http://kawanishare.blogspot.com/ | KAWANI MEDIA |
2.4 Bekerja dan Usaha
FIRMAN
Allah:
“Dialah zat yang menjadikan bumi ini mudah buat kamu. Oleh karena itu berjalanlah di permukaannya dan makanlah dari rezekinya.” (al-Mulk: 15)
Ayat
ini merupakan mabda’ (prinsip) Islam. Bumi ini oleh Allah diserahkan kepada
manusia dan dimudahkannya. Justru itu manusia harus memanfaatkan nikmat yang
baik ini serta berusaha di seluruh seginya untuk mencari anugerah Allah itu.
2.4.1 Diamnya Orang yang Mampu
Bekerja adalah Haram
Setiap
muslim tidak halal bermalas-malas bekerja untuk mencari rezeki dengan dalih
karena sibuk beribadah atau tawakkal kepada Allah, sebab langit ini tidak akan
mencurahkan hujan emas dan perak. Tidak halal juga seorang muslim hanya
menggantungkan dirinya kepada sedekah orang, padahal dia masih mampu berusaha
untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri dan keluarga serta tanggungannya.
Untuk itu Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Sedekah tidak halal buat orang kaya dan orang yang masih mempunyai kekuatan dengan sempurna.” (Riwayat Tarmizi)
Dan
yang sangat ditentang oleh Nabi serta diharamkannya terhadap diri seorang
muslim, yaitu meminta-minta kepada orang lain dengan mencucurkan keringatnya.
Hal mana dapat menurunkan harga diri dan karamahnya padahal dia bukan terpaksa
harus minta-minta.
Kepada
orang yang suka minta-minta padahal tidak begitu memerlukan, Rasulullah s.a.w.
pernah bersabda sebagai berikut:
“Orang yang minta-minta padahal tidak begitu memerlukan, sama halnya dengan orang yang memungut bara api.” (Riwayat Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah dalam sahihnya)
Dan
sabdanya pula:
“Barangsiapa meminta-minta pada orang lain untuk menambah kekayaan hartanya tanpa sesuatu yang menghajatkan, maka berarti dia menampar mukanya sampai hari kiamat, dan batu dari neraka yang membara itu dimakannya. Oleh karena itu siapa yang mau, persedikitlah dan siapa yang mau berbanyaklah.” (Riwayat Tarmizi)
Dan
sabdanya pula:
“Senantiasa minta-minta itu dilakukan oleh seseorang di antara kamu, sehingga dia akan bertemu Allah, dan tidak ada di mukanya sepotong daging.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Suara
yang keras ini dicanangkan oleh Rasulullah, demi melindungi harga diri seorang
muslim dan supaya seorang muslim membiasakan hidup yang suci serta percaya pada
diri sendiri dan jauh dari menggantungkan diri pada orang lain.
2.4.2 Bilakah Minta-Minta Itu
Diperkenankan?
Namun
Rasulullah s.a.w. masih juga memberikan suatu pembatas justru karena ada suatu
kepentingan yang mendesak. Oleh karena itu barangsiapa sangat memerlukan untuk
meminta-minta atau mohon bantuan dari pemerintah dan juga kepada perorangan,
maka waktu itu tidaklah dia berdoa untuk mengajukan permintaan.
Karena
ada sabda Nabi:
“Sesungguhnya meminta-minta itu sama dengan luka-luka, yang dengan meminta-minta itu berarti seseorang melukai mukanya sendiri, oleh karena itu barangsiapa mau tetapkanlah luka itu pada mukanya, dan barangsiapa mau tinggalkanlah, kecuali meminta kepada sultan atau meminta untuk suatu urusan yang tidak didapat dengan jalan lain.” (Riwayat Abu, Daud dan Nasa’i)
Qabishah
bin al-Mukhariq berkata:
“Saya menanggung suatu beban yang berat, kemudian saya datang kepada Nabi
untuk meminta-minta, maka jawab Nabi: Tinggallah di sini sehingga ada sedekah
datang kepada saya, maka akan saya perintahkan sedekah itu untuk diberikan
kepadamu. Lantas ia pun berkata: Hai Qabishah! Sesungguhnya minta-minta itu
tidak halal, melainkan bagi salah satu dari tiga orang: (1) Seorang laki-laki
yang menanggung beban yang berat, maka halallah baginya meminta-minta sehingga
dia dapat mengatasinya kemudian sesudah itu dia berhenti. (2) Seorang laki-laki
yang ditimpa suatu bahaya yang membinasakan hartanya, maka halallah baginya
meminta-minta sehingga dia mendapatkan suatu standard untuk hidup. (3) Seorang
laki-laki yang ditimpa suatu kemiskinan sehingga ada tiga dari orang-orang
pandai dari kaumnya mengatakan: Sungguh si anu itu ditimpa suatu kemiskinan,
maka halallah baginya meminta-minta sehingga dia mendapatkan suatu standard
hidup. Selain itu, meminta-minta hai Qabishah, adalah haram, yang melakukannya
berarti makan barang haram.” (Riwayat Muslim, Abu Daud dan Nasa’i)
2.4.3 Jaga Harga Diri dengan
Bekerja
Nabi
menghapuskan semua fikiran yang menganggap hina terhadap orang yang bekerja,
bahkan beliau mengajar sahabat-sahabatnya untuk menjaga harga diri dengan
bekerja apapun yang mungkin, serta dipandang rendah orang yang hanya
menggantungkan dirinya kepada bantuan orang lain.
Maka
sabda Nabi:
“Sungguh seseorang yang membawa tali, kemudian ia membawa seikat kayu di punggungnya lantas dijualnya, maka dengan itu Allah menjaga dirinya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka yang diminta itu memberi atau menolaknya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Untuk
itu setiap muslim dibolehkan bekerja, baik dengan jalan bercocok-tanam,
berdagang, mendirikan pabrik, pekerjaan apapun atau menjadi pegawai, selama
pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak dilakukan dengan jalan haram, atau membantu
perbuatan haram atau bersekutu dengan haram
2.4.4 Bekerja dengan Jalan
Bercocok-Tanam
Di
dalam al-Quran Allah menyebutkan tentang masalah mencari rezeki beberapa pokok
yang harus ditepati demi suksesnya bercocok-tanam itu.
Pertama
Allah menyebutkan, bahwa bumi ini disediakan Allah untuk menumbuhkan
tumbuh-tumbuhan dan memproduksi. Untuk itu Ia jadikan bumi ini serba mudah dan
dihamparkan, sebagai suatu nikmat yang harus diingat dan disyukuri.
Firman
Allah:
“Allah menjadikan bumi ini untuk kamu dengan terhampar supaya kamu menjalani jalan-jalan besarnya.” (Nuh: 19-20)
“Bumi ini diletakkan Allah untuk umat manusia, di dalamnya penuh dengan buah-buahan dan korma yang mempunyai kelopak-kelopak, biji-bijian yang mempunyai kulit dan berbau harum. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (ar-Rahman: 10-13)
Yang
kedua, Allah menyebutkan tentang air, Ia mudahkannya, dengan diturunkannya
melalui jalan hujan dan mengalir di sungai-sungai, kemudian dengan air itu
dihidupkanlah bumi yang tadinya mati.
