patung-patung itu selalu menjadi kemegahan
orang-orang yang berlebihan, mereka penuhinya istana-istana mereka dengan
patung-patung, kamar-kamar mereka dihias dengan patung dan, mereka buatnya
seni-seni pahat (patung) dari berbagai lambang.
Kalau agama Islam dengan gigih memberantas seluruh bentuk kemewahan dengan
segala kemegahan dan macamnya, yang terdiri dari emas dan perak, maka tidak
terlalu jauh kalau agama ini mengharamkan patung-patung itu, sebagai lambang
kemegahan, dalam rumah-rumah orang Islam.
2.3.5 Bimbingan Islam dalam Mengabadikan Orang
Besar
Barangkali akan ada orang berkata: Apakah tidak memenuhi suatu maksud umat
untuk mengembalikan sebagian keindahan yang pernah dicapai oleh orang-orang
besar kita yang telah berhasil mengisi lembaran sejarah yang berharga itu, lantas
para pembesar itu diabadikan dalam bentuk patung agar menjadi peringatan
generasi berikutnya terhadap jasa-jasa dan keunggulan yang pernah mereka capai;
sebab peringatan bangsa itu sering dilupakan dan pertukaran malam dan siang itu
sendiri sebenarnya yang membawa lupa?
Untuk menjawab persoalan ini, perlu dijelaskan, bahwa Islam samasekali
tidak suka berlebih-lebihan dalam menghargai seseorang, betapapun tingginya
kedudukan orang tersebut, baik mereka yang masih hidup ataupun yang sudah mati.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
“Jangan kamu menghormat aku seperti orang-orang Nasrani menghormati Isa bin Maryam, tetapi katakanlah, bahwa Muhammad itu hamba Allah dan RasulNya.” (Riwayat Bukhari dan lain-lain)
Mereka bermaksud akan berdiri apabila melihat Nabi, sebagai suatu
penghormatan kepadanya dan untuk mengagungkan kedudukannya.
Cara semacam itu dilarang oleh Nabi dengan sabdanya:
“Jangan kamu berdiri seperti orang-orang ajam (selain Arab) yang berdiri untuk menghormat satu sama lain.” (Riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah)
Beliau pun memberikan suatu peringatan kepada umatnya, sikap yang
berlebih-lebihan terhadap kedudukan Nabi sesudah beliau mati, maka bersabdalah
Nabi sebagai berikut:
“Jangan kamu menjadikan kuburku ini sebagai tempat hariraya.” (Riwayat Abu Daud)
Dan dalam doanya kepada Tuhannya beliau mengatakan:
“Ya Allah! Jangan engkau jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah.” (Riwayat Malik)
Ada beberapa orang datang kepada Nabi s.a.w., mereka itu memanggil Nabi
dengan kata-katanya:
“Hai orang baik kami dan anak orang baik kami, hai tuan kami dan anak tuan kami.”
Mendengar panggilan seperti itu, Nabi kemudian menegurnya dengan sabdanya
sebagai berikut:
“Hai manusia! Ucapkanlah seperti ucapanmu biasa atau hampir seperti ucapanmu yang biasa itu, jangan kamu dapat diperdayakan oleh syaitan. Saya adalah Muhammad, hamba Allah dan pesuruhNya. Saya tidak suka kamu mengangkat aku lebih dari kedudukanku yang telah Allah tempatkan aku.” (Riwayat Nasa’i)
Agama ini (baca Islam) pendiriannya dalam masalah menghormat orang, tidak
suka seseorang itu diangkat-angkat seperti berhala yang didirikan dengan biaya
beribu-ribu supaya orang-orang memberikan penghormatan kepadanya.
Banyak sekali material yang dimasukkan oleh penganjur-penganjur kebesaran
dan jurukunci tempat-tempat bersejarah melalui pintu orang-orang atau pengikut
dan ekornya yang telah mampu mendirikan berhala ini. Dengan begitu, maka pada
hakikatnya mereka ini telah menyesatkan rakyat dengan menggunakan orang-orang
besar yang jujur itu.
Keabadian hakiki yang dikenal di kalangan umat Islam hanyalah Allah yang
mengetahui segala yang rahasia dan tersembunyi, yang tidak sesat dan tidak
lupa. Sedang kebanyakan para pembesar yang namanya diabadikan di sisi Allah
adalah orang-orang yang tidak begitu dikenal oleh manusia. Hal ini justru
karena Allah suka kepada orang-orang yang baik, taqwa dan tidak perlu
menampak-nampakkan kepada orang lain. Mereka ini apabila datang tidak dikenal,
dan apabila pergi tidak dicari.
Sekalipun keabadian itu sangat perlu bagi manusia, tetapi tidak mesti
dengan didirikannya patung untuk orang-orang besar yang perlu diabadikan itu.
Cara untuk mengabadikan yang dibenarkan oleh Islam ialah mengabadikan mereka
itu ke dalam hati dan lisan, yaitu dengan menyebut kesuksesan perjuangan mereka
dan peninggalan-peninggalan yang baik-baik yang ditinggalkan untuk generasi
sesudah mereka. Dengan demikian mereka itu akan selalu menjadi sebutan
orang-orang belakangan.
Rasulullah s.a.w. sendiri dan begitu juga para khalifah dan pemuka-pemuka
Islam lainnya, tidak ada yang diabadikan dengan berbentuk materi dan
patung-patung yang terbuat dari batu yang dipahat.
Keabadian mereka itu semata-mata adalah karena sifat-sifat baiknya
(manaqibnya) yang diceriterakan oleh orang-orang dulu (salaf) kepada
orang-orang belakangan (khalaf) dan yang diceriterakan oleh orang-orang tua
kepada anak-anaknya. Sifat beliau itu tertanam dalam hati, selalu disebut dalam
lisan, selalu mengumandang di majlis dan klub-klub serta memenuhi hati,
walaupun tanpa diwujudkan dengan patung dan gambar.
2.3.6 Rukhsah Dalam Permainan Anak-Anak
Kalau macam daripada patung itu tidak dimaksudkan untuk diagung-agungkan
dan tidak berlebih-lebihan serta tidak ada suatu unsur larangan di atas, maka
dalam hal ini Islam tidak akan bersempit dada dan tidak menganggap hal tersebut
suatu dosa. Misalnya permainan anak-anak berupa pengantin-pengantinan,
kucing-kucingan, dan binatang-binatang lainnya. Patung-patung ini semua hanya
sekedar pelukisan untuk permainan dan menghibur anak-anak.
Oleh karena itu kata Aisyah:
“Aku biasa bermain-main dengan anak-anakan perempuan (boneka perempuan) di sisi Rasulullah s.a.w. dan kawan-kawanku datang kepadaku, kemudian mereka menyembunyikan boneka-boneka tersebut karena takut kepada Rasulullah s.a.w., tetapi Rasulullah s.a.w. malah senang dengan kedatangan kawan-kawanku itu, kemudian mereka bermain-main bersama aku.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan dalam salah satu riwayat diterangkan:
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pada suatu hari bertanya kepada Aisyah: Apa ini? Jawab Aisyah: Ini anak-anak perempuanku (boneka perempuanku); kemudian Rasulullah bertanya lagi: Apa yang di tengahnya itu? Jawab Aisyah: Kuda. Rasulullah bertanya lagi: Apa yang di atasnya itu? Jawab Aisyah: Itu dua sayapnya. Kata Rasulullah: Apa ada kuda yang bersayap? Jawab Aisyah: Belumkah engkau mendengar, bahwa Sulaiman bin Daud a.s. mempunyai kuda yang mempunyai beberapa sayap? Kemudian Rasulullah tertawa sehingga nampak gigi gerahamnya.” (Riwayat Abu Daud)
Yang dimaksud anak-anak perempuan di sini ialah boneka pengantin yang biasa
dipakai permainan oleh anak-anak kecil. Sedang Aisyah waktu itu masih sangat
muda.
Imam Syaukani mengatakan: hadis ini menunjukkan, bahwa anak-anak kecil
boleh bermain-main dengan boneka (patung). Tetapi Imam Malik melarang laki-laki
yang akan membelikan boneka untuk anak perempuannya. Dan Qadhi Iyadh
berpendapat bahwa anak-anak perempuan bermain-main dengan boneka perempuan itu
suatu rukhsah (keringanan).
Termasuk sama dengan permainan anak-anak, yaitu patung-patungan yang terbuat
dari kue-kue dan dijual pada hari besar (hari raya) dan sebagainya kemudian
tidak lama kue-kue tersebut dimakannya.
2.3.7 Patung yang Tidak Sempurna dan Cacat
Di dalam hadis disebutkan, bahwa Jibril a.s. tidak mau masuk rumah
Rasulullah s.a.w. karena di pintu rumahnya ada sebuah patung. Hari berikutnya
pun tidak mau masuk, sehingga ia mengatakan kepada Nabi Muhammad:
“Perintahkanlah supaya memotong kepala patung itu. Maka dipotonglah dia sehingga menjadi seperti keadaan pohon.” (Riwayat Abu Daud, Nasai, Tarmizi dan Ibnu Hibban)
Dari hadis ini segolongan ulama ada yang berpendapat diharamkannya gambar
itu apabila dalam keadaan sempurna, tetapi kalau salah satu anggotanya itu
tidak ada yang kiranya tanpa anggota tersebut tidak mungkin dapat hidup, maka
membuat patung seperti itu hukumnya mubah,
Tetapi menurut tinjauan yang benar berdasar permintaan Jibril untuk
memotong kepala patung sehingga menjadi seperti keadaan pohon, bahwa yang
mu’tabar (diakui) di sini bukan karena tidak berpengaruhnya sesuatu anggota
yang kurang itu terhadap hidupnya patung tersebut, atau patung itu pasti akan
mati jika tanpa anggota tersebut. Namun yang jelas, patung tersebut harus
dicacat supaya tidak terjadi suatu kemungkinan untuk diagungkannya setelah
anggotanya tidak ada.
Cuma suatu hal yang tidak diragukan lagi, jika direnungkan dan kita insafi,
bahwa patung separuh badan yang dibangun di kota guna mengabadikan para raja
dan orang-orang besar, haramnya lebih tegas daripada patung kecil satu badan
penuh yang hanya sekedar untuk hiasan rumah.
2.3.8 Lukisan dan Ukiran
Demikianlah pendirian Islam terhadap gambar yang bertubuh, yakni yang
sekarang dikenal dengan patung atau monumen. Tetapi bagaimanakah hukumnya
gambar-gambar dan lukisan-lukisan seni yang dilukis di lembaran-lembaran,
seperti kertas, pakaian, dinding, lantai, uang dan sebagainya itu?
Jawabnya: Bahwa hukumnya tidak jelas, kecuali kita harus melihat gambar itu
sendiri untuk tujuan apa? Di mana dia itu diletakkan? Bagaimana diperbuatnya?
Dan apa tujuan pelukisnya itu?
Kalau lukisan seni itu berbentuk sesuatu yang disembah selain Allah,
seperti gambar al-Masih bagi orang-orang Kristen atau sapi bagi orang-orang
Hindu dan sebagainya, maka bagi si pelukisnya untuk tujuan-tujuan di atas,
tidak lain dia adalah menyiarkan kekufuran dan kesesatan. Dalam hal ini
berlakulah baginya ancaman Nabi yang begitu keras:
“Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya nanti di hari kiamat ialah orang-orang yang menggambar.” (Riwayat Muslim)
Imam Thabari berkata:
“Yang dimaksud dalam hadis ini, yaitu orang-orang yang menggambar sesuatu yang disembah selain Allah, sedangkan dia mengetahui dan sengaja. Orang yang berbuat demikian adalah kufur. Tetapi kalau tidak ada maksud seperti di atas, maka dia tergolong orang yang berdosa sebab menggambar saja.”
Yang seperti ini ialah orang yang menggantungkan gambar-gambar tersebut
untuk dikuduskan. Perbuatan seperti ini tidak pantas dilakukan oleh seorang
muslim, kecuali kalau agama Islam itu dibuang di belakang punggungnya.
Dan yang lebih mendekati persoalan ini ialah orang yang melukis sesuatu
yang tidak biasa disembah, tetapi dengan maksud untuk menandingi ciptaan Allah.
Yakni dia beranggapan, bahwa dia dapat membuat dan menciptakan jenis terbaru
seperti ciptaan Allah. Orang yang melukis dengan tujuan seperti itu jelas telah
keluar dari agama Tauhid. Terhadap orang ini berlakulah hadis Nabi yang
mengatakan:
“Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya ialah orang-orang yang menandingi ciptaan Allah.” (Riwayat Muslim)
Persoalan ini tergantung pada niat si pelukisnya itu sendiri.
Barangkali hadis ini dapat diperkuat dengan hadis yang mengatakan:
“Siapakah orang yang lebih berbuat zalim selain orang yang bekerja membuat seperti pembuatanku? Oleh karena itu cobalah mereka membuat biji atau zarrah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Allah mengungkapkan firmanNya di sini dengan kata-kata “dzahaba yakhluqu
kakhalqi” (dia bekerja untuk membuat seperti pembuatanku), ini menunjukkan
adanya suatu kesengajaan untuk menandingi dan menentang kekhususan Allah dalam
ciptaannya dan keindahannya. Oleh karena itu Allah menentang mereka supaya
membuat sebutir zarrah. Ia memberikan isyarat, bahwa mereka itu benar-benar
bersengaja untuk maksud tersebut. Justru itu Allah akan membalas mereka itu
nanti dan mengatakan kepada mereka: “Hidupkan apa yang kamu cipta itu!” Mereka
dipaksa untuk meniupkan roh ke dalam lukisannya itu, padahal dia tidak akan
mampu.
Termasuk gambar/lukisan yang diharamkan, yaitu gambar/lukisan yang
dikuduskan (disucikan) oleh pemiliknya secara keagamaan atau diagung-agungkan
secara keduniaan.
Untuk yang pertama: Seperti gambar-gambar Malaikat dan para Nabi, misalnya
Nabi Ibrahim, Ishak, Musa dan sebagainya. Gambar-gambar ini biasa dikuduskan
oleh orang-orang Nasrani, dan kemudian sementara orang-orang Islam ada yang
menirunya, yaitu dengan melukiskan Ali, Fatimah dan lain-lain.