Firman
Allah:
“Dialah zat yang menurunkan air dari langit, maka dengan air itu kami keluarkan tumbulr-tumbuhan dari tiap-tiap sesuatu, maka kami keluarkan daripadanya pohon yang hijau yang daripadanya kami keluarkan biji-bijian yang bersusun-susun.” (al-An’am: 99)
“Hendaklah manusia mau melihat makanannya. Kami curahkan air dengan deras, kemudian kami hancurkan bumi dengan sungguh-sungguh hancur kemudian kami tumbuhkan padanya biji-bijian, anggur dan sayur-mayur.” (‘Abasa: 24-28)
Selanjutnya
tentang angin yang dilepas Allah dengan membawa kegembiraan, di antaranya dapat
menggiring awan dan mengkawinkan tumbuh-tumbuhan. Ini semua tersebut dalam
firman Allah:
“Dan bumi Kami hamparkannya dan Kami tancapkan di atasnya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya dari tiap-tiap sesuatu yang ditimbang. Dan Kami jadikan untuk kamu padanya sumber-sumber penghidupan dan orang-orang yang kamu tidak bisa memberi rezeki kepadanya. Dan tidak ada sesuatu benda melainkan di sisi Kamilah perbendaharaannya, dan Kami tidak menurunkan dia melainkan dengan ukuran tertentu. Dan Kami lepaskan angin untuk mengkawinkan, kemudian Kami turunkan air hujan dari langit, kemudian Kami siram kamu dengan air itu padahal bukanlah kamu yang mempunyai perbendaharaan air itu.” (al-Hijr: 19-22)
Seluruh
ayat-ayat ini merupakan peringatan Allah kepada umat manusia tentang nikmatnya
bercocok-tanam serta mudahnya jalan-jalan untuk bercocok-tanam itu. Dan sabda
Rasulullah s.a.w.:
“Tidak seorang muslim pun yang menanam tanaman atau menaburkan benih, kemudian dimakan oleh burung atau manusia, melainkan dia itu baginya merupakan sedekah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan
sabdanya pula yang artinya sebagai berikut:
“Tidak seorang muslim pun yang menanam tanaman, kecuali apa yang dimakan merupakan sedekah baginya, dan apa yang dicuri juga merupakan sedekah baginya dan tidak juga dikurangi oleh seseorang melainkan dia itu merupakan sedekah baginya sampai hari kiamat.” (Riwayat Muslim)
Penegasan
hadis tersebut, bahwa pahalanya akan terus berlangsung selama tanaman atau
benih yang ditaburkan itu dimakan atau dimanfaatkan, sekalipun yang menanam dan
yang menaburkannya itu telah meninggal dunia; dan sekalipun tanaman-tanaman itu
telah pindah ke tangan orang lain.
Para
ulama berpendapat: “Dalam keleluasaan kemurahan Allah, bahwa Ia memberi pahala sesudah
seseorang itu meninggal dunia sebagaimana waktu dia masih hidup, yaitu berlaku
pada enam golongan: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, anak saleh yang mau
mendoakan orang tuanya, tanaman, biji yang ditaburkan dan binatang (kendaraan)
yang disediakan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh.”
Diriwayatkan,
ada seorang laki-laki yang bertemu Abu Darda’ ketika itu dia menanam pohon
pala. Kemudian orang laki-laki itu bertanya kepada Abu Darda’: Hai Abu Darda’!
Mengapa engkau tanam pohon ini, padahal engkau sudah sangat tua, sedang pohon
ini tidak akan berbuah kecuali sekian tahun lamanya. Maka Abu Darda’ menjawab:
Bukankah aku yang akan memetik pahalanya di samping untuk makanan orang lain?
Salah
seorang sahabat Nabi ada yang mengatakan:
“Saya mendengar Rasulullah s.a.w. membisikkan pada telingaku ini, yaitu: Barangsiapa menanam sebuah pohon kemudian dengan tekun memeliharanya dan mengurusinya hingga berbuah, maka sesungguhnya baginya pada tiap-tiap sesuatu yang dimakan dari buahnya merupakan sedekah di sisi Allah.” (Riwayat Ahmad)
Dari
hadis-hadis ini para ulama berpendapat, bahwa bercocok-tanam (bertani) adalah
pekerjaan yang paling baik. Tetapi yang lain berpendapat: Bahwa pertukangan
atau pekerjaan tangan merupakan pekerjaan yang paling mulia. Sedang yang lain
berpendapat: Daganglah yang paling baik. Sementara ahli penyelidik dan
pentashih berpendapat:
Seharusnya
kesemuanya itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan. Kalau masalah
bahan makanan yang memang sangat dibutuhkan, maka bercocok-tanam adalah
pekerjaan yang lebih utama, karena dapat membantu orang banyak. Kalau yang
sangat dibutuhkan itu barang-barang perdagangan karena terputusnya jalan-jalan
misalnya, maka berdagang adalah yang lebih utama. Dan kalau yang dibutuhkan itu
soal-soal kerajinan/pekerjaan tangan, maka pekerjaan tangan itu adalah lebih
utama.
Perincian
yang terakhir ini kiranya selaras dengan keutamaan pengetahuan ekonomi modern.
2.4.5 Bercocok-Tanam yang
Diharamkan
Setiap
tumbuh-tumbuhan yang diharamkan memakannya atau yang tidak boleh dipergunakan
kecuali dalam keadaan darurat, maka tumbuh-tumbuhan tersebut haram ditanam,
misalnya: hasyisy (ganja) dan sebagainya.
Begitu
juga tembakau kalau kita berpendapat merokok itu haram, dan inilah yang rajih,
maka menanamnya berarti haram. Dan kalau berpendapat makruh, maka menanamnya
pun makruh juga.
Tidak
ada alasan bagi seorang muslim untuk menanam sesuatu yang haram untuk dijual
kepada orang selain Islam: Sebab selamanya seorang muslim tidak boleh berbuat
haram. Oleh karena itu seorang muslim tidak diperkenankan memelihara babi untuk
dijual kepada orang Kristen. Dasar ini sebagaimana telah sama-sama kita
maklumi, bagaimana Islam mengharamkan menjual anggur yang sudah jelas halalnya
itu kepada orang yang diketahui, bahwa anggur tersebut akan dibuat arak.
2.4.6 Perusahaan dan
Mata-Pencaharian
Islam
menekankan umatnya supaya bercocoktanam dan mengangkat ke derajat yang tinggi
serta memberikan pahala kepada pelakunya. Tetapi di balik itu Islam sangat
benci kalau umatnya itu membatasi aktivitasnya hanya pada bidang pertanian atau
terbatas bergelimang di dasar laut.
Islam
tidak senang umatnya menganggap cukup dalam bertani saja dan mengikuti ekor
lembu. Ini dapat mengurangi keperluan umat yang sekaligus dihadapkan kepada
suatu bahaya. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau Rasulullah s.a.w. pernah
menegaskan, bahwa cara semacam itu merupakan sumber bencana dan bahaya serta
kehinaan yang meliliti umat. Kenyataan ini dapat dibenarkan oleh keadaan.
Untuk
itu maka Rasululiah s.a.w. telah menyabdakan:
“Apabila kamu jual-beli dengan lenah34 dan kamu berpegang pada ekor-ekor sapi, dan senang bercocok-tanam serta meninggalkan jihad, maka Allah akan memberikan suatu kehinaan atas kamu yang tidak dapat dilepaskan dia, sehingga kamu kembali kepada ajaran agamamu.” (Riwayat Abu Daud)
Kalau
begitu, maka sudah seharusnya disamping bercocok-tanam ada juga perusahaan dan
mata-pencaharian lain yang kiranya dapat memenuhi unsur-unsur penghidupan yang
baik dan standard umat yang tinggi dan bebas, serta negara yang kuat dan
kayaraya.
Mata-pencaharian
dan perusahaan-perusahaan ini bukan hanya dipandang mubah oleh Islam, bahkan
sesuai dengan penegasan para ulama dipandangnya sebagai fardhu kifayah’ dengan
pengertian, bahwa masyarakat Islami harus memperbanyak dari kalangan umatnya
orang-orang yang berpengetahuan, memperbanyak perusahaan dan mata-pencaharian yang
kiranya dapat mencukupi kebutuhan masyarakat itu dan dapat mengatasi segala
urusannya. Maka apabila terjadi suatu kekosongan baik dari segi pengetahuan
ataupun perusahaan dan tidak ada yang mengurusnya, maka seluruh masyarakat
Islam itu akan berdosa, khususnya ulil amri (kepala exekutif) dan ahlul hili
wal aqdi (lembaga legislatif).
Imam
Ghazali berkata: “Adapun yang termasuk fardhu kifayah, yaitu semua ilmu yang
sangat diperlukan sebagai standard untuk mengurusi persoalan-persoalan
duniawiah, seperti ilmu kedokteran, karena dia itu amat dibutuhkan demi menjaga
kestabilan badani dan seperti ilmu hisab sebagai yang sangat dibutuhkan untuk
urusan mu’amalat, pembagian wasiat, waris, dan lain-lain.