Sedang untuk yang kedua: Seperti gambar raja-raja, pemimpin-pemimpin dan
seniman-seniman. Ini dosanya tidak seberapa kalau dibandingkan dengan yang
pertama tadi. Tetapi akan meningkat dosanya, apabila yang dilukis itu
orang-orang kafir, orang-orang yang zalim atau orang-orang yang fasik. Misalnya
para hakim yang menghukum dengan selain hukum Allah, para pemimpin yang
mengajak umat untuk berpegang kepada selain agama Allah atau seniman-seniman
yang mengagung-agungkan kebatilan dan menyiarnyiarkan kecabulan di kalangan
umat.
Kebanyakan gambar-gambar/lukisan-lukisan di zaman Nabi dan sesudahnya,
adalah lukisan-lukisan yang disucikan dan diagung-agungkan. Sebab pada umumnya
lukisan-lukisan itu adalah buatan Rum dan Parsi (Nasrani dan Majusi). Oleh
karena itu tidak dapat melepaskan pengaruhnya terhadap pengkultusan kepada
pemimpin-pemimpin agama dan negara.
Imam Muslim meriwayatkan, bahwa Abu Dhuha pernah berkata sebagai berikut:
Saya dan Masruq berada di sebuah rumah yang di situ ada beberapa patung.
Kemudian Masruq berkata kepadaku: Apakah ini patung Kaisar? Saya jawab: Tidak!
Ini adalah patung Maryam.
Masruq bertanya demikian, karena menurut anggapannya, bahwa lukisan itu
buatan Majusi dimana mereka biasa melukis raja-raja mereka di bejana-bejana.
Tetapi akhirnya ketahuan, bahwa patung tersebut adalah buatan orang Nasrani.
Dalam kisah ini Masruq kemudian berkata: Saya pernah mendengar Ibnu Mas’ud
menceriterakan apa yang ia dengar dari Nabi s.a.w., bahwa beliau bersabda:
“Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya di sisi Allah, ialah para pelukis.”
Selain gambar-gambar di atas, yaitu misalnya dia menggambar/melukis
makhluk-makhluk yang tidak bernyawa seperti tumbuh-tumbuhan, pohon-pohonan,
laut, gunung, matahari, bulan, bintang dan sebagainya. Maka hal ini sedikitpun
tidak berdosa dan tidak ada pertentangan samasekali di kalangan para ulama.
Tetapi gambar-gambar yang bernyawa kalau tidak ada unsur-unsur larangan
seperti tersebut di atas, yaitu bukan untuk disucikan dan diagung-agungkan dan
bukan pula untuk maksud menyaingi ciptaan Allah, maka menurut hemat saya tidak
haram. Dasar daripada pendapat ini adalah hadis sahih, antara lain:
“Dari Bisir bin Said dari Zaid bin Khalid dari Abu Talhah sahabat Nabi, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada gambar.” (Riwayat Muslim)
Bisir berkata: Sesudah itu Zaid mengadukan. Kemudian kami jenguk dia,
tiba-tiba di pintu rumah Zaid ada gambarnya. Lantas aku bertanya kepada
Ubaidillah al-Khaulani anak tiri Maimunah isteri Nabi: Apakah Zaid belum pernah
memberitahumu tentang gambar pada hari pertama? Kemudian Ubaidillah berkata:
Apakah kamu tidak pernah mendengar dia ketika ia berkata: “Kecuali gambar di
pakaian.”
Tarmizi meriwayatkan dengan sanadnya dari Utbah, bahwa dia pernah masuk di
rumah Abu Talhah al-Ansari untuk menjenguknya, tiba-tiba di situ ada Sahal bin
Hanif. Kemudian Abu Talhah menyuruh orang supaya mencabut seprei yang di
bawahnya (karena ada gambarnya). Sahal lantas bertanya kepada Abu Talhah:
Mengapa kau cabut dia? Abu Talhah menjawab: Karena ada gambarnya, dimana hal
tersebut telah dikatakan oleh Nabi yang barangkali engkau telah mengetahuinya.
Sahal kemudian bertanya lagi: Apakah beliau (Nabi) tidak pernah berkata:
“Kecuali gambar yang ada di pakaian?” Abu Talhah kemudian menjawab: Betul!
Tetapi itu lebih menyenangkan hatiku.” (Kata Tarmizi: hadis ini hasan sahih)
Tidakkah dua hadis di atas sudah cukup untuk menunjukkan, bahwa gambar yang
dilarang itu ialah yang berjasad atau yang biasa kita istilahkan dengan patung?
Adapun gambar-gambar ataupun lukisan-lukisan di papan, pakaian, lantai, tembok
dan sebagainya tidak ada satupun nas sahih yang melarangnya.
Betul di situ ada beberapa hadis sahih yang menerangkan bahwa Nabi
menampakkan ketidak-sukaannya, tetapi itu sekedar makruh saja. Karena di situ
ada unsur-unsur menyerupai orang-orang yang bermewah-mewah dan penggemar
barang-barang rendahan.
Imam Muslim meriwayatkan dari jalan Zaid bin Khalid al-Juhani dari Abu
Talhah al-Ansari, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan patung. Saya (Zaid) kemudian bertanya kepada Aisyah: Sesungguhnya ini (Abu Talhah) memberitahuku, bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda. Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan patung. Apakah engkau juga demikian? Maka kata Aisyah: Tidak! Tetapi saya akan menceriterakan kepadamu apa yang pernah saya lihat Nabi kerjakan, yaitu: Saya lihat Nabi keluar dalam salah satu peperangan, kemudian saya membuat seprei korden (yang ada gambarnya) untuk saya pakai menutup pintu. Setelah Nabi datang, ia melihat korden tersebut. Saya lihat tanda marah pada wajahnya, lantas dicabutnya korden tersebut sehingga disobek atau dipotong sambil ia berkata: Sesungguhnya Allahi tidak menyuruh kita untuk memberi pakaian kepada batu dan tanah. Kata Aisyah selanjutnya: Kemudian kain itu saya potong daripadanya untuk dua bantal dan saya penuhi dengan kulit buah-buahan, tetapi Rasulullah sama sekali tidak mencela saya terhadap yang demikian itu.” (Riwayat Muslim)
Hadis tersebut tidak lebih hanya menunjukkan makruh tanzih karena
memberikan pakaian kepada dinding dengan korden yang bergambar.
Imam Nawawi berkata: hadis tersebut tidak menunjukkan haram, karena hakikat
perkataan sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita itu tidak dapat dipakai untuk
menunjukkan wajib, sunnat atau haram.
Yang semakna dengan ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dari jalan Aisyah
pula, ia berkata:
“Saya mempunyai tabir padanya ada gambar burung, sedang setiap orang yang masuk akan menghadapnya (akan melihatnya), kemudian Nabi berkata kepadaku: Pindahkanlah ini, karena setiap saya masuk dan melihatnya maka saya ingat dunia.”(Riwayat Muslim)
Dalam hadis ini Rasulullah s.a.w. tidak menyuruh Aisyah supaya memotongnya,
tetapi beliau hanya menyuruh memindahkan ke tempat lain. Ini menunjukkan
ketidaksukaan Nabi melihat, bahwa di hadapannya ada gambar tersebut yang dapat
mengingatkan kebiasaan dunia dengan seluruh aneka keindahannya itu; lebih-lebih
beliau selalu sembahyang sunnat di rumah. Sebab seprai-seprai dan korden-korden
yang bergambar sering memalingkan hati daripada kekhusyu’an dan pemusatan
menghadap untuk bermunajat kepada Allah. Ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dari jalan Anas, ia mengatakan: Bahwa korden Aisyah dipakai untuk
menutupi samping rumahnya, kemudian Nabi menyuruh dia dengan sabdanya:
“Singkirkanlah korden itu dariku, karena gambar-gambarnya selalu tampak dalam sembahyangku.” (Riwayat Bukhari)
Dengan demikian jelas, bahwa Nabi sendiri membenarkan di rumahnya ada
tabir/korden yang bergambar burung dan sebagainya.
Dari hadis-hadis itu pula, sementara ulama salaf berpendapat:
“Bahwa gambar yang dilarang itu hanyalah yang ada bayangannya, adapun yang tidak ada bayangannya tidak menqapa.”
Pendapat ini diperkuat oleh hadis Qudsi yang mengatakan:
“Siapakah yang terlebih menganiaya selain orang yang bekerja untuk membuat seperti ciptaanKu? Oleh karena itu cobalah mereka membuat zarrah, cobalah mereka membuat beras belanda!” (Riwayat Bukhari).
Ciptaan Allah sebagaimana kita lihat, bukan terlukis di atas dataran tetapi
berbentuk dan berjisim, sebagaimana Dia katakan:
“Dialah Zat yang membentuk kamu di dalam rahim bagaimanapun Ia suka.” (ali-Imran: 6)
Tidak ada yang menentang pendapat ini selain hadis yang diriwayatkan
Aisyah, dalam salah satu riwayat Bukhari dan Muslim, yang berbunyi sebagai
berikut:
“Sesungguhnya Aisyah membeli bantal yang ada gambar-gambarnya, maka setelah Nabi melihatnya ia berdiri di depan pintu, tidak mau masuk. Setelah Aisyah melihat ada tanda kemarahan di wajah Nabi, maka Aisyah bertanya: Apakah saya harus bertobat kepada Allah dan RasulNya, apa salah saya? Jawab Nabi: Mengapa bantal itu begitu macam? Jawab Aisyah: Saya beli bantal ini untuk engkau pakai duduk dan dipakai bantal. Maka jawab Rasulullah pula: Yang membuat gambar-gambar ini nanti akan disiksa, dan akan dikatakan kepada mereka: Hidupkanlah apa yang kamu buat itu. Lantas Nabi melanjutkan pembicaraannya: Sesungguhnya rumah yang ada gambarnya tidak akan dimasuki Malaikat. Dan Imam Muslim menambah dalam salah satu riwayat Aisyah, ia (Aisyah) mengatakan: Kemudian bantal itu saya jadikan dua buah untuk bersandar, dimana Nabi biasa bersandar dengan dua sandaran tersebut di rumah. Yakni Aisyah membelah bantal tersebut digunakan untuk dua sandaran.” (Riwayat Muslim)
Akan tetapi hadis ini, nampaknya, bertentangan dengan sejumlah hal-hal
sebagai berikut:
1) Dalam riwayat yang berbeda-beda nampak bertentangan. Sebagian
menunjukkan bahwa Nabi s.a.w. menggunakan tabir/korden yang bergambar yang
kemudian dipotong-potong dan dipakai bantal. Sedang sebagian lagi menunjukkan,
bahwa beliau samasekali tidak menggunakannya.
2) Sebagian riwayat-riwayat itu hanya sekedar menunjukkan makruh. Sedang
kemakruhannya itu karena korden tembok itu bergambar yang dapat menggambarkan
semacam berlebih-lebihan yang ia (Rasulullah) tidak senang. Oleh karena itu
dalam Riwayat Muslim, ia berkata:
”Sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita supaya memberi pakaian pada batu dan tanah.”
3) Hadis Muslim yang diriwayatkan oleh Aisyah itu sendiri menggambarkan di
rumahnya ada tabir/korden yang bergambar burung. Kemudian Nabi menyuruh
dipindahkan, dengan kata-katanya:
“Pindahkanlah, karena saya kalau melihatnya selalu ingat dunia!” Ini tidak menunjukkan kepada haram secara mutlak.
4) Bertentangan dengar: hadis qiram (tabir) yang ada di rumah Aisyah juga, kemudian
oleh Nabi disuruhnya menyingkirkan, sebab gambar-gambarnya itu selalu tampak
dalam shalat. Sehingga kata al-Hafidh: “Hadis ini dengan hadis di atas sukar
sekali dikompromikan (jama’), sebab hadis ini menunjukkan Nabi membenarkannya,
dan beliau shalat sedang tabir tersebut tetap terpampang, sehingga beliau
perintahkan Aisyah untuk menyingkirkannya, karena melihat gambar-gambar
tersebut dalam shalat dan dapat mengingatkan yang bukan-bukan, bukan
semata-mata karena gambarnya itu an sich.
Akhirnya al-Hafidh berusaha untuk menjama’ hadis-hadis tersebut sebagai
berikut: hadis pertama, karena terdapat gambar binatang bernyawa sedang hadis
kedua gambar selain binatang … Akan tetapi inipun bertentangan pula dengan
hadis qiram yang jelas di situ bergambar burung.
5) Bertentangan dengan hadis Abu Talhah al-Ansari yang mengecualikan gambar
dalam pakaian. Karena itu Imam Qurthubi berpendapat: “Dua hadis itu dapat
dijama’ sebagai berikut: hadis Aisyah dapat diartikan makruh, sedang hadis Abu
Talhah menunjukkan mubah secara mutlak yang sama sekali tidak menafikan makruh
di atas.” Pendapat ini dibenarkan oleh al-Hafidh Ibnu Hajar.
6) Rawi hadis namruqah (bantal) ada seorang bernama al-Qasim bin Muhammad
bin Abubakar, keponakan Aisyah sendiri, ia membolehkan gambar yang tidak ada
bayangannya, yaitu seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Aun, ia berkata: “Saya
masuk di rumah al-Qasim di Makkah sebelah atas, saya lihat di rumahnya itu ada
korden yang ada gambar trenggiling dan burung garuda. “
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata; Barangkali al-Qasim berpegang pada keumuman
hadis Nabi yang mengatakan kecuali gambar dalam pakaian dan seolah-olah dia
memahami keingkaran Nabi terhadap Aisyah yang menggantungkan korden yang
bergambar dan menutupi dinding. Faham ini diperkuat dengan hadisnya yang
mengatakan: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita supaya memberi pakaian batu
dan tanah.” Sedang al-Qasim adalah salah seorang ahli fiqih Madinah yang tujuh,
dia juga termasuk orang pilihan pada zaman itu, dia pula rawi hadis namruqah
itu. Maka jika dia tidak memaham rukhsakh terhadap korden yang dia pasang itu,
niscaya dia tidak akan menggunakannya.
Tetapi di samping itu tampaknya ada kemungkinan yang tampak pada
hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah gambar dan pelukisnya, yaitu bahwa
Rasulullah s.a.w. memperkeras persoalan ini pada periode pertama dari
kerasulannya, dimana waktu itu kaum muslimin baru saja meninggalkan syirik dan
menyembah berhala serta mengagung-agungkan patung. Tetapi setelah aqidah tauhid
itu mendalam kedalam jiwa dan akar-akarnya telah menghunjam kedalam hati dan
pikiran, maka beliau memberi perkenan (rukhshah) dalam hal gambar yang tidak
berjasad, yang hanya sekedar ukiran dan lukisan. Kalau tidak begitu, niscaya
beliau tidak suka adanya tabir/korden yang bergambar di dalam rumahnya; dan ia
pun tidak akan memberikan perkecualian tentang lukisan dalam pakaian, termasuk
juga dalam kertas dan dinding.