Ilmu-ilmu
ini kalau sesuatu negara itu kekosongan orang-orang yang mengerti urusan
tersebut, maka seluruh penduduk negeri tersebut berdosa. Tetapi kalau ada
seorang yang bekerja untuk persoalan ini, sudah dianggap cukup dan gugurlah
kewajiban itu dari yang lain.
Justru
itu tidak mengherankan kalau kita katakan: Bahwa ilmu kedokteran (kesehatan)
dan hisab termasuk fardhu kifayah. Begitu juga pokok perindustrian seperti ilmu
pertanian, pertenunan dan siasah bahkan ilmu bekam dan klermaker termasuk juga
fardhu kifayah. Sebab kalau suatu negara kefakiman ahli bekam, niscaya
kebinasaan mengancam, yang berarti pula mereka menyerahkan dirinya kepada
kebinasaan. Padahal Zat yang menurunkan penyakit, Dia juga menurunkan obatnya
dan Ia membimbing umat manusia untuk menggunakan obat-obatan tersebut dan telah
juga dipersiapkan cara-cara untuk menemukannya. Oleh karena itu kita tidak
boleh mencampakkan diri kepada kebinasaan dengan cara meremehkan persoalan
tersebut.”
Al-Quran
telah mengisyaratkan supaya memperbanyak bidang-bidang perindustrian dengan
disebutnya sebagai nikmat kurnia Allah. Misalnya firman Allah yang
menceriterakan tentang Nabi Daud:
“Dan Kami lunakkan besi baginya. Hendaklah kamu membuat baju besi yang panjang dan ukurlah dalam lubangnya.” (Saba’: 10- 11)
“Dan Kami ajar dia untuk membuat pakaian buat kamu untuk menjaga kamu dari bahayamu, apakah kamu mau berterimakasih?” al-Anbiya’: 80)
Kemudian
tentang Nabi Sulaiman, Allah berfirman juga:
“Dan Kami alirkan kepadanya mata air tembaga, dan dari antara jin ada yang bekerja di hadapannya dengan izin Tuhannya, dan barangsiapa yang berpaling di antara mereka dari perintah Kami, maka akan Kami rasakan dia dari siksaan api yang, menyala. Para jin itu bekerja untuk Sulaiman menurut apa yang ia inginkan, misalnya gedung-gedung yang tinggi, patung patung dan piring-piring model kolam dan kuali yang tetap. Kerjakanlah hai keluarga Daud dengan penuh kesyukuran.” (Saba’: 12-13)
Dan
tentang Dzul Qarnain dengan bendungan raksasanya (great wall) itu, Allah
berfirman:
“Dia berkata: Apa yang Tuhanku tetapkan aku padanya lebih baik. Oleh karena itu bantulah aku dengan sungguh-sungguh, maka akan kubuat satu bendungan (pembatas) antara kamu dan mereka. Bawalah kepadaku kepingan-kepingan besi sehingga apabila sudah sama antara dua gunung itu, ia pun berkata: Tiuplah. Sehingga apabila ia telah jadikan api, maka ia berkata: Bawalah kepadaku akan kutuangi tembaga di atasnya. Dengan demikian maka mereka tidak dapat mendakinya dan tidak dapat melubanginya.” (al-Kahfi: 95-97)
Selanjutnya
tentang kisah Nabi Nuh dengan cara membuat perahunya, dimana Allah memberikan
isyarat betapa besarnya perahunya itu bagaikan gunung yang akan mengarungi
laut.
Maka
firman Allah:
“Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah adanya perahu di laut bagaikan gunung.” (as-Syura: 32)
Dalam
beberapa surah, Allah banyak menyebutkan tentang masalah cara-cara berburu
dengan segala macam bentuk dan jenisnya, sejak dari cara berburu ikan dan
binatang-binatang laut sampai kepada berburu binatang darat. Disebutkan juga
bagaimana cara menyelam untuk mengeluarkan lulu’ (mutiara), marjan dan
sebagainya.
Lebih
dari itu semua, al-Quran telah menyadarkan manusia akan nilai daripada besi
yang belum pernah dibicarakan oleh kitab-kitab agama sebelumnya. Maka setelah
Allah menyebutkan tentang diutusnya para Rasul dan diturunkannya kitab,
kemudian Allah berfirman:
“Dan kami turunkan besi, yang padanya ada kekuatan yang sangat dan bermanfaat buat manusia.” (al-Hadid: 25)
Oleh
karena itu tidak mengherankan, kalau surah yang membicarakan masalah besi ini
disebut juga surah al-Hadid (besi).
Seluruh
perusahaan dan mata-pencaharian yang dapat menutupi kebutuhan masyarakat atau
yang dapat mendatangkan manfaat yang nyata, maka semua itu termasuk amal saleh
apabila semua itu dilakukan dengan ikhlas dan dilaksanakan menurut perintah
agama.
Islam
menganggap tinggi beberapa pekerjaan yang kadang-kadang oleh manusia dinilai
sangat rendah, misalnya menggembala kambing yang biasa diabaikan oleh manusia.
Malah mereka tidak mau menilainya sebagai pekerjaan yang baik. Namun Rasulullah
s.a.w. tetap berkata:
“Allah tidak mengutus seorang Nabi pun melainkan dia itu menggembala kambing. Waktu para sahabat mendengar perkataan itu, mereka kemudian bertanya: Dan engkau, ya Rasulullah? Jawab Nabi: Ya! Saya juga menggembala kambing dengan upah beberapa karat, milik penduduk Makkah.” (Riwayat Bukhari)
Muhammad
sebagai utusan Allah dan penutup sekalian Nabi, juga menggembala kambing, dan
itupun bukan kambingnya sendiri tetapi ia menggembala dengan upah milik
sebagian penduduk Makkah. Diterangkannya ini kepada umatnya untuk mengajar
mereka, bahwa kebesaran justru dimiliki oleh orang-orang yang suka bekerja,
bukan oleh orang yang suka berfoya-foya dan penganggur.
Al-Quran
pun mengkisahkan kepada kita tentang kisah Nabi Musa a.s., bahwa dia juga
bekerja sebagai buruh bagi seorang yang sangat tua. Dia bekerja sebagai buruh
selama 8 tahun sebagai persyaratan untuk dikawinkan dengan salah seorang
puterinya. Nabi Musa dinilai orang tua tersebut sebagai pekerja yang baik dan
buruh yang terpuji. Maka benarlah dugaan puteri orang tua itu, di mana salah
satunya ada yang berkata: “Hai, ayah! Ambillah buruh dia itu, karena
sebaik-baik orang yang engkau ambil buruh haruslah orang yang kuat dan
terpercaya.” (al-Qashash: 26).
Ibnu
Abbas meriwayatkan, bahwa Daud bekerja sebagai tukang besi untuk membuat baju
besi. Adam bekerja sebagai petani, Nuh sebagai tukang kayu, Idris sebagai
klermaker sedang Musa sebagai penggembala kambing. (Riwayat Hakim).
Untuk
itulah setiap muslim harus menyiapkan diri untuk mencari pencaharian, sebab
tidak seorang nabi pun kecuali bekerja dalam salah satu lapangan pencaharian.
Nabi
Muhammad s.a.w. dalam salah satu hadisnya mengatakan:
“Tidak makan seseorang satu makanan sedikitpun yang lebih baik, melainkan dia makan atas usahanya sendiri,dan Nabi Daud makan dari hasil pekerjaanya sendiri.” (Riwayat Bukhari)
2.4.7 Beberapa Usaha dan Mata-Pencaharian yang Diberantas oleh Islam
Selain
yang telah disebutkan di atas, ada beberapa usaha dan mata-pencaharian yang
oleh Islam, umatnya dilarang keras untuk mengerjakannya, karena di dalamnya
mengandung bahaya bagi masyarakat, baik terhadap aqidahnya, akhlaknya, harga
dirinya dan sendi-sendi sopan-santunnya.
2.4.7.1 Melacur
Pelacuran
adalah salah satu mata-pencaharian yang dibolehkan di negara-negara Barat
dengan diberinya izin dengan syarat si pelakunya harus memberikan jaminan
kepada pemilik kedai itu dan memberikan hak-hak mereka. Begitulah situasi ini
pernah berlaku pada zaman dahulu sampai datanglah Islam untuk menghapus itu
semua. Islam tidak memperkenankan seseorang dengan bebas untuk menyewakan
kemaluannya.
Sebagian
orang-orang jahiliah ada yang menetapkan upah pekerjaan harian hamba-hamba
perempuannya dan hasilnya supaya diserahkan kepada tuannya dengan jalan apapun.
Seringkali menjurus kepada perbuatan zina, supaya dia dapat membayar apa yang
telah ditetapkan atas dirinya itu. Bahkan sebagian mereka ada yang sampai
memaksa, semata-mata untuk mencari keuntungan duniawi yang rendah itu dan
bekerja yang jijik dan murahan.
Maka
setelah Islam datang, seluruh anak-anak, putera maupun puteri diangkat dari
perbuatan yang hina itu.
Kemudian
turunlah ayat yang mengatakan:
“Jangan kamu paksa hamba-hambamu untuk melacur jika mereka memang ingin dirinya terjaga, lantaran kamu hendak mencari harta untuk hidup di dunia.” (an-Nur: 33)
Ibnu
Abbas meriwayatkan, sesungguhnya Abdullah bin Ubai kepala munafiqin, datang
kepada Nabi sambil membawa seorang hamba perempuan yang cantik jelita, namanya
Mu’adzah, kemudian ia berkata: Ya Rasulullah! Ini adalah hamba milik anak
yatim, apakah tidak tepat kalau kau suruh dia untuk melacur supaya anak-anak
yatim itu dapat mengambil upahnya? Maka jawab Nabi: “tidak” (Lihat Tafsir Razi 23:220).
Dengan
demikian, maka Nabi melarang mencari matapencaharian dengan usaha yang kotor
ini, betapapun tingginya bayaran yang diperoleh. Beliau pun tetap tidak
memperkenankan setiap apa yang dikatakan karena terpaksa, karena kepentingan
atau untuk mencapai sesuatu tujuan. Motifnya supaya masyarakat Islam tetap
bersih dari kotoran-kotoran yang sangat membahayakan ini.
2.4.7.2 Tarian dan Seni Tubuh
Islam
tidak dapat menerima apa yang disebut pekerjaan tarian hot dan semua pekerjaan
yang dapat menimbulkan ghairah, seperti nyanyian-nyanyian porno dan sandiwara
kosong. Semua permainan macam ini, sekalipun oleh sementara orang dianggap seni
atau dikatakan kemajuan dan sebagainya dari nama-nama yang cukup menyesatkan
orang.
Islam
mengharamkan semua macam hubungan lain jenis di luar perkawinan. Begitu juga setiap
omongan atau pekerjaan yang dapat membuka pintu yang ada hubungannya dengan
perbuatan haram. Inilah rahasia dilarangnya zina oleh al-Quran, yaitu dengan
ungkapan yang ampuh sekali:
“Jangan kamu mendekati zina, karena sesungguhnya dia itu kotor dan cara yang tidak baik.” (al-Isra’: 32)
Islam
tidak cukup melarang jangan berzina, tetapi dilarang mendekatinya.
Semua
yang kami sebutkan di atas dan apa yang dikenal oleh orang banyak sebagai
perbuatan yang dapat membangkitkan syahwat, adalah termasuk kalimat fahisyah
(kotor). Bahkan dapat menggerakkan dan mendorong orang untuk berbuat kotor.
Alangkah jeleknya usaha mereka itu.
2.4.7.3 Perusahaan Melukis, Membuat Salib dan Sebagainya
Apabila
Islam –sebagaimana yang kami sebutkan di atas– melarang memiliki gambar/patung,
maka perusahaannya lebih diharamkan daripada memilikinya.
Imam
Bukhari meriwayatkan dari jalan Said bin Abul Hasan, ia berkata: Saya pernah di
tempat Ibnu Abbas, kemudian tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menanyakan:
Hai Ibnu Abbas! Saya adalah seorang laki-laki yang standard hidupku (maisyahku)
dari hasil pekerjaan tanganku, yaitu saya membuat gambar-gambar ini! Maka jawab
Ibnu Abbas:
Saya
tidak akan menjawabmu kecuali menurut apa yang pernah saya dengar dari
Rasulullah s.a.w., bahwa beliau bersabda:
“Barangsiapa menggambar suatu gambar, maka nanti Allab menyiksa dia, sehingga dia dapat meniupkan roh padanya, sedangkan dia selamanya tidak akan dapat meniupkan roh.”
Setelah
mendengar jawaban Ibnu Abbas tersebut, orang laki-laki itu naik pitam. Maka
Ibnu Abbas pun kemudian menjawab:
“Celaka engkau! Kalau kamu masih tetap saja mau membuat, maka buatlah pohon dan setiap yang tidak bernyawa.” (Riwayat Bukhari).
Yang
seperti ini ialah membuat berhala, salib dan sebagainya.
Adapun
menggambar dalam papan dan fotografi, maka telah kami terangkan di atas yang
pada prinsipnya menurut pendapat yang paling banyak mendekati jiwa syariat,
tentang masalah tersebut, hukumnya mubah, atau paling banyak berderajat makruh.
Ini tidak termasuk subjek foto itu sendiri yang ada pula diharamkan oleh Islam,
misalnya ditampakkannya bagian-bagian anggota perempuan yang banyak menimbulkan
fitnah, melukis laki-laki mencium wanita dan sebagainya. Dan yang seperti ini
ialah gambar-gambar yang diagung-agungkan dan dikuduskan, misalnya: gambar
Malaikat, Nabi dan sebagainya.
2.4.7.4 Perusahaan Minuman Keras dan Narkotik
Telah
sama-sama kita maklumi dalam bab terdahulu, bahwa Islam mengharamkan setiap
persekutuan dalam hal arak, baik yang membuatnya, membagikannya ataupun
meminumnya. Siapa saja yang mengerjakan hal tersebut akan beroleh laknat
melalui lidah Rasulullah.
Narkotik
baik yang terbuat dari hasyisy (ganja), candu ataupun lainnya sama dengan
minuman yang memabukkan tentang haramnya dipergunakan, dibagi dan dibuat.
Islam
juga menentang keras terhadap setiap muslim yang bekerja pada suatu perusahaan
atau mata-pencaharian yang ada hubungannya dengan sesuatu yang haram atau
melalui perkara yang haram.
2.4.8 Bekerja dengan Jalan Berdagang
Islam
melalui nas-nas al-Quran dan Sunnah, menganjurkan dengan keras supaya seseorang
pergi berdagang, yang kemudian disebut mencari anugerah Allah. Sesudah itu
Allah menyebut orang-orang yang pergi berdagang, diiringi dengan menyebut
orang-orang yang jihad fi sabilillah.
Firman
Allah:
“Yang lain berjalan di permukaan bumi untuk mencari anugerah Allah, sedang yang lainnya berperang di jalan. Allah.” (al-Muzammil: 20)
Dalam
al-Quran Allah memberikan anugerah kepada manusia dengan menyediakan
jalan-jalan perdagangan, dalam dan luar negeri dengan alat-alat perhubungan
laut, yang hingga kini tetap merupakan alat pengangkutan yang paling ampuh
untuk perdagangan internasional. Untuk itu Allah berfirman dengan memudahkan
laut dan menjalankan kapal-kapal dagang. Firman Allah:
“Engkau lihat kapal-kapal di laut yang berjalan supaya kamu dapat mencari anugerah Allah, dan supaya kamu tahu berterimakasih.” (Fathir: 12)
Kadang-kadang
diiringi pula dengan melepaskan angin. Seperti firmanNya:
“Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah, yaitu Dia lepaskan angin dengan membawa khabar gembira. Dan supaya Allah memberikan kepadamu dari rahmatNya dan supaya perahu-perahu (kapal-kapal) itu berjalan dengan perintahNya dan supaya kamu mencari anugerahNya dan supaya kamu berterimakasih.” (ar-Rum: 46)
Al-Quran
mengulang-ulangi penyebutan nikmat dan menganjurkan untuk kiranya dapat
dimanfaatkan nikmat itu, sehingga semua itu dijadikan oleh Allah sebagai salah
satu tanda wujud dan kekuasaan Allah serta kebijaksanaanNya dalam mengatur
falak ini.