Ath-Thahawi, salah seorang dari ulama madzhab Hanafi berpendapat: Syara’
melarang semua gambar pada permulaan waktu, termasuk lukisan pada pakaian,
karena mereka baru saja meninggalkan menyembah patung. Oleh karena itu secara
keseluruhan gambar dilarang. Tetapi setelah larangan itu berlangsung lama,
kemudian dibolehkan gambar yang ada pada pakaian karena suatu darurat. Syara’
pun kemudian membolehkan gambar yang tidak berjasad karena sudah dianggap
orang-orang bodoh tidak lagi mengagungkannya, sedang yang berjasad tetap
dilarang
2.3.9 Gambar yang Terhina adalah Halal
Setiap perubahan dalam masalah gambar yang tidak mungkin diagung-agungkan
sampai kepada yang paling hina, dapat pindah dari lingkungan makruh kepada
lingkungan halal. Dalam hal ini ada sebuah hadis yang menerangkan, bahwa Jibril
a.s. pernah minta izin kepada Nabi untuk masuk rumahnya, kemudian kata Nabi
kepada Jibril:
“Masuklah! Tetapi Jibril menjawab: Bagaimana saya masuk, sedang di dalam rumahmu itu ada korden yang penuh gambar! Tetapi kalau kamu tetap akan memakainya, maka putuskanlah kepalanya atau potonglah untuk dibuat bantal atau buatlah tikar.” (Riwayat Nasa’i Ban Ibnu Hibban)
Oleh karena itulah ketika Aisyah melihat ada tanda kemarahan dalam wajah
Nabi karena ada korden yang banyak gambarnya itu, maka korden tersebut dipotong
dan dipakai dua sandaran, karena gambar tersebut sudah terhina dan jauh
daripada menyamai gambar-gambar yang diagung-agungkan.
Beberapa ulama salaf pun ada yang memakai gambar yang terhina itu, dan
mereka menganggap bukan suatu dosa. Misalnya Urwah, dia bersandar pada sandaran
yang ada gambarnya, di antaranya gambar burung dan orang lakilaki. Kemudian
Ikrimah berkata: Mereka itu memakruhkan gambar yang didirikan (patung) sedang
yang diinjak kaki, misalnya di lantai, bantal dan sebagainya, mereka menganggap
tidak apa-apa.
2.3.10 Photografi
Satu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa semua persoalan gambar dan
menggambar, yang dimaksud ialah gambar-gambar yang dipahat atau dilukis,
seperti yang telah kami sebutkan di alas.
Adapun masalah gambar yang diambil dengan menggunakan sinar matahari atau
yang kini dikenal dengan nama fotografi, maka ini adalah masalah baru yang
belum pernah terjadi di zaman Rasulullah s.a.w. dan ulama-ulama salaf. Oleh
karena itu apakah hal ini dapat dipersamakan dangan hadis-hadis yang
membicarakan masalah melukis dan pelukisnya seperti tersebut di atas?
Orang-orang yang berpendirian, bahwa haramnya gambar itu terbatas pada yang
berjasad (patung), maka foto bagi mereka bukan apa-apa, lebih-lebih kalau tidak
sebadan penuh. Tetapi bagi orang yang berpendapat lain, apakah foto semacam ini
dapat dikiaskan dengan gambar yang dilukis dengan menggunakan kuasa? Atau
apakah barangkali illat (alasan) yang telah ditegaskan dalam hadis masalah
pelukis, yaitu diharamkannya melukis lantaran menandingi ciptaan Allah –tidak
dapat diterapkan pada fotografi ini? Sedang menurut ahli-ahli usul-fiqih kalau
illatnya itu tidak ada, yang dihukum pun (ma’lulnya) tidak ada.
Jelasnya persoalan ini adalah seperti apa yang pernah difatwakan oleh Syekh
Muhammad Bakhit, Mufti Mesir: “Bahwa fotografi itu adalah merupakan penahanan
bayangan dengan suatu alat yang telah dikenal oleh ahli-ahli teknik (tustel).
Cara semacam ini sedikitpun tidak ada larangannya.
Karena larangan menggambar, yaitu mengadakan gambar yang semula tidak ada
dan belum dibuat sebelumnya yang bisa menandingi (makhluk) ciptaan Allah.
Sedang pengertian semacam ini tidak terdapat pada gambar yang diambil dengan
alat (tustel).”
Sekalipun ada sementara orang yang ketat sekali dalam persoalan gambar
dengan segala macam bentuknya, dan menganggap makruh sampai pun terhadap
fotografi, tetapi satu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa mereka pun akan
memberikan rukhshah terhadap hal-hal yang bersifat darurat karena sangat
dibutuhkannya, atau karena suatu maslahat yang mengharuskan, misalnya kartu
pendliduk, paspor, foto-foto yang dipakai alat penerangan yang di situ sedikitpun
tidak ada tanda-tanda pengagungan. atau hal yang bersifat merusak aqidah. Foto
dalam persoalan ini lebih dibutuhkan daripada melukis dalam pakaian-pakaian
yang oleh Rasulullah sendiri sudah dikecualikannya.
2.3.11 Subjek Gambar
Yang sudah pasti, bahwa subjek gambar mempunyai pengaruh soal haram dan
halalnya. Misalnya gambar yang subjeknya itu menyalahi aqidah dan syariat serta
tata kesopanan agama, semua orang Islam mengharamkannya.
Oleh karena itu gambar-gambar perempuan telanjang, setengah telanjang,
ditampakkannya bagian-bagian anggota khas wanita dan tempat-tempat yang membawa
fitnah, dan digambar dalam tempat-tempat yang cukup membangkitkan syahwat dan
menggairahkan kehidupan duniawi sebagaimana yang kita lihat di majalah-majalah,
surat-surat khabar dan bioskop, semuanya itu tidak diragukan lagi tentang
haramnya baik yang menggambar, yang menyiarkan ataupun yang memasangnya di
rumah-rumah, kantor-kantor, toko-toko dan digantung di dinding-dinding.
Termasuk juga haramnya kesengajaan untuk memperhatikan gambar-gambar tersebut.
Termasuk yang sama dengan ini ialah gambar-gambar orang kafir, orang zalim
dan orang-orang fasik yang oleh orang Islam harus diberantas dan dibenci dengan
semata-mata mencari keridhaan Allah. Setiap muslim tidak halal melukis atau
menggambar pemimpin-pemimpin yang anti Tuhan, atau pemimpin yang menyekutukan
Allah dengan sapi, api atau lainnya, misalnya orang-orang Yahudi, Nasrani yang
ingkar akan kenabian Muhammad, atau pemimpin yang beragama Islam tetapi tidak
mau berhukum dengan hukum Allah; atau orang-orang yang gemar menyiarkan
kecabulan dan kerusakan dalam masyarakat seperti bintang-bintang film dan
biduan-biduan.
Termasuk haram juga ialah gambar-gambar yang dapat dinilai sebagai
menyekutukan Allah atau lambang-lambang sementara agama yang samasekali tidak
diterima oleh Islam, gambar berhala, salib dan sebagainya.