Firman
Allah:
“(Kapal) yang berjalan di laut dengan membawa perbekalan yang bermanfaat bagi manusia.” (al-Baqarah: 164)
“Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah adanya kapal-kapal (perahu) yang berjalan di laut seperti gunung.” (as-Syura: 32)
Allah
memberikan anugerah kepada penduduk Makkah dengan menyediakan jalan-jalan yang
dapat menjadikan negeri mereka itu sebagai pusat perdagangan yang paling
istimewa untuk Jaziratul Arabia.
Firman
Allah:
“Bukankah Kami berikan kepada mereka (penduduk Makkah) tanah haram yang aman sentosa yang dipilih untuknya buah-buahan dan tiap-tiap sesuatu sebagai suatu pemberian rezeki dari Kami.” (al-Qashash: 57)
Dengan
demikian terbuktilah doa Nabi Ibrahim yang mengatakan:
“Hai Tuhan. kami! Sesungguhnya aku menempatkan keluargaku di suatu lembah yang tidak ada tumbuh-tumbuhannya, yaitu di dekat Baitillah-Haram. Hai Tuhan kami! Supaya mereka itu dapat menegakkan sembahyang, maka jadikanlah hati-hati manusia itu condong kepada mereka dan berilah mereka itu rezeki dari buah-buahan, supaya mereka tahu berterimakasih.” (Ibrahim: 37)
Di
samping itu Allah juga telah memberikan anugrah kepada orang-orang Quraisy,
yaitu dengan memudahkan perjalanan mereka dua kali musim perdagangan dalam satu
tahun, ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam pada musim panas. Mereka pergi ke
dua tempat tersebut dengan memperoleh keamanan sebab kelebihan mereka sebagai
penjaga Ka’bah. Justru itu patutlah mereka bersyukur atas nikmat ini dengan
berbakti kepada Allah semata, Tuhannya Ka’bah dan Yang mempunyai anugerah
tersebut. Firman Allah:
“Karena perlindunganNya terhadap orang-orang Quraisy yaitu dilindunginya mereka dalam bepergiannya pada musim dingin dan musim panas, maka hendaklah mereka itu berbakti kepada Tuhannya rumah ini, yang telah memberi makan mereka dari kelaparannya dan memberi keamanan mereka dari ketakutan.” (Quraisy)
Islam
telah memberikan pula suatu kesempatan kepada umat Islam untuk mengadakan
tukar-menukar perdagangan antara negara dan bangsa dengan seluas-luasnya dalam
setiap tahun, yaitu bertepatan dengan musim pertemuan tahunan internasional,
yakni pada musim haji ke Baitullah, dimana mereka itu saling berdatangan dari
tempat yang jauh. Seperti difirmankan Allah:
“Mereka ada yang berjalan kaki dan ada pula yang berkendaraan unta, semua datang dari tiap-tiap perjalanan yang jauh, supaya mereka itu dapat menyaksikan apa-apa yang bermanfaat buat mereka; dan supaya mereka menyebut-nyebut asma’Allah.” (al-Haj: 27-28)
Di
antara apa-apa yang bermanfaat itu, tidak diragukan lagi ialah perdagangan.
Imam
Bukhari meriwayatkan, bahwa umat Islam pernah mengalami kesukaran berdagang
pada musim haji, karena mereka beranggapan kalau-kalau dengan berdagang dapat
mengaburkan keikhlasan niat mereka dalam beribadah atau dapat mengotori
kesucian ibadah mereka. Waktu itu maka turunlah ayat yang menjelaskan dan
menegaskan:
“Tidak ada dosa atas kamu untuk mencari rezeki dari Tuhanmu.” (al-Baqarah: 198)
Al-Quran
juga memuji orang-orang yang suka pergi ke masjid untuk bersujud kepada Allah
di waktu pagi dan petang. Mereka itu dipuji dengan firmannya:
“Laki-laki yang berdagang dan jual-belinya itu tidak melupakan mereka daripada berzikrullah dan menegakkan sembahyang serta mengeluarkan zakat.” (an-Nur: 37)
Oleh
karena itu, orang-orang mu’min dalam pandangan al-Quran bukan berumahtangga di
masjid, bukan pula seperti pendeta-pendeta yang mendiami gereja-gereja, tetapi
orang-orang mu’min adalah manusia pekerja. Keistimewaan mereka, bahwa kesibukan
duniawinya tidak memalingkan mereka dari memenuhi kewajiban agama.
Demikian
sebagian apa yang tersebut dalam al-Quran, tentang masalah perdagangan
Adapun
dalam hadis, Rasulullah s.a.w. menyerukan supaya kita berdagang. Anjuran ini
garis-garis ketentuannya diperkuat dengan sabda, perbuatan dan taqrirnya.
Dalam
beberapa perkataannya yang sangat bijaksana itu kita dapat mendengarkan sebagai
berikut:
“Pedagang yang beramanat dan dapat dipercaya, akan bersama orang-orang yang mati syahid nanti di hari kiamat.” (Riwayat Ibnu Majah dan al-Hakim)
“Pedagang yang dapat dipercaya dan beramanat, akan bersama para Nabi, orang-orang yang dapat dipercaya dan orang-orang yang mati syahid.” (Riwayat al-Hakim dan Tarmizi dengan sanad hasan)
Kita
tidak heran kalau Rasulullah menyejajarkan kedudukan pedagang yang dapat
dipercaya dengan kedudukan seorang mujahid dan orang-orang yang mati syahid di
jalan Allah, sebab sebagaimana kita ketahui dalam percaturan hidup, bahwa apa
yang disebut jihad bukan hanya terbatas dalam medan perang semata-mata tetapi
meliputi lapangan ekonomi juga.
Seorang
pedagang dijanji suatu kedudukan yang begitu tinggi di sisi Allah serta pahala
yang besar nanti di akhirat karena perdagangan itu pada umumnya diliputi oleh
perasaan tamak dan mencari keuntungan yang besar dengan jalan apapun. Harta
dapat melahirkan harta dan suatu keuntungan membangkitkan untuk mencapai keuntungan
yang lebih banyak lagi. Justru itu barangsiapa berdiri di atas dasar-dasar yang
benar dan amanat, maka berarti dia sebagai seorang pejuang yang mencapai
kemenangan dalam pertempuran melawan hawa nafsu. Justru itu pula dia akan
memperoleh kedudukan sebagai mujahidin.
Urusan
dagang sering menenggelamkan orang dalam angka dan menghitung-hitung modal dan
keuntungan, sehingga di zaman Nabi pernah terjadi suatu peristiwa ada kafilah
yang membawa perdagangan datang, padahal Nabi sedang berkhutbah sehingga para
hadirin yang sedang mendengarkan khutbah itu menjadi kacau dan akhirnya mereka
bubar menuju kepada kafilah tersebut.
Waktu
itulah kemudian turun ayat yang berbunyi sebagai berikut:
“Apabila mereka melihat suatu perdagangan atau bunyi-bunyian, mereka lari ke tempat tersebut dan engkau ditinggalkan berdiri. Oleh karena itu katakanlah (kepada mereka) bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada bunyi-bunyian dan perdagangan itu dan Allah sebaik-baik Zat yang memberi rezeki.” (al-Jumu’ah: 11)
Oleh
karenanya, barangsiapa yang mampu bertahan pada prinsip ini, disertai dengan
iman yang kuat, jiwanya penuh taqwa kepada Allah dan lidahnya komat-kamit
berzikrullah, maka layak dia akan bersama orang-orang yang telah diberi nikmat
oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin dan syuhada’.
Dari
fi’liyah (perbuatan) Rasulullah sendiri kiranya cukup bukti bagi kita untuk
mengetahui sampai di mana kedudukan perdagangan itu, bahwa di samping beliau
sangat memperhatikan segi-segi mental spiritual sehingga didirikannya masjid di
Madinah demi untuk bertaqwa dan mencari keridhaan Allah dengan tujuan sebagai
jami’ tempat beribadah, institut, lembaga da’wah dan pusat pemerintahan, maka
Rasulullah memperhatikan pula segi-segi perekonomian. Untuk itu maka
didirikannya pasar Islam yang langsung berorientasi pada syariat Islam, bukan
pasar yang dikuasai oleh orang-orang Yahudi seperti halnya pasar Qainuqa’ dulu.
Pasar
Islam ini langsung diawasi oleh Rasulullah sendiri. Beliau sendiri yang
mentertibkan subjek-subjeknya dan beliau pula yang langsung mengurus dengan
memberi bimbingan-bimbingan dan pengarahan-pengarahan. Sehingga dengan demikian
tidak ada penipuan, pengurangan timbangan, penimbunan, cukong-cukong dan
lain-lain yang insya Allah hadis-hadis yang menerangkan hal itu akan kami
tuturkan di bab Mu’amalat nanti dalam fasal halal dan haram tentang kehidupan
secara umum bagi setiap muslim.
Dalam
sejarah perjalanan para sahabat Nabi, kita dapati juga, bahwa di antara mereka
itu ada yang bekerja sebagai pedagang, pertukangan, petani dan sebagainya.
Rasulullah
berada di tengah-tengah mereka di mana ayat-ayat al-Quran itu selalu turun
kepadanya, beliau berbicara kepada mereka dengan bahasa langit, dan Malaikat
Jibril senantiasa datang kepadanya dengan membawa wahyu dari Allah. Semua
sahabatnya mencintai beliau dengan tulus ikhlas, tidak seorang pun yang ingin
meninggalkan beliau walaupun hanya sekejap mata.
Oleh
karena itu, maka kita jumpai seluruh sahabatnya masing-masing bekerja seperti
apa yang dikerjakan Nabi, ada yang mengurus korma dan tanaman-tanaman, ada yang
berusaha mencari pencaharian dan perusahaan. Dan yang tidak tahu tentang ajaran
Nabi, berusaha sekuat tenaga untuk menanyakan kepada rekan-rekannya yang lain.
Untuk itu mereka diperintahkan siapa yang mengetahui supaya menyampaikan kepada
yang tidak tahu.
Sahabat
Anshar pada umumnya ahli pertanian, sedang sahabat Muhajirin pada umumnya ahli
dalam perdagangan dan menempa dalam pasar. Misalnya Abdurrahman bin ‘Auf
seorang muhajirin pernah disodori oleh rekannya Saad bin ar-Rabi’ salah seorang
Anshar separuh kekayaan dan rumahnya serta disuruhnya memilih dari salah
seorang isterinya supaya dapat melindungi kehormatan kawannya itu. Abdurrahman
kemudian berkata kepada Saad: Semoga Allah memberi barakah kepadamu terhadap
hartamu dan isterimu, saya tidak perlu kepadanya. Selanjutnya kata Abdurrahman:
Apakah di sini ada pasar yang bisa dipakai berdagang? Jawab Saad: Ya ada, yaitu
pasar Bani Qainuqa’. Maka besok paginya Abdurrahman pergi ke pasar membawa keju
dan samin. Dia jual-beli di sana. Begitulah seterusnya, akhirnya dia menjadi
seorang pedagang muslim yang kayaraya, sampai dia meninggal, kekayaannya masih
bertumpuk-tumpuk.
Abubakar
juga bekerja sebagai pedagang, sehingga pada waktu akan dilantik sebagai
khalifah beliau sedang bersiap-siap akan ke pasar. Begitu juga Umar, Usman dan
lain-lain.
2.4.9 Pendirian Gereja Tentang
Masalah Dagang
Begitulah
masyarakat Islam dalam menghadapi dunianya dalam naungan agamanya, mereka
berdagang, juga membeli. Tetapi perdagangan dan jual-belinya itu tidak sampai
melupakan berzikrullah. Dimana waktu itu orang-orang di abad-abad pertengahan
kebanyakannya di bawah kekuasaan raja-raja dan negara-negara Eropah Kristen
masih bimbang dalam menghadapi pertentangan yang hebat antara fikiran-fikiran
apa yang disebut penyelamatan yakni menyelamatkan diri dari dosa yang
menyelubunginya. Fikiran ini bertentangan dengan fikiran Aklirus yang
menganjurkan berusaha dan berdagang di satu pihak, dan di pihak lain adanya
perkataan yang berkumandang, bahwa celakalah manusia yang berani menantang
ajaran pemimpin-pemimpin agama (rijaluddin) dan sibuk dengan urusan
pencaharian, perusahaan dan perdagangan.
Dikatakannya
juga, bahwa dosa bukan hanya suatu kejelekan yang pelakunya akan dibalas sesuai
dengan banyaknya dosa yang dilakukan, tetapi dosa, seperti yang biasa
dikatakan, yaitu dosa abadi dan laknat di bumi dan langit dalam kehidupan di
dunia dan akhirat nanti,
Untuk
itu seorang Uskup bernama Agustine mengatakan:
“Kesungguhan dalam urusan perdagangan pada hakikatnya suatu dosa, karena dapat memalingkan orang dari ingat kepada Allah,”
Yang
lain pun berkata: “Seseorang yang membeli sesuatu kemudian pulang dan
menjualnya lagi dengan tidak ada imbangan yang harus dia lakukannya, maka orang
tersebut akan termasuk golongan pedagang yang menjauhkan sorga dan
kesuciannya.”
Pendapat-pendapat
ini tidak lebih hanya latah terhadap ajaran-ajaran Paulus yang mengatakan:
Bahwa seorang penganut Masehi tidak layak menentang kawannya yang lain dengan
suatu pertentangan yang mematikan. Untuk itu, maka tidak ada perdagangan yang
berkembang di kalangan orang-orang Masehi.”
2.4.10 Perdagangan yang
Dilarang
Islam
pada prinsipnya tidak melarang perdagangan, kecuali ada unsur-unsur kezaliman,
penipuan, penindasan dan mengarah kepada sesuatu yang dilarang oleh Islam.
Misalnya memperdagangkan arak, babi, narkotik, berhala, patung dan sebagainya
yang sudah jelas oleh Islam diharamkan, baik memakannya, mengerjakannya atau memanfaatkannya.
Semua
pekerjaan yang diperoleh dengan jalan haram adalah suatu dosa. Dan setiap
daging yang tumbuh dari dosa (haram), maka nerakalah tempatnya. Orang yang
memperdagangkan barang-barang haram ini tidak dapat diselamatkan karena
kebenaran dan kejujurannya. Sebab pokok perdagangannya itu sendiri sudah
mungkar yang ditentang dan tidak dibenarkan oleh Islam dengan jalan apapun.
Ini
tidak termasuk orang yang memperdagangkan emas dan sutera, karena kedua bahan
tersebut halal buat orang-orang perempuan. Justru itu mereka ini kelak di hari
kiamat tidak akan dibangkitkan dalam golongan pendurhaka yang ditempatkan di
neraka Jahim.
Pada
suatu hari Rasulullah s.a.w. keluar ke tempat sembahyang, tiba-tiba dilihatnya
banyak manusia yang sedang berjual-beli. Kemudian Rasulullah memanggil mereka:
Hai para pedagang! … Mereka pun lantas menjawab dan mengangkat kepala dan
pandangannya. Maka kata Rasulullah:
“Sesungguhnya pedagang kelak di hari kiamat akan dibangkitkan sebagai pendurhaka, kecuali orang yang takut kepada Allah, baik dan jujur.” (Riwayat Tarmizi, Ibnu Majah dan Hakim. Kata Tarmizi: hadis ini hasan sahih)
Dari
Watsilah bin al-Asqa’ ia berkata:
“Rasulullah pernah keluar menuju kami –sedang kami adalah golongan pedagang– maka kata beliau: ‘Hai para pedagang, hati-hati kamu jangan sampai berdusta.'” (Riwayat Thabarani)
Untuk
itu seorang pedagang harus berhati-hati, jangan sekali-kali dia berdusta,
karena dusta itu merupakan bahaya (lampu merah) bagi pedagang. Dan dusta itu
sendiri dapat membawa kepada perbuatan jahat, sedang kejahatan itu dapat
membawa kepada neraka.