Barangkali seperai dan bantal-bantal di zaman Nabi banyak yang memuat
gambar-gambar semacam ini. Oleh karena itu dalam riwayat Bukhari diterangkan;
bahwa Nabi tidak membiarkan salib di rumahnya, kecuali dipatahkan.
Ibnu Abbas meriwayatkan:
“Sesungguhnya Rasulullah s.a. w. pada waktu tahun penaklukan Makkah melihat palung-patung di dalam Baitullah, maka ia tidak mau masuk sehingga ia menyuruh, kemudian dihancurkan.” (Riwayat Bukhari).
Tidak diragukan lagi, bahwa patung-patung yang dimaksud adalah patung yang
dapat dinilai sebagai berhala orang-orang musyrik Makkah dan lambang kesesatan
mereka di zaman-zaman dahulu.
Ali bin Abu Talib juga berkata:
“Rasulullah s.a.w. dalam (melawat) suatu jenazah ia bersabda: Siapakah di kalangan kamu yang akan pergi ke Madinah, maka jangan biarkan di sana satupun berhala kecuali harus kamu hancurkan, dan jangan ada satupun kubur (yang bercungkup) melainkan harus kamu ratakan dia, dan jangan ada satupun gambar kecuali harus kamu hapus dia? Kemudian ada seorang laki-laki berkata: Saya! Ya, Rasulullah! Lantas ia memanggil penduduk Madinah, dan pergilah si laki-laki tersebut. Kemudian ia kembali dan berkata: Saya tidak akan membiarkan satupun berhala kecuali saya hancurkan dia, dan tidak akan ada satupun kuburan (yang bercungkup) kecuali saya ratakan dia dan tidak ada satupun gambar kecuali saya hapus dia. Kemudian Rasulullah bersabda: Barangsiapa kembali kepada salah satu dari yang tersebut maka sungguh ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w.” (Riwayat Ahmad; dan berkata Munziri: Isya Allah sanadnya baik)
Barangkali tidak lain gambar-gambar/patung-patung yang diperintahkan
Rasulullah s.a.w. untuk dihancurkan itu, melainkan karena patung-patung
tersebut adalah lambang kemusyrikan jahiliah yang oleh Rasulullah sangat
dihajatkan kota Madinah supaya bersih dari pengaruh-pengaruhnya. Justru itulah,
kembali kepada hal-hal di atas berarti dinyatakan kufur terhadap ajaran yang
dibawa oleh Nabi Muhammad.
2.3.12 Kesimpulan Hukum Gambar dan Yang
Menggambar
Dapat kami simpulkan hukum masalah gambar dan yang menggambar sebagai
berikut:
Macam-macam gambar yang sangat diharamkan ialah gambar-gambar yang disembah
selain Allah, seperti Isa al-Masih dalam agama Kristen. Gambar seperti ini
dapat membawa pelukisnya menjadi kufur, kalau dia lakukan hal itu dengan
pengetahuan dan kesengajaan.
Begitu juga pemahat-pemahat patung, dosanya akan sangat besar apabila dimaksudkan untuk diagung-agungkan dengan cara apapun. Termasuk juga terlibat dalam dosa, orang-orang yang bersekutu dalam hal tersebut.
Begitu juga pemahat-pemahat patung, dosanya akan sangat besar apabila dimaksudkan untuk diagung-agungkan dengan cara apapun. Termasuk juga terlibat dalam dosa, orang-orang yang bersekutu dalam hal tersebut.
Termasuk dosa juga, orang-orang yang melukis sesuatu yang tidak disembah,
tetapi bertujuan untuk menandingi ciptaan Allah. Yakni dia beranggapan, bahwa
dia dapat mencipta jenis baru dan membuat seperti pembuatan Allah. Kalau begitu
keadaannya dia bisa menjadi kufur. Dan ini tergantung kepada niat si pelukisnya
itu sendiri.
Di bawah lagi patung-patung yang tidak disembah, tetapi termasuk yang
diagung-agungkan, seperti patung raja-raja, kepala negara, para pemimpin dan
sebagainya yang dianggap keabadian mereka itu dengan didirikan monumen-monumen
yang dibangun di lapangan-lapangan dan sebagainya. Dosanya sama saja, baik
patung itu satu badan penuh atau setengah badan.
Di bawahnya lagi ialah patung-patung binatang dengan tidak ada maksud untuk
disucikan atau diagung-agungkan, dikecualikan patung mainan anak-anak dan yang
tersebut dari bahan makanan seperti manisan dan sebagainya.
Selanjutnya ialah gambar-gambar di pagan yang oleh pelukisnya atau
pemiliknya sengaja diagung-agungkan seperti gambar para penguasa dan pemimpin,
lebih-lebih kalau gambar-gambar itu dipancangkan dan digantung. Lebih kuat lagi
haramnya apabila yang digambar itu orang-orang zalim, ahli-ahli fasik dan
golongan anti Tuhan. Mengagungkan mereka ini berarti telah meruntuhkan Islam.
Di bawah itu ialah gambar binatang-binatang dengan tidak ada maksud
diagung-agungkan, tetapi dianggap suatu manifestasi pemborosan. Misalnya gambar
gambar di dinding dan sebagainya. Ini hanya masuk yang dimakruhkan.
Adapun gambar-gambar pemandangan, misalnya pohon-pohonan, korma, lautan,
perahu, gunung dan sebagainya, maka ini tidak dosa samasekali baik si
pelukisnya ataupun yang menyimpannya, selama gambar-gambar tersebut tidak
melupakan ibadah dan tidak sampai kepada pemborosan. Kalau sampai demikian,
hukumnya makruh.
Adapun fotografi, pada prinsipnya mubah, selama tidak mengandung objek yang
diharamkan, seperti disucikan oleh pemiliknya secara keagamaan atau
disanjung-sanjung secara keduniaan. Lebih-lebih kalau yang disanjung-sanjung
itu justru orang-orang kafir dan ahli-ahli fasik, misalnya golongan penyembah
berhala, komunis dan seniman-seniman yang telah menyimpang.
Terakhir, apabila patung dan gambar yang diharamkan itu bentuknya diuubah
atau direndahkan (dalam bentuk gambar), maka dapat pindah dari lingkungan haram
menjadi halal. Seperti gambar-gambar di lantai yang biasa diinjak oleh kaki dan
sandal.
2.3.13 Memelihara Anjing Tanpa Ada Keperluan
Termasuk yang dilarang oleh Nabi ialah memelihara anjing di dalam rumah
tanpa ada suatu keperluan. Banyak kita ketahui, ada beberapa orang yang
berlebih-lebihan dalam memberikan makan anjingnya, sedang kepada manusia mereka
sangat pelit. Ada pula yang kita saksikan orang-orang yang tidak cukup
membiayai anjingnya itu dengan hartanya untuk melatih anjing, bahkan seluruh
hatinya dicurahkan kepada anjing itu, sedang dia acuh tak acuh terhadap
kerabatnya dan melupakan tetangga dan saudaranya.
Adanya anjing dalam rumah seorang muslim memungkinkan terdapatnya najis
pada bejana dan sebagainya karena jilatan anjing itu.
Dimana Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
“Apabila anjing menjilat dalam bejana kamu, maka cucilah dia tujuh kali, salah satu di antaranya dengan tanah. ” (Riwayat Bukhari)
Sebagian ulama ada yang berpendapat, bahwa hikmah dilarangnya memelihara
anjing di rumah ialah: Kalau anjing itu menyalak dapat menakutkan tetamu yang
datang, bisa membuat lari orang-orang yang datang akan meminta dan dapat
mengganggu orang yang sedang jalan.
Rasulullah s.a.w. pernah mengatakan:
“Malaikat Jibril datang kepadaku, kemudian ia berkata kepadaku sebagai berikut: Tadi malam saya datang kepadamu, tidak ada satupun yang menghalang-halangi aku untuk masuk kecuali karena di pintu rumahmu ada patung dan di dalamnya ada korden yang bergambar, dan di dalam rumah itu ada pula anjing. Oleh karena itu perintahkanlah supaya kepala patung itu dipotong untuk dijadikan seperti keadaan pohon dan perintahkanlah pula supaya korden itu dipotong untuk dijadikan dua bantal yang diduduki, dan diperintahkanlah anjing itu supaya dikeluarkan (Riwayat Abu Daud, Nasa’I, Tarmizi dan Ibnu Hibban)
Anjing yang dilarang dalam hadis ini hanyalah anjing yang dipelihara tanpa
ada keperluan.
2.3.14 Memelihara Anjing Pemburu dan Penjaga,
Hukumnya Mubah
Adapun anjing yang dipelihara karena ada kepentingan, misalnya untuk
berburu, menjaga tanaman, menjaga binatang dan sebagainya dapat dikecualikan
dari hukum ini. Sebab dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim
dan lain-lain, Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Barangsiapa memelihara anjing, selain anjing pemburu atau penjaga tanaman dan binatang, maka pahalanya akan berkurang setiap hari satu qirat.” (Riwayat Jamaah)
Berdasar hadis tersebut, sebagian ahli fiqih berpendapat, bahwa larangan
memelihara anjing itu hanya makruh, bukan haram, sebab kalau sesuatu yang haram
samasekali tidak boleh diambil/dikerjakan baik pahalanya itu berkurang atau
tidak.
Dilarangnya memelihara anjing dalam rumah, bukan berarti kita bersikap
keras terhadap anjing atau kita diperintah untuk membunuhnya. Sebab Rasulullah
s.a.w. bersabda:
“Andaikata anjing-anjing itu bukan umat seperti umat-umat yang lain, niscaya saya perintahkan untuk dibunuh.” (Riwayat Abu Daud dan Tarmizi)
Dengan hadis tersebut Nabi mengisyaratkan kepada suatu pengertian yang
besar dan realita yang tinggi sekali nilainya seperti halnya yang ditegaskan
juga oleh al-Quran:
“Tidak ada satupun binatang di bumi dan burung yang terbang dengan dua sayapnya, melainkan suatu umat seperti kamu juga.” (al-An’am: 38)
Rasulullah pernah juga mengkisahkan kepada para sahabatnya tentang seorang
laki-laki yang menjumpai anjing di padang pasir, anjing itu menyalak-nyalak
sambil makan debu karena kehausan. Lantas orang laki-laki tersebut menuju
sebuah sumur dan melepas sepatunya kemudian dipenuhi air, lantas minumlah
anjing tersebut dengan puas.
Setelah itu Nabi bersabda:
“Karena itu Allah berterimakasih kepada orang yang memberi pertolongan itu serta mengampuni dosanya.” (Riwayat Bukhari)
2.3.15 Pengetahuan Ilmu Modern Tentang
Memelihara Anjing
Barangkali akan kita jumpai di tempat-tempat kita ini beberapa orang yang
sedang asyik terhadap Barat, sehingga mereka menganggap Barat itu mempunyai
kehalusan budi dan perikeimanusiaan yang tinggi serta menaruh kasih-sayang
kepada semua binatang yang hidup. Mereka menganggapnya, bahwa Islam itu
bersikap keras terhadap binatang yang dapat dipercaya, tunduk dan beramanat.
Kepada mereka ini akan kami bawakan suatu artikel ilmiah yang sangat
berharga sekali, ditulis oleh seorang sarjana spesialis dari Jerman. Artikel
tersebut menjelaskan betapa bahayanya yang akan ditimbulkan karena memelihara
anjing. Ia mengatakan: “Bertambahnya musibah yang diderita umat manusia pada
tahun terakhir yang disebabkan oleh anjing, memaksa kita untuk memperhatikan
secara khusus tentang betapa bahaya yang nampak sekali yang disebabkan oleh
anjing, lebih-lebih situasinya bukan terbatas karena memelihara itu ansich,
tetapi sampai kepada bermain-main dan menciumi serta mengusap-usap anjing
dengan tangan oleh anak-anak kecil dan orang-orang dewasa. Bahkan banyak sekali
anjing-anjing itu menjilat bekas bekas makanan yang ada di piring orang tempat
menyimpan makanan dan minuman manusia.”
Kebiasaan-kebiasaan jelek yang kami sebutkan di atas akan sangat
bertentangan dengan perasaan yang sehat dan tidak mungkin dapat diterima oleh
kesopanan manusia. Lebih lebih persoalan ini sangat kontradiksi dengan
kebersihan dan kesehatan. Tetapi kami tidak akan membicarakan persoalan ini
ditinjau dari segi tersebut, karena telah menyimpang dari pokok persoalan yang
sedang dibahas dalam studi ilmiah ini. Biarlah itu kita serahkan kepada masalah
pendidikan budi-pekarti dan pendidikan jiwa untuk menentukannya.
Di sini akan kita tinjau dari segi kesehatan –dan itulah yang kami anggap
sangat urgen dalam pembahasan ini– sebab bahaya yang sangat mengancam kesehatan
manusia dan kehidupannya yang disebabkan memelihara anjing tidak boleh dianggap
remeh. Banyak orang yang terpaksa harus mengorbankan uang yang tidak sedikit
karena digigit oleh anjing, apabila cacing pita anjing itu justru yang
menyebabkan penyakit yang berkepanjangan. Bahkan tidak kurang juga penderita
yang akhirnya menemui ajalnya.
Cacing ini bentuknya sangat kecil sekali, dan disebut cacing pita anjing.
Cacing ini akan tampak pada diri manusia dalam bentuk jerawat. Cacing ini
terdapat juga pada binatang-binatang lain terutama babi, tetapi pertumbuhannya
tidak secepat cacing pita anjing. Terdapat juga pada anak-anak anjing hutan dan
serigala, tetapi jarang ada pada kucing.
Cacing pita anjing ini berbeda sangat dengan cacing-cacing pita lainnya,
dan sangat kecil sekali, sehingga hampir-hampir tidak dapat dilihat, dan tidak
dikira dia itu hidup kecuali setelah beberapa tahun lamanya
Selanjutnya Dr. Graard Pentsmar menulis artikel tersebut berkata:
Perkembangan tumbuhnya cacing pita anjing ini dalam ilmu hewan ada beberapa
keanehan tersendiri, misalnya satu telur dapat menumbuhkan kepala-kepala casing
pita yang banyak sekali dengan membawa bisul-bisul (jerawat) yang timbul karena
cacing tersebut. Telur-telur ini akan memungkinkan untuk menumbuhkan
jerawat-jerawat yang berbeda-beda pula. Demikianlah, bahwa kepala-kepala cacing
yang ditumbuhkan karena bisul-bisul itu akan berubah menjadi cacing-cacing pita
lagi yang dapat terbentuk dengan sempurna dan berkembang dalam usus-usus
anjing.