Di
samping itu hindari pula banyak sumpah, khususnya sumpah dusta, sebab Nabi
Muliammad s.a.w. pernah bersabda:
“Tiga golongan manusia yang tidak akan dilihat Allah nanti di hari kiamat dan tidak akan dibersihkan, serta baginya adalah siksaan yang pedih, salah satu di antaranya ialah: Orang yang menyerahkan barang dagangannya (kepada pembeli) karena sumpah dusta.” (Riwayat Muslim)
“Dari Abu Said ia berkata: Ada seorang Arab gunung berjalan membawa seekor kambing, kemudian saya bertanya kepadanya: Apa kambing itu akan kamu jual dengan tiga dirham? Ia menjawab: Demi Allah tidak! Tetapi tiba-tiba dia jual dengan tiga dirham juga. Saya utarakan hal itu kepada Nabi, maka kata Nabi: Dia telah menjual akhiratnya dengan dunianya.” (Riwayat Ibnu Hibban)
Di
samping itu si pedagang harus menjauhi penipuan, sebab orang yang menipu itu
dapat keluar dari lingkungan umat Islam.
Hindari
pula pengurangan timbangan dan takaran, sebab mengurangi timbangan dan takaran
itu membawa celaka, seperti firman Allah: Wailul lil muthaffifin (celakalah
orang-orang yang mengurangi takaran). Dan hindari pulalah dari penimbunan,
sehingga Allah dan RasulNya tidak akan membiarkan dia begitu saja.
Terakhir,
hindarilah perbuatan riba. Karena sesungguhnya Allah akan menghancurkannya.
Seperti
tersebut dalam hadis yang mengatakan:
“Satu dirham uang riba dimakan oleh seseorang, sedangkan dia tahu (bahwa uang tersebut adalah uang riba), akan lebih berat (siksaannya) daripada tigapuluh enam kali berzina.”37 (R iwayat Ahmad)
Penjelasan
satu persatu persoalannya ini, insya Allah akan kami terangkan nanti di bab
Mu’amalat.
2.4.11 Bekerja Sebagai Pegawai
Seorang
muslim boleh saja bekerja mencari rezeki dengan jalan menjadi pegawai, baik itu
pegawai negeri atau swasta, selama dia mampu memikul pekerjaannya dan dapat
menunaikan kewajiban. Tetapi di samping itu seorang muslim tidak boleh
mencalonkan dirinya untuk suatu pekerjaan yang bukan ahlinya, lebih-lebih
menduduki jabatan hakim.
Abu
Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:
“Siallah Amir, siallah kepala dan siallah kasir. Sungguh ada beberapa kaum yang menginginkan kulit-kulitnya itu bergantung di bintang yang tinggi, kemudian mereka akan diulurkan antara langit dan bumi, karena sesungguhnya mereka itu tidak pernah menguasai suatu pekerjaan.” (Riwayat Ibnu Hibban dan al-Hakim, ia sahkan sanadnya)
Abu
Dzar pernah juga meminta kepada Nabi untuk diberi suatu jabatan, maka oleh Nabi
ditepuknya pundak Abu Dzar sambil beliau bersabda:
“Hai Abu Dzar! Engkau orang lemah, kekuasaan adalah suatu amanat dan kelak di hari kiamat akan menyusahkan dan menyesalkan, kecuali orang yang dapat menguasainya karena haknya dan melaksanakan apa yang menjadi tugasnya.” (Riwayat Muslim)
Dan
sabda Rasulullah juga tentang masalah hakim sebagai berikut:
“Hakim itu ada tiga macam: Satu di sorga dan dua di neraka. Yang di sorga, yaitu seorang hakim yang tahu kebenaran dan ia menghukum dengan kebenaran itu. (2) Seorang laki-laki yang tahu kebenaran tetapi dia menyimpang dari kebenaran itu, maka dia berada di neraka. (3) Seorang laki-laki yang menghukum manusia dengan membabi-buta (bodoh), maka dia di neraka.” (Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan Ibnu Majah)
Jadi
sebaiknya seorang muslim tidak perlu ambisi kepada kedudukan-kedudukan yang
besar dan berusaha di belakang kedudukan itu sekalipun dia ada kemampuan. Sebab
kalau kedudukannya itu dijadikan pelindung, maka kedudukannya itu sendiri akan
menghambat dia. Dan barangsiapa mengarahkan setiap tujuannya itu untuk show di
permukaan bumi ini, maka dia tidak akan peroleh taufik dari lanqit.
Telah
bersabada Rasulullah s.a.w. kepadaku:
“Hai Abdurrahman! Jangan kamu minta untuk menjadi kepala, karena kalau kamu diberinya padahal kamu tidak minta, maka kamu akan diberi pertolongan, tetapi jika kamu diberinya itu lantaran minta, maka kamu akan dibebaninya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
“Dari Anas, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: Barangsiapa mencari penyelesaian suatu hukum tetapi dia minta supaya dibela, maka hal itu akan dibebankan kepada dirinya. Dan barangsiapa dipaksakannya, maka Allah akan mengutus Malaikat supaya meluruskannya.” (Riwayat Abu Daud dan Tarmizi)
Ini,
kalau dia tidak tahu, bahwa orang lain tidak akan mampu mengatasi kekosongan
itu dan apabila dia tidak tampil niscaya kemaslahatan akan berantakan dan retak
tali persoalan. Kalau dia tahu hanya dialah yang mampu, maka dia boleh bersikap
seperti apa yang dikisahkan al-Quran kepada kita tentang Nabiullah Yusuf a.s.
dimana ia berkata kepada tuannya:
“Jadikanlah aku untuk mengurus perbendaharaan (gudang) bumi, karena sesungguhnya aku orang yang sangat menjaga dan mengetahui.” (Yusuf: 55)
Demikianlah
tata-tertib Islam dalam mengatur masalah mencari pekerjaan-pekerjaan yang
bersifat politis dan sebagainya.
2.4.12 Kepegawaian yang
Diharamkan
Diperbolehkannya
bekerja sebagai pegawai seperti yang kami katakan di atas, diikat dengan suatu
syarat tidak menjadi pegawai yang membahayakan kaum muslimin. Oleh karena itu
seorang muslim tidak halal bekerja sebagai pegawai atau prajurit dalam
ketenteraan yang memerangi kaum muslimin atau bekerja sebagai pegawai dalam
suatu pabrik yang memproduksi senjata untuk memerangi kaum muslimin. Dan tidak
boleh seorang muslim bekerja sebagai pegawai suatu lembaga yang melawan Islam
dan memerangi umatnya. Termasuk juga pegawai yang membantu kepada perbuatan
zalim dan haram, seperti pekerjaan yang meribakan uang, tempat arak, tempat
dansa atau di tempat-tempat permainan yang kosong dan sebagainya.
Mereka
ini semua tidak dapat dibebaskan dari dosa. Tidak berarti mereka tidak
bersekutu dan tidak berbuat haram. Sebab seperti prinsip-prinsip yang telah
kami kemukakan sebelumnya, bahwa menolong perbuatan haram berarti haram. Justru
itulah Rasulullah s.a.w. melaknat juru tulis riba dan dua orang saksinya
sebagaimana dilaknatnya orang yang makan riba. Pembuat dan pelayan yang
menuangkan arak dilaknat seperti dilaknat orang yang minum.
Ini
semua berlaku dalam keadaan yang tidak terpaksa (normal) dimana seorang muslim
harus memasukinya demi mencari rezeki. Kalau ternyata dalam keadaan yang
memaksa, maka dapat dinilai menurut keperluannya itu, yaitu menjadi makruh
dengan syarat dia harus tetap berusaha untuk mencari pekerjaan lain yang halal
dan jauh dari dosadosa.
Setiap
muslim harus menjaga dirinya dari hal-hal yang masih syubhat, dimana syubhat
itu dapat menipiskan agama dan melemahkan keyakinan, betapapun besarnya gaji
dan berharganya pekerjaan tersebut.
Rasulullah
s.a.w. bersabda:
“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu, beralih kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.” (Riwayat Ahmad. Tarmizi, Nasa’i, Ibnu Hibban dalam sahihnya dan Hakim, Tarmizi berkata: hadis ini hasan sahih).
Dan
sabdanya pula:
“Seseorang tidak akan mencapai derajat muttaqin (orang-orang yang taqwa) sehingga ia meninggalkan sesuatu yang mubah karena takut kepada berbuat sesuatu yang dilarang.” (Riwayat Tarmizi)
2.4.13 Pedoman Secara Umum
Tentang Bekerja
Pedoman
secara umum tentang masalah kerja, yaitu Islam tidak membolehkan
pengikut-pengikutnya untuk bekerja mencari uang sesuka hatinya dan dengan jalan
apapun yang dimaksud. Tetapi Islam memberikan kepada mereka suatu garis pemisah
antara yang boleh dan yang tidak boleh dalam mencari perbekalan hidup, dengan
menitikberatkan juga kepada masalah kemaslahatan umum. Garis pemisah ini
berdiri di atas landasan yang bersifat kulli (menyeluruh) yang mengatakan:
“Bahwa semua jalan untuk berusaha mencari uang yang tidak menghasilkan manfaat kepada seseorang kecuali dengan menjatuhkan orang lain, adalah tidak dibenarkan. Dan semua jalan yang saling mendatangkan manfaat antara individu-individu dengan saling rela-merelakan dan adil, adalah dibenarkan.”
Prinsip
ini telah ditegaskan oleh Allah dalam firmanNya:
“Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu memakan harta-harta saudaramu dengan cara yang batil, kecuali harta itu diperoleh dengan jalan dagang yang ada saling kerelaan dari antara kamu. Dan jangan kamu membunuh diri-diri kamu, karena sesungguhnya Allah maha belas-kasih kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan sikap permusuhan dan penganiayaan, maka kelak akan Kami masukkan dia ke dalam api neraka.” (an-Nisa’:29-30)
Ayat
ini memberikan syarat boleh dilangsungkannya perdagangan dengan dua hal:
Perdagangan
itu harus dilakukan atas dasar saling rela antara kedua belah pihak.
Tidak
boleh bermanfaat untuk satu pihak dengan merugikan pihak lain.
Syarat
kedua ini dapat kita ambil dari kata-kata dan jangan kamu membunuh diri-diri
kamu.
Perkataan
ini ditafsirkan oleh ahli-ahli tafsir dalam dua pengertian yang masing-masing
sesuai dengan proporsinya:
Arti
pertama: Satu sama lain tidak boleh bunuh membunuh.
Arti
kedua: Kamu tidak boleh membunuh diri diri kamu dengan tangan-tangan kamu
sendiri.
Walhasil
ayat ini memberikan pengertian, bahwa setiap orang tidak boleh merugikan orang
lain demi kepentingan diri sendiri (vested interest). Sebab hal demikian,
seolah-olah dia menghisap darahnya dan membuka jalan kehancuran untuk dirinya
sendiri. Misalnya mencuri, menyuap, berjudi, menipu, mengaburkan, mengelabui,
riba dan lain-lain pekerjaan yang diperoleh dengan jalan yang tidak dibenarkan.
Tetapi
apabila sebagian itu diperoleh atas dasar saling suka sama suka, maka syarat
yang terpenting jangan kamu membunuh diri kamu itu tidak ada
Catatan kaki Bab Kedua
Sementara ahli
fiqih berpendapat: binatang yang masih boleh disembelih kalau masih ada sisa
umur, di antara tanda-tandanya ialah darahnya masih mengalir dan matanya masih
bergerak.
Riwayat ini
dapat dilihat pada bab ‘Pakaian dan Perhiasan’
Muhalla 6:159.
Sementara ada
juga berpendapat, bahwa haramnya keledai kota di sini karena ada suatu sebab
tertentu, yaitu karena saat itu keledai-keledai kota sedang dibutuhkan untuk
dipakai kendaraan. Hal ini sebagaimana yang berlaku sekarang sementara
pemerintah melarang memotong anak sapi, karena daging yang sangat dibutuhkan
itu ialah menunggu besarnya sapi tersebut.
Riwayat Abu
Daud, dari Ibnu Abbas.
Riwayat Thabarani
1:42 Riwayat Thabarani 1:42.
Pendapat ini
bukan mengherankan, karena Ibnu Hazim memang ahli dalam sejarah agama-agama, jadi
dia mempunyai standard untuk menetapkan, bahwa Majusi itu termasuk ahli kitab.
Sebab memang mereka ini menganggap Zoroaster itu sebagai nabinya. Ini diperkuat
juga oleh penyelidik Islam Maulana Abil Kalam Azaad.
Termasuk Shabiun
ialah Buddha dan Hindu (Lihat Tafsir al-Manar juz 6 bab makanan penyembah
berhala).
Satu furq
sama dengan 16 kati. (rithl).
Zadul Ma’ad
juz 3: halaman 115-116.
Ta’zir adalah
suatu hukuman yang sifatnya untuk mendidik karena perbuatan dosa yang tidak ada
ketentuan hukumannys. (Lihat: Tasyri’ul Jinai oleh A. Qadir Audeh, juz 1:685).
Fatawa Ibnu
Taimiyah 4:262.
Lihat Bukhari
Bab Pakaian.
Hadis Riwayat
Bukhari.
Hadis Riwayat Ahmed dan lain-lain.
Hadis Riwayat Bukhari.
Al-Mar’ah Bainal
Baiti wal muitama’, halaman 105.
Kitab Libas
– Fathul Baari.
Lihat Fathul
Bari, bab Libas.
Lihat Fathul
Bari, bab Libas.
Lihat Fathul
Bari, bab Libas.
Lihat Fathul
Bari.
Lihat Fathul
Bari.
Lihat Fathul
Bari, bab memelihara jenggot.
Lihat kitab
Iqtidhaus Shiratil Mustsqim.
Lihat Al-Mughni
8:323.
Lihat Syarah
Muslim.
Lihat Fathul
Bari Kitabul Libas.
Lihat Fathul
Bari Kitabul Libas.
Lihat al-Jawabusy
Syafi oleh Syekh Bukhait.
Al-Jawabus
Syafi’i.
Hadis di
atas diperkuat oleh hadis Ali yang mengatakan: “Dari Hayyan bin Hushain’ ia
berkata. Telah berkata Ali kepadaku Ingatlah! Saya mengirim kamu sebagaimana
Rasulullah s.a.w. mengirim aku, yaitu hendaknya jangan kau biarkan sebuah
patung kecuali harus kamu hancurkan, dan jangan kamu biarkan sebuah kubur (yang
bercungkup) kecuali harus kamu ratakan.” (Riwayat Muslim)
Lihat Syarah
Bukhari oleh al-Qasthalani.
Seseorang pinjam
barang dengan syarat barang tersebut dijual kepada yang meminjami dengan harga
yang lebih rendah dari harga semula.
Ihya’ juz
1:15.
Kutipan dari
ceramah Isa Abduh yang berjudul “Tinggalkan riba untuk menuju pembinaan ekonomi
Nasional”, hal: 20.
Tentang banyaknya hitungan ini tidak masyhur.
Ususul Iqtishad
oleh Maududi, halaman 152.
Diposting Oleh : kawani media
Anda sedang membaca artikel tentang BAB KEDUA - HALAL HARAM DALAM ISLAM - D. Anda diperbolehkan mengcopy paste isi blog ini, namun jangan lupa untuk mencantumkan link ini sebagai sumbernya. Beritahukan kepada saya jika ada Link yang rusak atau tidak berfungsi. Apabila suka dengan postingan ini silahkan di Like dan Share dengan tidak lupa Komentar dan Masukannya.
0 komentar:
Posting Komentar