Cacing-cacing ini tidak dapat tumbuh pada diri manusia dan hewan, melainkan
berupa jerawat-jerawat dan bisul-bisul baru yang satu lama lain sangat berbeda
dengan cacing pita itu sendiri. Bisul yang terdapat pada binatang tidak bisa
lebih dari sebesar kepal, dan itupun sebenarnya sangat jarang sekali. Justru
itu kalau diperhatikan, bahwa timbangan hati akan bisa bertambah yang
kadang-kadang tambahnya itu mencapai 5 sampai 10 kali dari berat hati biasa.
Tetapi bisul yang ada pada manusia bisa mencapai sebesar kepal tangan atau
sebesar kepala anak kecil dan penuh dengan nanah yang beratnya 10 sampai 20
kati.
Kebanyakan bisul ini menyerang hati manusia dan akan nampak dalam bentuknya
yang berbeda-beda, tetapi, kebanyakan kemudian pindah pada paru-paru, lengan,
limpa dan anggota yang lain. Semua ini dapat berubah bentuk maupun keadaannya
dengan perubahan yang besar sekali, sehingga dalam waktu relatif pendek sukar
untuk dapat dibedakan dari yang biasa.
Walhasil, bahwa bisul ini kalau sampai timbul sangat mengancam kesehatan
dan hidupnya si penderita dan berat untuk kita bisa mengetahui perkembangan
sejarah hidupnya, membiaknya dan membentuknya. Sampai hari ini belum ada jalan
untuk mengobatinya. Cuma kadang-kadang cacingcacing ini akan mati dengan
sendirinya dan kadang-kadang justru bahan-bahan yang tidak dapat diterima oleh
tubuh itu sendiri yang bekerja untuk membinasakan kuman-kuman tersebut.
Menurut penyelidikan yang mutakhir, bahwa tubuh manusia yang dalam keadaan
seperti ini justru menjadi bahan obat untuk melawan kuman tersebut serta
mematikan bekerjanya racun.
Dan yang sangat menyedihkan, bahwa matinya cacing-cacing itu jarang sekali
tidak meninggalkan pengaruh dan menimbulkan bahaya, dibandingkan dengan
lainnya. Lebih-lebih cara untuk memberantas penyakit ini dengan jalan kimia
tidak lagi berguna. Satu-satunya jalan ialah dengan operasi. Lama tidak dioperasi
si penderita tidak akan dapat lolos dari mara-bahaya. Yakni pengobatan cara
lain tidak lagi berguna.
Sebab-sebab ini semua, memaksa kita untuk berbuat cara-cara yang mungkin
guna memberantas penyakit yang sangat berbahaya demi melindungi manusia dari
bahaya yang datangnya misterius itu.
Prof. Dr. Nawalr dalam analisanya tentang bangkai di Jerman, mengatakan:
Bahwa di Jerman penderitaan yang dialami oleh umat manusia yang disebabkan
bisul cacing pita anjing tidak kurang dari 1% atau lebih. Sedang negara-negara
lain yang diserang penyakit ini, yaitu di bagian selatan Nederland, Daimasia,
Krim, Islandia, Tenggara Australia, propinsi Frisland di negeri Belanda dimana
anjing-anjing selalu dipakai untuk menarik, maka penderitaan yang ditimbulkan
karena cacing pita tidak kurang dari 12%. Sedang di Islandia sendiri antara 43%
penduduk negara tersebut yang menderita karena bisul cacing pita.
Kalau kita sudah tahu betapa kerugian yang akan menimbulkan makanan manusia
yang ditimbulkan oleh binatang yang membahayakan ini sampai kepada bahaya yang
mengancam kesehatan manusia karena adanya cacing pita itu, maka tidak seorang
pun yang akan menentang, bahwa menjauhkan binatang ini adalah termasuk salah
satu keharusan, demi menjaga dan melindungi makanan rakyat. Lebih-lebih segi-segi
yang mungkin dapat menyelamatkannya hingga kini masih sangat mengkawatirkan.
Dari saat ke saat, wabah ini akan menular.
Jalan yang paling ampuh untuk memberantas wabah ini ialah kita harus
bekerja dengan giat untuk mengurung cacing pita ini hanya pada anjing dan
dijaga jangan sampai tersebar luas. Hal ini kita tempuh, justru kita tidak lagi
mampu untuk melarang orang jangan memelihara anjing samasekali … Dan jangan
dilupakan juga kita harus mengobati anjing itu sendiri, yaitu dengan jalan
menghilangkan cacing pitanya yang terdapat dalam usus-ususnya itu. Caranya
ialah mengoperasi anjing-anjing tersebut, dan ini telah biasa dilakukan
terhadap anjing pelacak dan penjaga.
Dan demi menjaga kesehatan dan kelangsungan hidup manusia, dapat juga
kiranya dijaga dengan teliti sekali, jangan bermain-main dan berdekat-dekat
dengan anjing. Begitu pula anak-anak supaya tidak membiasakan bergaul dengan
anjing, jangan biarkan tangannya dijilat anjing dan jangan diperkenankan
anjing-anjing itu tinggal di tempat bermainnya anak-anak. Sebab sangat
disesalkan, sering kita lihat ada beberapa anjing yang berkeliaran di
tempat-tempat olahraga anak-anak.
Disamping itu harus disediakan pula bejana-bejana khusus untuk makanan
anjing. Jangan dibiarkan anjing-anjing itu menjilat piring-piring yang biasa
dipakai makan manusia. Jangan pula dibiarkan anjing-anjing itu keluar-masuk di
kedai-kedai makanan, pasar-pasar umum, warung-warung dan sebagainya. Dan semua
orang pun harus mengambil bagian khusus untuk menghindarkan anjing dari apa
saja yang bersentuhan dengan makanan dan minuman manusia.
Dengan demikian, maka kita pun tahu betapa Nabi Muhammad melarang kita
untuk bergaul dengan anjing dan memperingatkan kita jangan sampai bejana-bejana
kita itu dijilat oleh anjing serta melarang memelihara anjing, kecuali karena
diperlukan. Betapa pula sesuainya ajaran Muhammad dengan pengetahuan modern dan
ilmu kedokteran yang mutakhir!
Dalam hal ini kami tidak akan memperpanjang perkataan, kiranya cukup apa
yang dikatakan al-Quran:
“Muhammad tidak berbicara yang keluar dari hawa nafsunya. Tidak lain yang dikatakan itu melainkan wahyu yang diwahyukan.” (an-Najm: 3-4)
>>>>>..2.4. Bekerja dan Usaha
Diposting Oleh : kawani media
Anda sedang membaca artikel tentang BAB KEDUA - HALAL HARAM DALAM ISLAM - C. Anda diperbolehkan mengcopy paste isi blog ini, namun jangan lupa untuk mencantumkan link ini sebagai sumbernya. Beritahukan kepada saya jika ada Link yang rusak atau tidak berfungsi. Apabila suka dengan postingan ini silahkan di Like dan Share dengan tidak lupa Komentar dan Masukannya.
0 komentar:
Posting Komentar